Kamis, 30 Juli 2009

"Kisruh Politik Mutasi Pejabat di Pemda Kab. Kupang"

“POLEMIK MUTASI DAN PERGANTIAN JABATAN”
(Kasus Pemerintahan Kabupaten Kupang)
*Yoyarib Mau
Era Otonomi Baru yang dijalankan di seluruh wilayah Indonesia baik itu di tingkat Propinsi, Kotamadya, dan Kabupaten, otonomi daerah adalah pola lain dari sistem desenstralisasi. Penerapan sistem pemerintahan desentralisasi masa ini merupakan masa peralihan dari era sentralisasi sehingga saat ini Indonesia pada tahapan transisi sehingga tidak berjalan seideal mungkin namun memiliki sejumlah konsekuensi yang berdampak pada kehidupan politik, ekonomi dan social.
Konsekuensi ini akan berdampak negative maupun positif, dan dampak negative lebih mendomain karena otonomi daerah menjadi hal baru dan belum membudaya dalam masyarakat Indonesia, karena ketidakberdayaan masyarakat untuk menyambut Era baru ini. Dalam penerapan otonomi daerah para penguasa atau kepala daerah terpilih memiliki perspektif yang sempit terhadap konsep otonomi daerah, Para pejabat hanya berpikir untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai tolak ukur keberhasilannya, padahal ada banyak hal yang perlu diperhatikan sebagai bagian penting dari otonomi daerah, yakni kondisi masyarakat local yang memiliki budaya, kehidupan sosial, bahkan kearifan local (hikmat lokal).
Kondisi demikian yang sedang di alami oleh Bupati Ayub Titu Eki dan Wakil Bupati Victor Tiran yang terpilih pada pilkada pertama kali yang dipilih langsung oleh rakyat (one man one vote). Pasangan ini diusung oleh PDIP dan memenangkan pemilu dalam dua putaran, hal ini membuktikan bahwa dukungan rakyat bagi kedua pasangan untuk memajukan kabupaten ini. Komitment untuk mewujudkan visi dan program kerja yang di sampaikan saat kampanye mulai direalisasikan dengan kebijakan-kebijakan, langkah pertama dilakukan adalah masalah strukturisasi jabatan dimana dilakukan mutasi dalam tubuh birokrasi Pemda Kab. Kupang.
Proses ini menuai protes dari berbagai kalangan baik itu dari internal birokrasi dimana para pejabat yang di mutasi tidak menerima kebijakan ini karena dianggab tidak rasional dan syarat dengan muatan politis, dari pihak legislative khususnya partai pengusung yakni PDIP juga menilai kebijakan ini tidak dapat diterima karena meresahkan masyarakat, bahkan masyarakat pun menolak kebijakan mutasi ini dengan melakukan aksi penolakan, yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Sabu- Raijua hasil pemekaran dari Kabupaten Kupang sebagai kabupaten induk, mereka menolak kebijakan mutasi pejabat ke daerah baru ini.
Mengapa penolakan terhadap kebijakan Ayub Titu Eki dan Viktor Tiran berlarut-larut tanpa menemui jalan keluar yang tepat? Perlu diakui bahwa permasalahan ini adalah permasalahan politik terutama dalam sistem demokrasi sebagai sebuah konsep pemerintahan dalam era otonomi daerah. Peran politik dalam permasalahan ini merupakan peran dalam struktur politik yang formal dimana berhubungan dengan penguasa menjalankan kekuasaannya, sehingga bupati sebagai penentu kebijakan dan birokrasi yang berada di bawahnya sebagai pelaku implementasi kebijakan perlu adanya sinergi yang tepat. Demikian juga dengan legislative dalam perannya berpartisipasi dalam melakukan fungsi legislasinya melakukan pengawasan terhadap kebijakan tersebut.
Kenyataaan yang terjadi ketika kebijakan bupati dalam melakukan mutasi tidak dapat bersinergi dengan baik karena terjadi polemik dalam proses mutasi ini, kebijakan yang dilakukan oleh bupati dan wakil bupati ini merupakan hak nya sebagai eksekutif. Menurut Ramlan Surbakti keputusan politik secara umum dibagi menjadi dua yaitu “program-program perilaku untuk mencapai tujuan masyarakat-negara (kebijakan umum) dan orang-orang yang akan menyelenggarakan kebijakan umum (penjabat pemerintah)” (Ramlan Surbakti – Ilmu Politik – 2007).
Kebijakan Umum dari kedua eksekutif ini tidak dapat diragukan lagi karena seandainya dengan latar belakang akademisi adanya kemungkinan program kerja/kebijakan umum sangat sistematik dan dapat terukur untuk kesejahteraan rakyat (welfare state), namun untuk mewujudkan kebijakan umum tersebut mereka perlu menemukan penjabat pemerintah yang tepat untuk melakukan implementasi kebijakan, sehingga bupati-wakil bupati melakukan mutasi di lingkungan pemerintahan kabupaten Kupang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses mutasi ada berbagai pertimbangan yang dilakukan dalam menetapkan keputusan ini, diantaranya: Pertama; menggeser para penjabat pemerintahan yang mendukung calon lain pada pilkada yang telah berlalu, Kedua; pengakomodir penjabat yang mendukung atau menjadi tim sukses saat Pilkada, Ketiga ; pembagian kekuasaan dengan pertimbangan primordial dimana pembagian penjabat pemerintah berdasarkan pertimbangan suku Tirosa (timor, rote, sabu), agama, keluarga, bahkan pertimbangan swapraja (kerajaan-kerajaan) yang pernah ada di Kabupaten Kupang yakni, Taebenu, Amabi, Sonbai, Fatuleu, Amarasi, dan lain-lain.
Kemungkinan besar sebagaimana latar belakang akademisi memiliki pertimbangan “ideal” dalam proses mutasi atas penjabat pemerintah kabupaten Kupang, penulis melihat bahwa proses ini Bupati terpilih memilih “sistem merit” yakni memilih penjabat pemerintah dengan lebih menenkankan kepada profesionalisme dimana kompetensi dan keahlian penjabat untuk menduduki jabatan tertentu yang menjadi bahan pertimbangan. Cara ini lazim dan yang dituntut dalam pemerintahan modern merupakan implikasi dari sistem demokrasi.
Bupati dan Wakil Bupati Kupang memiliki proses yang benar namun tidak menyadari bahwa ini proses politik di era transisi demokrasi dalam penerapan otonomi daerah ada aturan main (rule of the game) yang perlu diperhatikan khususnya politik lokal, dimana partisipasi local diikutsertakan dalam proses politik ini. Kultur local sangat kental dalam wilayah ini terutama masih menguatnya konsep “paternalistic” dimana orang yang lebih tua dan telah lama menjabat perlu diperlakukan dengan proporsional karena telah lama berjasa bagi wilayah ini serta telah di kenal luas dalam masyarakat.
Jika konsep kearifan local yang menguat di wilayah ini yakni “paternalistic” turut menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan mutasi maka tidak akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan ketidaksepahaman, untuk bisa menjalankan proses pemerintahan yang baik dalam masa transisi dari sentralistik ke desentralisasi tidak semua hal yang ideal langsung diterapkan tetapi perlu ada perimbangan konsep local atau kerarifan local sehingga pemerintahan dan berjalan dengan baik.
Proses mutasi atau pergantian penjabat pemerintahan di sejumlah instansi perlu ada perimbangan rasio antara pola merit sitem dan kearifan local sebagai sumber legitimasi dalam melakukan mutasi atau pergantian jabatan jika hanya hanya menuruti merit sistem maka hanya menuruti doktrin demoikrasi secara utuh dan mengabaikan kearifan local sebagai sebagai salah satu sumber pembelajaran untuk menentukan plihan secara terbuka dan reflektif dimana pilihan keputusan ditetapkan dari hasil konfrontasi antara pemikiran individu yang ideal dengan konteks kehidupan masyarakat setempat sehingga kebijakan yang diputuskan populis dan tidak controversial.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI.

Sabtu, 25 Juli 2009

"Pemilu Presiden Cacat Hukum"

“PEMILU PRESIDENT CACAT HUKUM”
*Yoyarib Mau
Hasil rekapitulasi suara Pemilu President yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) hari ini Sabtu, 25 Juli 2008, menetapkan hasil suara dari jumlah suara 127.983.655, Suara Sah 121.504, 481, dan Suara tidak sah 6.479. 179, Perolehan Suara Pasangan Calon President peserta Pemilu yakni, Nomor urut 1 : Megawati Soekarno Putra – Prabowo Subianto memperoleh Suara sebanyak 32.548.105 (26.79%), Nomor urut 2 : Susilo Bambang Yudoyono – Boediono memperoleh 73.874.562 (60.80%) sedangkan peserta dengan Nomor Urut 3 : Jusuf Kalla – Wiranto mampu memperoleh dukungan sebesar 15. 081. 814. (Kompas, 24 Juli 2009).
Dengan demikian KPU mengumumkan secara Nasional hasil keputusan rapat KPU secara sah pada 25 Juli 2008 ini, namun hasil keputusan ini belum menetapkan siapa pemenang pemilu president, karena masih menunggu gugatan yang akan dilayangkan oleh para pasangan kandidat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari proses yang dilakukan KPU memperlihatkan ke Publik atau masyarakat luas bahwa kinerja yang telah dilakukan sangat procedural dan sistematis, walaupun di lain sisi banyak menimbulkan polemic dan noda hitam, bahkan gugatan terhadap KPU yang diajukan ke MK mengenai DPT yang melanggar Undang – Undang (UU) karena diubah sebanyak tiga kali oleh KPU karena di nilai melanggar UU No. 24 Tahun 2008 tentang Pemilu President dan Wakil President. Dan yang tidak etis adalah Surat Keputusan (SK) KPU tentang DPT dilakukan dua hari menjelang pemungutan suara.
UU Pemilu President dan Wakil Presiden mensyaratkat bahwa partai politik yang dapat mengusung pasangan Capres-Cawapres yang akan turut serta sebagai peserta pemilu harus mencapai perolehan suara sebanyak 20% atau gabungan partai politik yang mencapai 20% perolehan suara. Partai Golkar berdasarkan keputusan KPU tanggal 09 Mei 2009 mencapai perolehan suara sebanyak 19,29% sedangkan Partai Hanura 2,68% sehingga jumlah suara sebanyak 21,91% sehingga Koalisi ini dapat mengusung JK-Wiranto, sedangkan PDIP memperoleh 16,61% sedangkan Partai Gerindra memperoleh 5,36% sehingga koalisi ini mencapai 21,97% dan mengusung Mega-Pro, sedangkan Partai Democrat sebagai pemenang pemilu dengan perolehan suara mencapai lebih dari 20% suara tanpa koalisi pun dengan sendirinya bisa mengajukan calon.
Syarat telah dipenuhi bahkan proses pemilu telah dilalui dan KPU telah mengumumkan hasil pemilu president, menjadi permasalahan baru adalah ketika KPU menyepakati untuk menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan Kursi Tahap II dan kembali mengacu pada Pasal 205 Ayat 4 UU No. 10 Tahun 2008 dengan demikian akan berpengaruh pada jumlah perolehan suara atau Kursi di DPR RI, Jumlah suara yang penulis rilis dari Kompas edisi Sabtu 25 Juli 2009; Golkar hanya memperoleh 14,45% sedangkan Hanura 3,77% sehingga suara koalisi pengusung JK-Wiranto adalah 18,22%, PDIP 14,03% sedangkan Gerindra 4,46% suara koalisi pengusung Mega-Pro sebesar 19,49%. Dengan demikian menimbulkan pertanyaan yang sangat menggemparkan publik benarkah bahwa pemilu presiden yang telah berlalu cacat hukum?
Dari hasil perolehan suara pasca menjalankan putusan MA atas pembatalan penetapan kursi tahap II oleh KPU maka pasangan JK-Wiranto dan Mega-Pro tidak memenuhi syarat pencalonan Capres-Cawapres sesuai dengan UU No 24 tahun 2008 yang mensyaratkan syarat 20%, dan bahwa peserta pemilu president sebenarnya calon tunggal yakni SBY-Boediono dan dua calon lain tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu, namun apa mau dikata “Nasi telah menjadi Bubur” pemilu telah usai dan hasil rekapitulasi telah diumumkan, Jika telah diumumkan haruskah masyarakat Indonesia pasrah dan menerima kenyataan ini tanpa harus mengoreksi kesalahan yang sangat fatal dan mencoreng wajah hukum Indonesia, KPU membuat aturan hukum Indonesia bersifat fleksibel berdasarkan tuntutan dan tekanan kekuasaan , hal ini sesuai dengan pemikiran Maurice Duverger bahwa “kekuasaan politik seperti Dewa Janus yang bermuka dua, Penguasa politik dapat menimbulkan dua hal yakni konflik dan integrasi, dua wajah kekuasaan ini serentak penindas dan pelindung, penyalahguna dan pencipta ketertiban” (Maswardi Rauf – Konsesnsus dan Konflik Politik Dirjen Pendidikan Tinggi - 2001).
Melihat hasil putusan MA dan peran KPU dalam menjalankan putusan ini ini merupakan fenomenal, KPU telah memaksakan pelaksanaan pemilu president dalam kekosongan hukum karena KPU dalam UU No.24 tahun 2008 tidak mengatur tentang calon tunggal, dan seyogianyan pemilu president yang telah berlalu sebenarnya perlu menanti sehingga proses tahapan pemilu legislatife hingga proses hukum yakni sengketa pemilu diselesaikan terlebih dahulu kemudian baru melaksanakan pemilu president, KPU terkesan mengejar target pesanan sponsor sehingga tegesa-gesa tanpa ada pertimbangan yang matang terhadap akibat pelanggaran hukum di kemudian hari.
Kesalahan ini mau dilimpahkan kemana karena anggota DPR Panitia Khusus Rancangan UU Pemilu yang merancang UU ini tidak memiliki kepekaan untuk memikirkan jauh kedepan,demikian juga dengan KPU tidak juga memikirkan lebih jauh mengenai kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi kemudian sehingga wajarlah jika kecacatan hukum yang terjadi adalah kesalahan bersama pemerintah baik itu legislative, birokrasi dan eksekutif.
Pemikiran Duverger ini benar jika dilekatkan terhadap KPU, karena lembaga ini merupakan lembaga birokrasi non formal yang berperan sebagai penyelenggara pemilu seharusnya mampu menciptakan ketertiban malah menciptakan konflik bahkan menyalahgunakan kekuasaanya dalam penegakan hukum. Wajarlah jika adanya penolakan dari masyarakat yang mewakili pasangan capres-cawapres yang merasa bahwa kinerja dari KPU yang terkesan tidak demokratis dan akuntabel dalam melaksanankan proses pemilu ini.
KPU perlu mengakui akan kesalahan dan kelemahannya yang menyebabkan kecacatan hukum, kebohongan publik dalam pemilu president kepada rakyat, karena kesalahan penafsiran terhadap hukum yang ada menyeret seluruh rakyat Indonesia terutama pemilih terdaftar sebanyak 176.367.056 jiwa untuk turut serta melanggar hukum yang ditandai dengan jari tangan yang di celup ke dalam tinta hitam pertanda turut terlibat dalam pelanggaran hukum ini. Jika KPU mengakui akan kesalahan yang telah dilakukan maka rakyat dengan rendah hati pula memaafkan KPU atas kesalahannya sehingga hasil pemilu yang telah diumumkan dapat di terima secara mutlak oleh seluruh rakyat Indonesia dengan catatan pelanggaran hukum yang telah di lakukan.
*Mahasiswa Ilmu Politk – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

Pemilu President Cacat Hukum

“PEMILU PRESIDENT CACAT HUKUM”
*Yoyarib Mau
Hasil rekapitulasi suara Pemilu President yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) hari ini Sabtu, 25 Juli 2008, menetapkan hasil suara dari jumlah suara 127.983.655, Suara Sah 121.504, 481, dan Suara tidak sah 6.479. 179, Perolehan Suara Pasangan Calon President peserta Pemilu yakni, Nomor urut 1 : Megawati Soekarno Putra – Prabowo Subianto memperoleh Suara sebanyak 32.548.105 (26.79%), Nomor urut 2 : Susilo Bambang Yudoyono – Boediono memperoleh 73.874.562 (60.80%) sedangkan peserta dengan Nomor Urut 3 : Jusuf Kalla – Wiranto mampu memperoleh dukungan sebesar 15. 081. 814. (Kompas, 24 Juli 2009).
Dengan demikian KPU mengumumkan secara Nasional hasil keputusan rapat KPU secara sah pada 25 Juli 2008 ini, namun hasil keputusan ini belum menetapkan siapa pemenang pemilu president, karena masih menunggu gugatan yang akan dilayangkan oleh para pasangan kandidat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari proses yang dilakukan KPU memperlihatkan ke Publik atau masyarakat luas bahwa kinerja yang telah dilakukan sangat procedural dan sistematis, walaupun di lain sisi banyak menimbulkan polemic dan noda hitam, bahkan gugatan terhadap KPU yang diajukan ke MK mengenai DPT yang melanggar Undang – Undang (UU) karena diubah sebanyak tiga kali oleh KPU karena di nilai melanggar UU No. 24 Tahun 2008 tentang Pemilu President dan Wakil President. Dan yang tidak etis adalah Surat Keputusan (SK) KPU tentang DPT dilakukan dua hari menjelang pemungutan suara.
UU Pemilu President dan Wakil Presiden mensyaratkat bahwa partai politik yang dapat mengusung pasangan Capres-Cawapres yang akan turut serta sebagai peserta pemilu harus mencapai perolehan suara sebanyak 20% atau gabungan partai politik yang mencapai 20% perolehan suara. Partai Golkar berdasarkan keputusan KPU tanggal 09 Mei 2009 mencapai perolehan suara sebanyak 19,29% sedangkan Partai Hanura 2,68% sehingga jumlah suara sebanyak 21,91% sehingga Koalisi ini dapat mengusung JK-Wiranto, sedangkan PDIP memperoleh 16,61% sedangkan Partai Gerindra memperoleh 5,36% sehingga koalisi ini mencapai 21,97% dan mengusung Mega-Pro, sedangkan Partai Democrat sebagai pemenang pemilu dengan perolehan suara mencapai lebih dari 20% suara tanpa koalisi pun dengan sendirinya bisa mengajukan calon.
Syarat telah dipenuhi bahkan proses pemilu telah dilalui dan KPU telah mengumumkan hasil pemilu president, menjadi permasalahan baru adalah ketika KPU menyepakati untuk menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan Kursi Tahap II dan kembali mengacu pada Pasal 205 Ayat 4 UU No. 10 Tahun 2008 dengan demikian akan berpengaruh pada jumlah perolehan suara atau Kursi di DPR RI, Jumlah suara yang penulis rilis dari Kompas edisi Sabtu 25 Juli 2009; Golkar hanya memperoleh 14,45% sedangkan Hanura 3,77% sehingga suara koalisi pengusung JK-Wiranto adalah 18,22%, PDIP 14,03% sedangkan Gerindra 4,46% suara koalisi pengusung Mega-Pro sebesar 19,49%. Dengan demikian menimbulkan pertanyaan yang sangat menggemparkan publik benarkah bahwa pemilu presiden yang telah berlalu cacat hukum?
Dari hasil perolehan suara pasca menjalankan putusan MA atas pembatalan penetapan kursi tahap II oleh KPU maka pasangan JK-Wiranto dan Mega-Pro tidak memenuhi syarat pencalonan Capres-Cawapres sesuai dengan UU No 24 tahun 2008 yang mensyaratkan syarat 20%, dan bahwa peserta pemilu president sebenarnya calon tunggal yakni SBY-Boediono dan dua calon lain tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu, namun apa mau dikata “Nasi telah menjadi Bubur” pemilu telah usai dan hasil rekapitulasi telah diumumkan, Jika telah diumumkan haruskah masyarakat Indonesia pasrah dan menerima kenyataan ini tanpa harus mengoreksi kesalahan yang sangat fatal dan mencoreng wajah hukum Indonesia, KPU membuat aturan hukum Indonesia bersifat fleksibel berdasarkan tuntutan dan tekanan kekuasaan , hal ini sesuai dengan pemikiran Maurice Duverger bahwa “kekuasaan politik seperti Dewa Janus yang bermuka dua, Penguasa politik dapat menimbulkan dua hal yakni konflik dan integrasi, dua wajah kekuasaan ini serentak penindas dan pelindung, penyalahguna dan pencipta ketertiban” (Maswardi Rauf – Konsesnsus dan Konflik Politik Dirjen Pendidikan Tinggi - 2001).
Melihat hasil putusan MA dan peran KPU dalam menjalankan putusan ini ini merupakan fenomenal, KPU telah memaksakan pelaksanaan pemilu president dalam kekosongan hukum karena KPU dalam UU No.24 tahun 2008 tidak mengatur tentang calon tunggal, dan seyogianyan pemilu president yang telah berlalu sebenarnya perlu menanti sehingga proses tahapan pemilu legislatife hingga proses hukum yakni sengketa pemilu diselesaikan terlebih dahulu kemudian baru melaksanakan pemilu president, KPU terkesan mengejar target pesanan sponsor sehingga tegesa-gesa tanpa ada pertimbangan yang matang terhadap akibat pelanggaran hukum di kemudian hari.
Kesalahan ini mau dilimpahkan kemana karena anggota DPR Panitia Khusus Rancangan UU Pemilu yang merancang UU ini tidak memiliki kepekaan untuk memikirkan jauh kedepan,demikian juga dengan KPU tidak juga memikirkan lebih jauh mengenai kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi kemudian sehingga wajarlah jika kecacatan hukum yang terjadi adalah kesalahan bersama pemerintah baik itu legislative, birokrasi dan eksekutif.
Pemikiran Duverger ini benar jika dilekatkan terhadap KPU, karena lembaga ini merupakan lembaga birokrasi non formal yang berperan sebagai penyelenggara pemilu seharusnya mampu menciptakan ketertiban malah menciptakan konflik bahkan menyalahgunakan kekuasaanya dalam penegakan hukum. Wajarlah jika adanya penolakan dari masyarakat yang mewakili pasangan capres-cawapres yang merasa bahwa kinerja dari KPU yang terkesan tidak demokratis dan akuntabel dalam melaksanankan proses pemilu ini.
KPU perlu mengakui akan kesalahan dan kelemahannya yang menyebabkan kecacatan hukum, kebohongan publik dalam pemilu president kepada rakyat, karena kesalahan penafsiran terhadap hukum yang ada menyeret seluruh rakyat Indonesia terutama pemilih terdaftar sebanyak 176.367.056 jiwa untuk turut serta melanggar hukum yang ditandai dengan jari tangan yang di celup ke dalam tinta hitam pertanda turut terlibat dalam pelanggaran hukum ini. Jika KPU mengakui akan kesalahan yang telah dilakukan maka rakyat dengan rendah hati pula memaafkan KPU atas kesalahannya sehingga hasil pemilu yang telah diumumkan dapat di terima secara mutlak oleh seluruh rakyat Indonesia dengan catatan pelanggaran hukum yang telah di lakukan.
*Mahasiswa Ilmu Politk – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

Jumat, 17 Juli 2009

"Golkar di antara Group Yudas dan Group Yohanes"

“GOLKAR DI ANTARA GROUP YUDAS DAN GROUP YOHANES”
*Yoyarib Mau
Akhir-akhir ini media massa santer memberitakan tentang Partai Golkar pasca pemilu president, partai yang pernah jaya dengan nama Golongan Karya pada massa Orde Baru. Pemilu Legislatif hampir seluruh petinggi partai ini tampil ke Public dan memberikan komentar mewakili Partai Golkar seputar kesiapan Partai ini sebagai salah satu peserta pemilu, mereka seperti Agung Laksono, Yoris Raweyai, Muladi, Firman Soebagio dan lainya namun pasca pemilu legislative tarik menarik guna mengajukan siapa yang akan maju mewakili Partai Golkar dalam pemilu president 2009 apakah JK maju sebagai Capres, atau maju tetapi hanya Cawapres untuk tetap mendampingi SBY atau mengajukan nama Capres atau Cawapres lain dari internal partai Golkar sendiri.
Tarik menarik yang tak kunjung usai akhirnya dengan berat hati sebahagian Dewan Pengurus Pusat menyepakati Partai Golkar berkoalisi dengan Partai Hanura dengan posisi JK sebagai Capres sedangkan Wiranto sebagai cawapresnya, Hal ini terkesan bahwa komunikasi politik yang digalang oleh beberapa petinggi Golkar dan Demokrat mengalami kebuntuan.
Majunya JK sebagai Capres membuat petinggi Golkar antara mendukung penuh dan tidak mendukung, hal ini dapat di buktikan dengan kehadiran para petinggi Golkar ke Publik guna menunjukan dukungan morilnya terhadap kader Golkar, ataupun menjadi Team Kampanye atau Tim Sukses dari JK – Wiranto, mereka sepertinya hilang di telan bumi. Namun dua hari jelang perhitungan cepat (Quick Count) dan hasilnya menunjukan bahwa JK mengalami ketertinggalan jauh dari kedua konstentan lainnya. Hasil ini sepertinya kesempatan emas untuk para petinggi Golkar yang menghilang jelang pilpres guna melakukan Munaslub karena kekalahan Golkar selama kepemimpinan JK.
Munaslub berhembus kian kencang bahkan informasi yang berkembang bahwa para kelompok yang tidak setuju dengan majunya JK sebagai Capres melakukan pertemuan awal di rumah Aburizal Bakrie sebelum pemilu President 08 Juli 2009 yang lalu, tiupan itu makin gencar pasca pemilu president. Mereka yang kuat mendorong Munaslub adalah adalah tokoh-tokoh senior partai seperti Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Akbar Tanjung, Muladi, Yories Raweyai dan lainnya penulis menyebut mereka sebagai: kelompok Yudas - Pragmatis, mengapa pragmatis karena orang- orang inipulah lah yang membendung laju Akbar Tanjung ketika akan maju untuk kedua kalinya sebagai ketua umum di MUNAS Bali 2004, dan kelompok ini memberikan dukungan penuh kepada JK sehingga terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar.
Saat ini kelompok yang sama kembali bersama Akbar Tanjung mungkin inilah yang dikatakan “tidak ada musuh abadi yang ada adalah kepentingan abadi” mereka disebut dengan sebutan triple A (Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Akbar Tanjung) – Suara Pembaharuan Rabu 15 Juli 2009. Kelompok ini kembali menghembuskan Munaslub dengan menggalang kekuatan dari seluruh DPD seluruh provinsi guna memenuhi syarat sebagaimana tercantum pada pasal 30 AD Partai Golkar, munaslub dapat dilakukan Jika 2/3 DPD provinsi meminta dilakukannya munaslub.
Kelompok lain yang menginginkan Munas dan bukan Munaslub adalah kelompok lain yang memiliki kecenderungan kuat untuk mendorong Surya Paloh sebagai ketua umum, namun sesuai dengan prosedur yang normal kekuatan ini secara matematis cukup siap mengimbangi kelompok Aburizal Bakrie, selain tokoh-tokoh senior ini ada tokoh muda yang dikenal dengan idealismenya yakni Yuddy Chrisnandi yang dikenal di kalangan DPR yang siap tidak populis dengan menentang kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat, yang terang-terangan telah memohon restu dari Ketua Umum Jusuf Kalla untuk maju bertarung sebagai Ketua Umum, tokoh muda ini kemungkinan besar mendapatkan dukungan dari para tokoh muda partai Golkar yang telah menunjukan integritasnya dan bekerja keras sebagai Tim Sukses dan Tim Kampanye JK – Wiranto mereka diantaranya Indra J. Pilliang, Jeffry Giovani, Poempida Hidayatulah dan lainnya kedua kubu baik itu Surya Palloh dan Yuddy Chrisnandi kelompok yang disebutksan terkahir ini memiliki kesamaan pemikiran untuk dapat disatukan menjadi sebuah kekuatan dengan sebutan kelompok Yohanes – Idealis.
Kelompok idealis karena mereka lebih cenderung mempertimbangkan proses normal dan pertimbangan etika organisasi yang berlaku dalam Partai Golkar, selalu menegakan dan melaksanakan keputusan Partai walaupun sebagian pengurus partai tidak menyetujui, menghindar bahkan berpaling di saat partai berada dalam kondisi kritis, serta kelompok ini kemungkinan besar lebih memilih beroposisi dengan penguasa jika.

Dari pemaparan diatas menimbulkan pertanyaan mengapa begitu kuatnya gejolak dalam tubuh Partai Golkar untuk melakukan Munas? Pertarungan dalam tubuh Golkar merupaka sebuah dinamika organisasi, dalam tulisan ini kecenderungan untuk membagi dinamika kelompok dalam tubuh Golkar saat ini jelang Munas Partai Golkar 2009 menjadi dua faksi, pemakaian faksi disini adalah karena terorganisirnya kelompok-kelompok orang dalam kubu-kubu tertentu dalam sebuah organisasi dan kecenderungan terjadinya faksi dalam tubuh golkar bukan karena factor patron-clien atau primordialitaas dalam tubuh partai tetapi, karena perubahan social yakni perdedaan pendapat dan konflik kepentingan elit, serta persaingan politik.
Faksi ini terbentuk karena beberapa factor yang turut mendorong yakni sumber dana yang cukup untuk dapat melakukan agregasi kepentingan kelompok, pribadi yang memiliki niat dan tujuan yang sama. Melihat faksi-faksi yang dikategorikan diatas maka mereka adalah para elit partai yang memiliki tujuan; Pertama, untuk membuat kebijakan, yang jelas dalam waktu dekat agenda utama adalah menentukan posisi partai Golkar pasca pemilu president 2009 apakah bergabung dalam koalisi bersama Partai Pemenang atau beroposisi, Kedua, faksi terbentuk untuk mendukung figure tertentu untuk menduduki posisi politik tertentu. Namun kelihatanya dari konstelasi yang berkembang dalam tubuh Golkar, dari kedua faksi ini adanya sinyal yang jelas dari para kandidat ini tercermin kemana tujuannya yakni bergabung dengan oposisi atau partai penguasa?
Pertarungan dalam tubuh partai Golkar saat ini adalah pertarungan para elit partai, Teori Elit menurut Vilfredo Pareto dapat menggambarkan kelompok elit yang tertentu sebagai para “speculator” dan para “rentenir” dimana perilaku kelompok elit ini memililiki perilaku dan karakteristik yang mirip dengan cara yang dikedepankan Machiaveli dalam usahanya mengabsahkan ataupun merasionalkan penggunaan kekuasaan (SP. Varma – Teori Politik Modern 2007) pemikiran Pareto dapat di identikan dengan kelompok elit Golkar dari Faksi triple A atau kelompok “Yudas – Pragmatis” sedangkan kelompok elit lain menurut Gaetano Mosca yang tidak setajam Pareto tetapi lebih menyukai sesuatu yang dinamis dan berubah melalui persuasi dan mengadakan perubahan dalam sistem politik agar sistem tersebut dapat menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang didikehendaki masyarakat (SP. Varma – 2007), pemikiran Mosca lebih memiliki kedekatan dengn faksi Surya- Yuddy karena mereka mencoba melakukan perubahan dengan beroposisi dan perubahan dalam sistem politik dimana Golkar sebagai partai pemerintah menjadi berubah sebagai partai oposisi, yang saat ini dibutuhkan masyarakat luas terutama konstituen partai Golkar.

Kelompok Yudas - Pragmatis
Faksi triple A penulis lebih cenderung mengelompokan faksi ini sebagai kelompok Yudas – Pragmatis, Yudas dalam Injil adalah salah seorang murid Tokoh Yesus yang fenomenal, bahkan dalam film The Passion of The Crist. Yudas ditunjukan sebagai seorang yang mengkhianati Guru-nya dengan 30 keping perak. Mengapa pragmatis karena Akbar Tanjung (AT) dalam Pemilu President terang-terangan mendukung Pasangan SBY-Boediono, Organisasi masyarakat BARINDO (Barisan Indonesia) AT sebagai salah satu pendiri sekaligus penasihat melakukan deklarasi dan mobilisasi dukungan terhadap pasangan tersebut, dukungan AT terhadap faksi ini bisa saja sebagai barisan sakit hati terhadap kekalahanya dalam Munas 2004 di Bali, dan juga terhadap sikap JK yang tidak melakukan Konvensi dalam tubuh Golkar sebelum mengajukan capres-cawapres.
Mengenai Aburizal Bakrie mengapa ia sebagai tokoh central yang memiliki kepentingan sangat besar dalam pertarungan ini, karena saat ini posisinya di cabinet sebagai bawahan atau tim kerja di SBY, yang mungkin saja memiliki keinginan untuk tetap di cabinet dengan pernyataannya di media masa bahwa posisi Golkar terhadap pemerintahan lima tahun mendatang akan dipertahankan seperti saat ini (Kompas, 15 Juli 2009). Keinginginan ini wajar saja karena bukan saja permasalahan Partai saja yang di pertaruhkan tetapi kepentingan pribadi pun menjadi spekulasi seperti yang di ungkapkan Pareto pada alinea sebelumnya yakni merasionalkan penggunaan kekuasaan, dengan demikian kecenderungan Aburizal Bakrie jelas semua rakyat Indonesia mengetahui apa yang terjadi dengan Lapindo- Brantas di Sidoarjo Jawa Timur yang belum juga usai pelunasan ganti rugi.
Perebutan Ketua Golkar dengan sendirinya mengabsahkan Goilkar sebagai Partai sebagai partai pendukung Pemerintah, sebab apabila Partai Golkar beroposisi maka ada ancaman ganda. yang pertama, SBY dalam menjalankan pemerintahanya dapat mengalami kewalahan dalam menghadapi oposisi, yang kedua, Bakrie Group harus bertanggung jawab melunasi semua kerugian yang di akibatkan oleh Lapindo – Brantas. Alasan logis ini menjadi pertimbangan mengapa Aburizal harus mengambil alih posisi Ketua Partai Golkar dia tidak peduli dengan JK yang selama 5 tahun ini dengan kemudahan-kemudahan berbagai kebijakan menolong Bakrie&Brothers yang mengalami gonjangan akibat Lapindo – Brantas dan krisis lainya termasuk krisis keuangan yang merontokan semua sahamnya.
Sedangkan Agung Laksono bisa dikatakan hanya mencari posisi aman, kemana angin bertiup lebih kencang kesanalah Agung memihak, Agung diselamatkan menjadi Ketua Umum DPR RI periode 2004 – 2009 pun melalui dukungan JK dimana mengalahkan faksi tandingan yang berkeinginan juga dari Internal Golkar, yakni Mahadi Sinambela yang merupakan orang dekat AT. Keberpihakan Agung terhadap faksi triple A pun hanya dengan satu tujuan mendapatkan jabatan strategis, alasan karena tidak mungkin mendapatkan posisi Ketua Umum DPR RI karena bukan partai pemenang pemilu, sehingga perebutan Ketua Umum dan menentukan koalisi sangat menentukan nasib dirinya.

Kelompok Yohanes - Idealis
Salah satu tokoh dalam injil yang menarik juga perannya adalah Yohanes, Ia adalah murid Yesus yang memiliki karakter lemah lembut dan setia selalu bersama sang Guru walaupun dalam keadaan kritis sekalipun hingga sang Guru tergantung di kayu salib Yohanes tetap setia. Karakter ini yang mungkin ingin di tampilkan Yuddy Crisnandi sebagai teladan yang benar dalam menghargai proses yang ada, menjunjung martabat partai yang direpsesentasikan oleh pemimpin partai (memberikan dukungan penuh dan bekerja keras dalam Tim JK – Wiranto). Tanpa melakukan pembangkangan terhadap keputusan partai, serta berpikir untuk tetap menegakan martabat partai, sehingga komitment dirinya untuk maju sebagai Ketua Umum tidak rasional dan tidak memiliki kekuatan financial yang kuat seperti calon-calon yang lain.
Majunya kelompok Idealis sebenarnya berkehendak sepeti yang di paparkan Mosca bahwa peran sebagian elit berkeingingnan untuk melakukan perubahan sistem partai yang dapat menjawab apa yang dibutuhkan dalam masyarakat, yang kecewa dengan para elit yang hanya mau mengejar kepentingan pribadi, keluarga bahkan bisnisnya. Apa yang dilakukan kelompk Yohanes – Idealis merupakan sesuatu yang tidak lazim dimana Golkar sebagai partai pemerintah harus bersikap sebagai oposisi.
Sesuatu yang baru namun harus dicoba untuk membangkitkan kembali Golkar yang mengalami keterpurukan bahkan penurunan suara yang cukup signifikan, jika kesalahan ini di tujukan kepada Pribadi JK ini sesuatu yang salah karena DPP Partai Golkar bukan hanya satu orang tetapi sejumlah nama yang termasuk dalam faksi triple A sehingga kesalahan yang terjadi adalah kesalahan kolektif.
Mungkin saja ini sesuatu yang imposible tetapi kelompok ini memiliki niat yang tulus untuk membangun Golkar yang lebih baik, walaupun harus melawan arus yang kuat yang memiliki kecenderungan hayati untuk mementingkan kepentingan sendiri, kelompok bahkan keluarga, dengan menghalalkan segala cara untuk memenuhi kepentingan sendiri. Dengan demikian demi kemajuan Partai Golkar perlu mencari terobosan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik. Dua faksi yang bertikai antara kelompok Pragmatis yang di dominasi oleh para politisi tua - senior dan kelompok Idealis yang lebih didominasi oleh darah-darah segar sebagai tulang punggung partai, perlu ada kombinasi dan pendekatan persuasive guna memikirkan kemajuan partai ini.
Atau klaim dukungan yang dimiliki oleh kandidat tertentu bahwa telah mendapatkan dukungan sedikitnya 470 DPD Partai Golkar I dan II dari seluruh Indonesia bukan karena iming-iming kekuatan tertentu yang mendorong mereka untuk melakukan kesepakatan tetapi murni untuk kemajuan Partai Golkar, yang sangat di sesalkan apabila kekuatan yang begitu menggiurkan yang ditawarkan guna mendapatkan suara dari para DPD I dan II Partai Golkar dengan mengkhianati kemajuan dan kepentingan rakyat Indonesia yang membutuhkan kehadiran Golkar untuk membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan……
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP-UI

Kamis, 09 Juli 2009

Politik Rasa Iba

“POLITIK RASA IBA”
*Yoyarib Mau

Pasangan kandidat SBY – Boediono yang memperoleh suara pemilih berkisar 50% lebih dalam pemilu President RI pada rabu, 08 Juli 2009 , hasil yang diperoleh terpaut jauh dari dua pasangan kandidat lainnya. Walaupun ada banyak kelemahan dalam pemilu President tahun terkait DPT (Daftar Pemilih Tetap), namun proses pemilihan dapat berjalan lancar tanpa ada kekacauan.
Indonesia memilih President yang kedua kalinya secara langsung pasca reformasi 1998, kali ke dua ini mampu menunjukan kepada dunia bahwa Indonesia telah menjadi salah satu negara Asia yang telah memajukan demokrasi. Demokrasi hingga saat ini diyakini oleh sebagian negara sebagai salah satu konsep terbaik untuk mensejahterakan rakyat.
Dalam proses menuju kekuasaan ada tahapan-tahapan yang dilalui oleh para pasangan untuk bisa menarik simpati masyarakat. Tahapan awal melalui pemilu legislative bagi partai politik untuk mencapai 20% sebagai syarat untuk mencalonkan President, dan tahapan yang menarik dan menyita banyak energi yakni pendeknya masa kampanye yang hanya berlangsung sebulan, menarik adalah dalam kampanye pemilu president tahun ini model kampanye dilakukan dengan debat terbuka yang di pandu oleh para akademisi dan professional yang berkompeten serta disiarkan langsung melalui media massa.
Para kandidat capres atau cawapres dapat memaparkan visi, misi, serta program kerja apabila terpilih nanti, dan para kandidat bisa saling menyanggah dan memperdebatkan pemaparan yang di sampaikan kandidat lain yang dipandu oleh moderator semuanya sangat demokratis, dalam perdebatan tersebut ada kandidat yang saling menuding dan menyudutkan namun mengakhirinya dengan jabatan tangan seraya memaafkan.
Rakyat dapat menyaksikan secara langsung dan memberikan dukungan bagi kandidat yang didukungnya bahkan menaru rasa simpati dan rasa iba bagi kandidat yang didukungnya, pasangan kandidat yang paling banyak di pojokan adalah incumbent Susilo Bambang Yudoyono, kedua pasangan kandidat yang menyerang SBY-Boediono yakni Megawati-Prabowo dan M. Jusuf Kalla-Wiranto, bahkan sejak Pemilu legislative Megawati sudah menyerang SBY dengan program BLT-nya sedangkan JK mengkritisi SBY yang terkadang lamban dalam memutuskan sebuah keputusan harus melalui rapat berkali-kali dengan cabinet.
Pemojokan tidak hanya dilakukan terhadap SBY tetapi cawapres Boediono juga mendapatkan bagiannya dengan menstigmanya sebagai kaki tangan asing yang akan menerapkan mashab ekonomi neoliberal, dan yang tak luput adalah Istri-istri pasangan kandidat, istri SBY diberitakan tidak berkerudung jadi tidak pantas menjadi Ibu negara sedangkan Istri Boediono diisukan sebagai seorang penganut Katolik, dan Boediono sendiri adalah penganut Kejawen, isu-isu ini ditujukan bagi pasangan ini tetapi isu-isu ini dilabelkan bagi pasangan ini.
Menjelang dua hari sebelum pemilu president kedua kandidat pasangan dengan nomor urut satu (1) dan tiga (3) melakukan konferensi pers dan mengancam akan melakukan boikot dengan tidak menyertakan diri dalam pemilu president jika tidak ada pengumuman dari KPU mengenai Daftar Pemilu Tetap (DPT) secara transparan, tindakan ini membuat resah kandidat incumbent.
Pemojokan dan isu-isu yang menyudutkan, menyalahkan kandidat lain menjadi keuntungan bagi kandidat yang mengalami hal tesebut, bagi rakyat hal ini mengurangi rasa simpati bagi incumbent tetapi bagi kelompok masyarakat tertentu yang tidak setuju dengan memojokan atau sering dibahasakan menzalimi orang lain, rakyat melihat hal ini tidak baik karena membangun permusuhan dan tidak sesuai dengan budaya yang ada di Indonesia. Kemampuan untuk membangun citra dengan kondisi ini membuat keuntungan tersendiri bagi para petarung.
Menjadi pertanyaan yang menarik adalah “apakah budaya politik rasa iba menjadi pola yang tepat dalam perpolitikan Indonesia?, jawaban yang dapat diberikan sangat paradoksal karena dalam konteks tertentu hal ini dapat dibenarkan, tetapi pada kontkes tertentu pertanyaan ini tidak relevan. Sejarah memberikan referensi bahwa kemenangan PDI-P dalam pemilu 1999 pasca orde baru karena figure Megawati sebagai putri proklamator Bung Karno. President I yang saat berkuasa di puja masyarakat tetapi kemudian dimusihi bahkan disingkirkan, dikucilkan oleh rezim orde Baru, puncaknya pada tragedy 27 Juli 1996 dimana intervensi penguasa saat itu sangat kental.
rinisiatif Peristiwa dan perilaku ini memupuk rasa simpati terhadap Megawati, hal ini membuat rakyat menaruh rasa prihatin dan rasa ibanya pada pemilu 26 Juli 1999 PDI-P memenangi Pemilu legislatif dengan perolehan suara mencapai 35.689.073 suara atau 33,76 % (Kompas, 29 Juni 2009).
SBY dalam perjalanan karier politiknya hampir memiliki kemiripan yakni mengalami kemelut politik karena merasa tidak dipercaya lagi pada masa kepemimpinan Megawati, sehingga membuatnya mengundurkan diri dari Menko Polkam, keputusan ini membuat rakyat merasa kasihan dan menaruh rasa iba terhadap SBY. Momentum ini membuat SBY berinisiatif bersama-sama teman-temannya membidani lahirnya Partai Demokrat, dan Pengunduran diri SBY dan maju bersama JK sebagai Cawapres membuat Megawati geram dn menyindir mereka sebagai “bajing loncat” membuat rasa simpati rakyat terhadap dirinya kemudian pasangan ini memiliki suara terbanyak pertama pada putaran pertama dan pada putaran kedua menang dengan perolehan suara 78,22 % mengungguli pasangan Mega-Hasyim.
Budaya politik dapat diambil dari fakta-fakta yang dialami bahkan tanpa sadar dilakoni oleh politisi, hal ini dianalisa dianggap sebagai sesuatu yang ideal dan dapat di terapkan dalam perilaku politik (political behavioral) James Bryce mengungkapkan bahwa; ”terdapat ketetapan dan keseragaman pada berbagai kecenderungan dalam sifat manusia, yang memungkinkan kita beranggapan bahwa tindakan seseorang pada suatu saat selalu dikarenakan oleh sebab-sebab yang sama, yang telah pula menentukan tindakan-tindakan mereka pada waktu sebelumnya” (SP. Varma 2007) pemikiran ini jika di kaitkan dengan fakta-fakta yang dialami oleh para President terpilih maka ada kecenderungan yang dapat dijadikan salah satu alasan keterpilihan president ditentukan oleh rasa iba atau rasa simpati rakyat karena diri salah satu kandidat dizalimi atau di pojokan.
Sifat ini dapat dijadikan salah satu dalil politik bahwa menempatkan diri sebagai korban yang dizalimi atau dikucilkan oleh lawan politik dapat menguntungkan bagi diri yakni menarik rasa simpati atau rasa iba dari rakyat. Dan ini menjadi selera atau keinginan rakyat, pasca pemilu president 2009, Andrinof Chaniago menuturkan bahwa “dalam memilih rakyat menempatkan porsi kepribadian calon lebih besar ketimbang soal kemampuan calon, dengan 80 % pemilih berpendidikan SLTP ke bawah, pilihan lebih ditentukan oleh factor selera” (Kompas 9 Juli 2009). Jika dikaitkan dengan proses menuju pemilihan president yang kita lalui saat ini maka dapat di benarkan bahwa perolehan suara yang di peroleh SBY- Boediono, pemojokan terhadap kepribadian yang dimiliki oleh pasangan kandidat nomor urut 2 (dua) yang selalu disudutkan, hal ini pulalah yang mampu dicitrakan pada diri pasangan kandidat yang memperoleh suara terbanyak.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sifat manusia Indonesia, memiliki salah satu kecenderungan politik untuk memilih adalah memilih karena rasa iba atau simpati terhadap kandidat tertentu yang mengalami pemojokan atau disudutkan dan bukan karena memilih berdasarkan kemampuan calon, fakta yang dapat ditarik pasca pemilu president yakni salah satu factor penentu perolehan suara terbanyak yang dicapai SBY – Boediono adalah politik rasa iba yang membudaya dalam masyarakat, dan juga tidak mengesampinkgan factor lain yang turut menentukan.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
Nomor Pokok Mahasiswa : 0806383314