Jumat, 28 Agustus 2009

"Comunal Interest Vs Individual Interest"

“Comunal Interest Vs Individual Interest”
*Yoyarib Mau

Produk Politik dihasilkan melalui proses yang panjang dalam pengambilan keputusan, proses ini tidak dapat di sangkal bahwa syarat dengan pertarungan kepentingan, yang idealnya kepentingan itu untuk kesejahteraan rakyat, prasyarat pengambilan keputusan dilakukan oleh mereka yang di mandatkan oleh rakyat melalui proses pemilu yakni para legislatif.
Para legislatif merupakan representasi dari rakyat, untuk menyuarakan kepentingan rakyat, namun realitas yang terjadi dalam masyarakat ego dan kepentingan pribadilah yang dipaksakan dalam menjalankan fungsi sebagai lagislatif. Hal inilah yang terjadi dalam Sidang Perdana Parlemen Kota Kupang, Rapat biasa yang bukan agenda resmi namun menghasilkan permasalahan yang luar biasa karena mengegerkan semua orang dengan perilaku yang tidak terhormat.
Agenda yang di bicarakan dalam rapat tak resmi adalah membahas tentang rencana pembahasan tata tertib (Tatib), pengisian berbagai alat kelengkapan dewan, termasuk di dalamnya pengisian jabatan Ketua dan Wakil Ketua DPRD dan Komisi-Komisi. Agenda-agenda ini sebenarnya harus di lakukan dalam rapat resmi, apalagi menggunakan Palu sidang sebagai mekanisme formal dalam sebuah rapat dewan.
Kisruh yang sempat terjadi karena perbedaan pendapat antara pihak yang menginginkan pembentukan fraksi dan pihak yang menginginkan pembentukan tim kecil terlebih dahulu, perdebatan ini ibarat memperdebatkan “telur dan ayam” mana yang terlebih dahulu ada. Perbedaan pendapat ini akhirnya tidak dapat di moderatori dengan baik oleh Pimpinan Sidang untuk mencari kesepakatan bersama guna menemukan solusi terbaik yang mengakomodir semua pihak.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah mengapa pimpinan sidang sementara tidak mampu mengarahkan rapat yang di gelar tidak resmi tersebut dengan baik sehingga menimbulkan konflik? Perdebatan yang berakhir dengan kekisruhan ini apabila dianalisa dari kronologis perdebatan hal ini di picu oleh pemaksaan kehendak. Menurut John Dewey tokoh yang memelopori teori demokrasi partisipasi (participatory democracy) pemikirannya hadir karena menguatnya utilitarianisme subyektif self – interest yang subyektif (SP. Varma – 2007) Padahal konteks Indonesia saat ini memilih demokrasi sebagai salah satu konsep bernegara yang baik jika dibandingkan dengan konsep bernegara yang di terapkan dibelahan dunia lain atau warisan budaya seperti bentuk kerajaan dan warisan orde baru yang menjalankan proses bernegara dengan pola otoritarianisme.
Pemikiran “interest yang subyektif” adalah pemahaman yang mengutamakan kehendak individu dan melakukan penolakan terhadap nilai-nilai kekuasaan yang bersifat total. Kekuasaan selalu diidentikan dengan politik karena berhubungan siapa mendapat apa, sehingga tak pelak menimbulkan kesan yang buruk di tengah masyarakat bahwa politik hanyalah basa basi yang dilakukan melalui proses demokrasi yakni pemilu namun justru hanya menguntungan serta memeperkaya segelintir orang.
Persoalan ini tidak hanya terjadi di NTT khususnya pada DPRD Kota Kupang tetapi hampir disemua tempat yang menjalankan sistem demokrasi, dengan demikian yang perlu di lakkukan adalah pemahaman yang matang akan “kekuasaan yang bersifat total” yakni pemahaman akan kekuasaan yang menyeluruh dimana kekuasaan dikelola dengan baik guna mendatangkan tatanan sosial yang baik dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat.
Tentunya pemahaman terhadap yang baik dan adil semestinya dipengaruhi oleh nilai-nilai serta ideologi yang berkembang pada zaman tersebut, demokrasi merupakan ideologi yang saat ini dianggap cukup tepat dalam menjalankan kekuasaan saat ini. Berikut ada beberapa tawaran nilai-nilai demokrasi yang dirumuskan oleh Henry B. Mayo (Miriam Budiarjo – 2008) seperti: Pertama; Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga (jika ada perselisihan maka harus diselesaikan melalui perundingan serta dialog terbuka dalam usaha untuk mencapai kompromi, konsensus atau mufakat). Kedua; menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah. Ketiga; menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur. Keempat; membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum. Kelima; mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman. Keenam; menjamin tegaknya keadilan.
Pemaparan di atas menunjukan bahwa ada sejumlah nilai yang perlu dimiliki oleh masyarakat demokrasi apalagi mereka yang diberikan mandat bahkan peran sebagai representasi rakyat atau pemegang mandat rakyat seyogianya nilai-nilai ini terpatri dalam diri para anggota dewan, mengacu pada kasus DPRD Kota Kupang dua nilai yang belum matang bahkan tidak terpatri yakni nilai pertama dan keempat.
Bagaimana pun juga mereka adalah representasi rakyat karena rakyatlah yang berdaulat memilih mereka untuk mewakili rakyat melalui proses demokrasi yakni pemilu, namun yang perlu di kaji sebagai bahan pertimbangan guna menganalisa penyebab terjadinya konflik ini yakni proses perekrutan politik yang dilakukan partai politik mengalami distorsi, seharusnya perekrutan dan penentuan caleg yang dilakukan partai politik sebaiknya melalui mekanisme tertentu yang ditentukan oleh partai politik sebagai syarat mutlak bagi seorang calon legislatif.
Syarat-syarat itu diantaranya memiliki pemahaman organisasi yang matang, memiliki kepribadian yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi, memiliki track record yang dapat di pertanggung-jawabkan, mencerminkan nilai-nilai agama dan adat (pertimbang etis-moral), memiliki kesehatan psikis dan fisik yang normal,dan pertimbangan lainya. Partai politik sebaiknya memakai dan menyewa profesional yang telah melalui sumpah jabatan guna melakukan penyeleksian atau ujian formal sebagai syarat mutlak untuk menjadi calon legislatif.
Kenyataan yang terjadi saat ini Partai Politik tidak memiliki standar perekrutan caleg yang dapat dijadikan tolak ukur bagi partainya. Partai Politik hanya menentukan dan memilih calon legislatif hanya berdasarkan berapa sumbangsi real bagi partai politik berupa “value” (uang), atau pertimbangan merupakan anak pejabat atau turunan raja, keartisan, popularitas sebagai olahragawan, atau pengusaha kaya yang dapat mendompleng Partai dari nama besar yang dimiliki. Pemikiran ini bukan berarti membatasi dan memasung hak politik mereka tetapi popularitas atau identitas pribadi saja tidak cukup menjadi ukuran. Sebab kondisi demikian akhirnya menghasilkan legislatif yang memiliki kwalitas yang rendah dan tidak memiliki kemampuan yang mampu menghasilkan kebijakan yang dapat mendatangkan “Comunal Bonum” atau “Comunal Interest” bagi semua element.
Apabila standart yang perekrutan yang tidak jelas semua orang yang memiliki “Kepentingan Pribadi” atau “Individual Interset” dapat membeli partai politik (kekuasaan) untuk melakukan balas dendam atau melampiaskan hasrat busuknya yang dapat mengarah ke politik machiavelian, sehingga rumah rakyat yang seharusnya menjadi tempat merumuskan kepentingan rakyat hanya menjadi ajang pemenuhan kepentingan pribadi dan kroninya. Politk (kekuasaan) yang sebenarnya mulia di cederai menjadi politik yang kotor dan dan tak bermartabat.
Produk Politik saat ini di DPRD Kota Kupang merupakan hasil kontribusi masyarakat Kota Kupang yang telah memilih wakilnya sehingga rakyatlah yang bertanggung jawab selama lima tahun kedepan dan produk politik saat ini menjadi pembelajaran penting bagi rakyat Kota Kupang untuk memilih dan menentukan wakilnya pada pemilu yang akan datang.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

Kamis, 27 Agustus 2009

"Pertarungan Menuju MUnas Golkar"

“GOLKAR DI ANTARA GROUP YUDAS DAN GROUP YOHANES”
*Yoyarib Mau


Akhir-akhir ini media massa santer memberitakan tentang Partai Golkar pasca pemilu president, partai yang pernah jaya dengan nama Golongan Karya pada massa Orde Baru. Pemilu Legislatif hampir seluruh petinggi partai ini tampil ke Public dan memberikan komentar mewakili Partai Golkar seputar kesiapan Partai ini sebagai salah satu peserta pemilu, mereka seperti Agung Laksono, Yoris Raweyai, Muladi, Firman Soebagio dan lainya namun pasca pemilu legislative tarik menarik guna mengajukan siapa yang akan maju mewakili Partai Golkar dalam pemilu president 2009 apakah JK maju sebagai Capres, atau maju tetapi hanya Cawapres untuk tetap mendampingi SBY atau mengajukan nama Capres atau Cawapres lain dari internal partai Golkar sendiri.

Tarik menarik yang tak kunjung usai akhirnya dengan berat hati sebahagian Dewan Pengurus Pusat menyepakati Partai Golkar berkoalisi dengan Partai Hanura dengan posisi JK sebagai Capres sedangkan Wiranto sebagai cawapresnya, Hal ini terkesan bahwa komunikasi politik yang digalang oleh beberapa petinggi Golkar dan Demokrat mengalami kebuntuan.

Majunya JK sebagai Capres membuat petinggi Golkar antara mendukung penuh dan tidak mendukung, hal ini dapat di buktikan dengan kehadiran para petinggi Golkar ke Publik guna menunjukan dukungan morilnya terhadap kader Golkar, ataupun menjadi Team Kampanye atau Tim Sukses dari JK – Wiranto, mereka sepertinya hilang di telan bumi. Namun dua hari jelang perhitungan cepat (Quick Count) dan hasilnya menunjukan bahwa JK mengalami ketertinggalan jauh dari kedua konstentan lainnya.
Hasil ini sepertinya kesempatan emas untuk para petinggi Golkar yang menghilang jelang pilpres guna melakukan Munaslub karena kekalahan Golkar selama kepemimpinan JK.

Munaslub berhembus kian kencang bahkan informasi yang berkembang bahwa para kelompok yang tidak setuju dengan majunya JK sebagai Capres melakukan pertemuan awal di rumah Aburizal Bakrie sebelum pemilu President 08 Juli 2009 yang lalu, tiupan itu makin gencar pasca pemilu president namun tiupan Munaslub akhirnya reda dan di disepakati untuk mengadakan Munas Partai Golkar pad awal Oktober 2009 di Pekan Baru dan alternative tempat di Makasar.

Mereka yang kuat mendorong Munaslub adalah adalah tokoh-tokoh senior partai seperti Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Akbar Tanjung, Muladi, Yories Raweyai dan lainnya penulis menyebut mereka sebagai: kelompok Yudas - Pragmatis, mengapa pragmatis karena orang- orang inipulah lah yang membendung laju Akbar Tanjung ketika akan maju untuk kedua kalinya sebagai ketua umum di MUNAS Bali 2004, dan kelompok ini memberikan dukungan penuh kepada JK sehingga terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar.

Saat ini kelompok yang sama kembali bersama Akbar Tanjung mungkin inilah yang dikatakan “tidak ada musuh abadi yang ada adalah kepentingan abadi” mereka disebut dengan sebutan triple A (Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Akbar Tanjung) – Suara Pembaharuan Rabu 15 Juli 2009. Kelompok ini kembali menghembuskan Munaslub dengan menggalang kekuatan dari seluruh DPD seluruh provinsi guna memenuhi syarat sebagaimana tercantum pada pasal 30 AD Partai Golkar, munaslub dapat dilakukan Jika 2/3 DPD provinsi meminta dilakukannya munaslub.

Kelompok lain yang menginginkan Munas dan bukan Munaslub adalah kelompok lain yang memiliki kecenderungan kuat untuk mendorong Surya Paloh sebagai ketua umum, namun sesuai dengan prosedur yang normal kekuatan ini secara matematis cukup siap mengimbangi kelompok Aburizal Bakrie, selain tokoh-tokoh senior ini ada tokoh muda yang dikenal dengan idealismenya yakni Yuddy Chrisnandi yang dikenal di kalangan DPR yang siap tidak populis dengan menentang kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat, yang terang-terangan telah memohon restu dari Ketua Umum Jusuf Kalla untuk maju bertarung sebagai Ketua Umum, tokoh muda ini kemungkinan besar mendapatkan dukungan dari para tokoh muda partai Golkar yang telah menunjukan integritasnya dan bekerja keras sebagai Tim Sukses dan Tim Kampanye JK – Wiranto mereka diantaranya Indra J. Pilliang, Jeffry Giovani, Poempida Hidayatulah dan lainnya kedua kubu baik itu Surya Palloh dan Yuddy Chrisnandi kelompok yang disebutksan terkahir ini memiliki kesamaan pemikiran untuk dapat disatukan menjadi sebuah kelompok kekuatan dengan sebutan Yohanes – Idealis.

Hadirnya Tommy Soeharto dalam bursa kandidat Ketua Umum Golkar tidak terlalu berpengaruh, ini hanya manufer politik Tommy untuk kembali ke dunia bisnis sehingga ia membutuhkan dukungan politik, tidak akan mungkin Tommy lolos sebagai kandidat karena yang pasti akan diganjal kriteria-kriteria yang akan menggugukan keikut sertaannya sehingga dalam tulisan ini tidak banyak menyinggung peran Tommy.

Kelompok idealis karena mereka lebih cenderung mempertimbangkan proses normal dan pertimbangan etika organisasi yang berlaku dalam Partai Golkar, selalu menegakan dan melaksanakan keputusan Partai walaupun sebagian pengurus partai tidak menyetujui, menghindar bahkan berpaling di saat partai berada dalam kondisi kritis, serta kelompok ini kemungkinan besar lebih memilih beroposisi dengan penguasa jika.

Dari pemaparan diatas menimbulkan pertanyaan mengapa begitu kuatnya gejolak dalam tubuh Partai Golkar untuk melakukan Munas? Pertarungan dalam tubuh Golkar merupaka sebuah dinamika organisasi, dalam tulisan ini kecenderungan untuk membagi dinamika kelompok dalam tubuh Golkar saat ini jelang Munas Partai Golkar 2009 menjadi dua faksi, pemakaian faksi disini adalah karena terorganisirnya kelompok-kelompok orang dalam kubu-kubu tertentu dalam sebuah organisasi dan kecenderungan terjadinya faksi dalam tubuh golkar bukan karena factor patron-clien atau primordialitaas dalam tubuh partai tetapi, karena perubahan social yakni perdedaan pendapat dan konflik kepentingan elit, serta persaingan politik.

Faksi ini terbentuk karena beberapa factor yang turut mendorong yakni sumber dana yang cukup untuk dapat melakukan agregasi kepentingan kelompok, pribadi yang memiliki niat dan tujuan yang sama. Melihat faksi-faksi yang dikategorikan diatas maka mereka adalah para elit partai yang memiliki tujuan; Pertama, untuk membuat kebijakan, yang jelas dalam waktu dekat agenda utama adalah menentukan posisi partai Golkar pasca pemilu president 2009 apakah bergabung dalam koalisi bersama Partai Pemenang atau beroposisi, Kedua, faksi terbentuk untuk mendukung figure tertentu untuk menduduki posisi politik tertentu.

Namun kelihatanya dari konstelasi yang berkembang dalam tubuh Golkar, dari kedua faksi ini adanya sinyal yang jelas dari para kandidat ini tercermin kemana tujuannya yakni bergabung dengan oposisi atau partai penguasa?

Pertarungan dalam tubuh partai Golkar saat ini adalah pertarungan para elit partai, Teori Elit menurut Vilfredo Pareto dapat menggambarkan kelompok elit yang tertentu sebagai para “speculator” dan para “rentenir” dimana perilaku kelompok elit ini memililiki perilaku dan karakteristik yang mirip dengan cara yang dikedepankan Machiaveli dalam usahanya mengabsahkan ataupun merasionalkan penggunaan kekuasaan (SP. Varma – Teori Politik Modern 2007) pemikiran Pareto dapat di identikan dengan kelompok elit Golkar dari Faksi triple A atau kelompok “Yudas – Pragmatis” sedangkan kelompok elit lain menurut Gaetano Mosca yang tidak setajam Pareto tetapi lebih menyukai sesuatu yang dinamis dan berubah melalui persuasi dan mengadakan perubahan dalam sistem politik agar sistem tersebut dapat menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang didikehendaki masyarakat (SP. Varma – 2007), pemikiran Mosca lebih memiliki kedekatan dengn faksi Surya- Yuddy karena mereka mencoba melakukan perubahan dengan beroposisi dan perubahan dalam sistem politik dimana Golkar sebagai partai pemerintah menjadi berubah sebagai partai oposisi, yang saat ini dibutuhkan masyarakat luas terutama konstituen partai Golkar.

Kelompok Yudas - Pragmatis

Faksi triple A penulis lebih cenderung mengelompokan faksi ini sebagai kelompok Yudas – Pragmatis, Yudas dalam Injil adalah salah seorang murid Tokoh Yesus yang fenomenal, bahkan dalam film The Passion of The Crist. Yudas ditunjukan sebagai seorang yang mengkhianati Guru-nya dengan 30 keping perak. Mengapa pragmatis karena Akbar Tanjung (AT) dalam Pemilu President terang-terangan mendukung Pasangan SBY-Boediono, Organisasi masyarakat BARINDO (Barisan Indonesia) AT sebagai salah satu pendiri sekaligus penasihat melakukan deklarasi dan mobilisasi dukungan terhadap pasangan tersebut, dukungan AT terhadap faksi ini bisa saja sebagai barisan sakit hati terhadap kekalahanya dalam Munas 2004 di Bali, dan juga terhadap sikap JK yang tidak melakukan Konvensi dalam tubuh Golkar sebelum mengajukan capres-cawapres.

Mengenai Aburizal Bakrie mengapa ia sebagai tokoh central yang memiliki kepentingan sangat besar dalam pertarungan ini, karena saat ini posisinya di cabinet sebagai bawahan atau tim kerja di SBY, yang mungkin saja memiliki keinginan untuk tetap di cabinet dengan pernyataannya di media masa bahwa posisi Golkar terhadap pemerintahan lima tahun mendatang akan dipertahankan seperti saat ini (Kompas, 15 Juli 2009). Keinginginan ini wajar saja karena bukan saja permasalahan Partai saja yang di pertaruhkan tetapi kepentingan pribadi pun menjadi spekulasi seperti yang di ungkapkan Pareto pada alinea sebelumnya yakni merasionalkan penggunaan kekuasaan, dengan demikian kecenderungan Aburizal Bakrie jelas semua rakyat Indonesia mengetahui apa yang terjadi dengan Lapindo- Brantas di Sidoarjo Jawa Timur yang belum juga usai pelunasan ganti rugi.

Perebutan Ketua Golkar dengan sendirinya mengabsahkan Golkar sebagai Partai pendukung Pemerintah, sebab apabila Partai Golkar beroposisi maka ada ancaman ganda. yang pertama, SBY dalam menjalankan pemerintahanya dapat mengalami kewalahan dalam menghadapi oposisi, yang kedua, Bakrie Group harus bertanggung jawab melunasi semua kerugian yang di akibatkan oleh Lapindo – Brantas. Alasan logis ini menjadi pertimbangan mengapa Aburizal harus mengambil alih posisi Ketua Partai Golkar dia tidak peduli dengan JK yang selama 5 tahun ini dengan kemudahan-kemudahan berbagai kebijakan menolong Bakrie & Brothers yang mengalami gonjangan akibat Lapindo – Brantas dan krisis lainya termasuk krisis keuangan yang merontokan semua sahamnya.

Sedangkan Agung Laksono bisa dikatakan hanya mencari posisi aman, kemana angin bertiup lebih kencang kesanalah Agung memihak, Agung diselamatkan menjadi Ketua Umum DPR RI periode 2004 – 2009 pun melalui dukungan JK dimana mengalahkan faksi tandingan yang berkeinginan juga dari Internal Golkar, yakni Mahadi Sinambela yang merupakan orang dekat AT. Keberpihakan Agung terhadap faksi triple A pun hanya dengan satu tujuan mendapatkan jabatan strategis, alasan karena tidak mungkin mendapatkan posisi Ketua Umum DPR RI karena bukan partai pemenang pemilu, sehingga perebutan Ketua Umum dan menentukan koalisi sangat menentukan nasib dirinya.

Kelompok Yohanes – Idealis

Salah satu tokoh dalam injil yang menarik juga perannya adalah Yohanes, Ia adalah murid Yesus yang memiliki karakter lemah lembut dan setia selalu bersama sang Guru walaupun dalam keadaan kritis sekalipun hingga sang Guru tergantung di kayu salib Yohanes tetap setia. Karakter ini yang mungkin ingin di tampilkan Yuddy Crisnandi sebagai teladan yang benar dalam menghargai proses yang ada, menjunjung martabat partai yang direpsesentasikan oleh pemimpin partai (memberikan dukungan penuh dan bekerja keras dalam Tim JK – Wiranto). Tanpa melakukan pembangkangan terhadap keputusan partai, serta berpikir untuk tetap menegakan martabat partai, sehingga komitment dirinya untuk maju sebagai Ketua Umum tidak rasional dan tidak memiliki kekuatan financial yang kuat seperti calon-calon yang lain.

Majunya kelompok Idealis sebenarnya berkehendak seperti yang di paparkan Mosca bahwa peran sebagian elit berkeingingnan untuk melakukan perubahan sistem partai yang dapat menjawab apa yang dibutuhkan dalam masyarakat, yang kecewa dengan para elit yang hanya mau mengejar kepentingan pribadi, keluarga bahkan bisnisnya. Apa yang dilakukan kelompk Yohanes – Idealis merupakan sesuatu yang tidak lazim dimana Golkar sebagai partai pemerintah harus bersikap sebagai oposisi.
Sesuatu yang baru namun harus dicoba untuk membangkitkan kembali Golkar yang mengalami keterpurukan bahkan penurunan suara yang cukup signifikan, jika kesalahan ini di tujukan kepada Pribadi JK ini sesuatu yang salah karena DPP Partai Golkar bukan hanya satu orang tetapi sejumlah nama yang termasuk dalam faksi triple A sehingga kesalahan yang terjadi adalah kesalahan kolektif.

Mungkin saja ini sesuatu yang imposible tetapi kelompok ini memiliki niat yang tulus untuk membangun Golkar yang lebih baik, walaupun harus melawan arus yang kuat yang memiliki kecenderungan hayati untuk mementingkan kepentingan sendiri, kelompok bahkan keluarga, dengan menghalalkan segala cara untuk memenuhi kepentingan sendiri. Dengan demikian demi kemajuan Partai Golkar perlu mencari terobosan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik. Dua faksi yang bertikai antara kelompok Pragmatis yang di dominasi oleh para politisi tua - senior dan kelompok Idealis yang lebih didominasi oleh darah-darah segar sebagai tulang punggung partai, perlu ada kombinasi dan pendekatan persuasive guna memikirkan kemajuan partai ini.

Atau klaim dukungan yang dimiliki oleh kandidat tertentu bahwa telah mendapatkan dukungan sedikitnya 470 DPD Partai Golkar I dan II dari seluruh Indonesia bukan karena iming-iming kekuatan tertentu yang mendorong mereka untuk melakukan kesepakatan tetapi murni untuk kemajuan Partai Golkar, yang sangat di sesalkan apabila kekuatan yang begitu menggiurkan yang ditawarkan guna mendapatkan suara dari para DPD I dan II Partai Golkar dengan mengkhianati kemajuan dan kepentingan rakyat Indonesia yang membutuhkan kehadiran Golkar untuk membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan……

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP-UI

Jumat, 14 Agustus 2009

"Kemerdekaan Ekonomi"

“KEMERDEKAAN EKONOMI”
(Refleksi HUT RI ke - 64)
*Yoyarib Mau

Isu kampanye pada proses pemilu president yang telah lalu, salah satu isu menarik yaitu masalah ekonomi, isu ini menjadi bahan kampanye dari para pasangan kandidat capres-cawapres bagian ini cukup menyita perhatian masyarakat sebab isu ekonomi menjadi isu yang sensitive sebab menyangkut titik nadir kehidupan rakyat.
Pasangan SBY-Boediono memenangi pemilu president pada pemilu 2009 sempat dideskreditkan sebagai pasangan yang mengusung konsep “ekonomi liberal” dimana kebebasan ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada pasar, sedangkan dua pasangan lain mengklaim diri sebagai pengusung ekonomi kerakyatan dimana pemerintah yang memegang kendali ekonomi untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, salah satu pasangan memberikan sentuhan variatif pemanis pada konsep ekonomi kerakyatan dengan sebutan kemandirian ekonomi.
Hasil pemilu president telah usai, keterpilihan SBY- Boediono menunjukan bahwa apapun konsep ekonomi yang ditawarkan tidak berpengaruh terhadap pilihan rakyat, tak dapat dipungkiri bahwa ada factor lain yang menentukan kemenangan pasangan ini, akan tetapi secara keseluruhan rakyat berkeinginan agar kondisi ekonomi yang telah memadai tetap dipertahankan.
Kebangkitan ekonomi Indonesia diharapkan dapat memacu memajukan bangsa ini sedapat mungkin dapat sejajar dengan bangsa lain, tak dapat dihindari bahwa salah satu penentu iklim ekonomi yang baik adalah factor keamanan, suasana yang aman dan kondisif menjadi daya tarik bagi investor asing untuk menanam modalnya di Indonesia dengan demikian ada lapangan kerja baru bagi tenaga kerja Indonesia, peran investor dapat mengurangi pengangguran.
Pasca Pemilu President Indonesia di kejutkan dengan peristiwa pengeboman yang dilakukan teroris di J.W. Marriot dan Ritz Carlton semua terperangah dan mengecam tindakan ini, Peristiwa ini membuat SBY gusar, kegusarannya berdampak saat memberikan pernyataan President yang terkesan menyudutkan dua pasangan yang kalah, pernyataan ini terkesan premature namun penuh luapan emosi hal ini menyangkut keberlangsungan ekonomi bangsa.
Peristiwa tersebut bertepatan dengan tour club bola “Menchester United” ke Asia dan Indonesia menjadi salah satu Negara yang dikunjungi, momentum ini dapat membangun kepercayaan dunia bahwa Indonesia adalah Negara yang aman untuk melakukan Investasi. Peristiwa ini terasa memupus sudah harapan untuk membangun ekonomi rakyat Indonesia. HUT RI Ke 46 menjadi momentum baru bagi pasangan Capres-Cawapres terpilih untuk membangun ekonomi. Pertanyaannya adalah bagaimana SBY-Boediono melakukan proses politik yang tepat guna membangun ekonomi rakyat?
Permbangunan Ekonomi tidak dapat dilepaskan dari peran Politik adanya keterkaitan antara Ekonomi dan Politik, dua ranah yang berbeda. Ekonomi Politik adalah dua bidang yang berbeda tetapi memiliki keterkaitan yang sangat erat, tidak hanya pada tataran tersebut tetapi memiliki hubungan yang sangat erat dan bersinggungan sebagaimana pendapat ini, “dimana kondisi politik menentukan aspek-aspek ekonomi dan bagaimana institusi – institusi ekonomi menentukan proses – proses politik.” ( Joe A. Oppenheimer – 1980).
Teori-teori yang ditawarkan sangat variatif guna diadaptasikan dengan keadaan masyarakat sehingga dapat memetakan permasalahan ekonomi politiknya, kegiatan ekonomi tidak dapat di pisahkan dari kondisi politik karena semua kegiatan ekonomi dilakukan dalam Negara. Proses bernegara adalah proses politik, rasionalitasnya adalah keadaan Negara yang kondisif memberikan ruang bagi berkembangnya proses ekonomi, sebaliknya kegiatan ekonomi yang baik dapat memberikan pendapatan bagi Negara melalui pembayaran pajak atau retribusi kegiatan ini sebagai sumber pendapatan Negara, kemudian Negara dapat menciptakan regulasi dengan mengalokasikan pendapatan Negara bagi fasilitas umum sebagai bukti peran Negara dalam melakukan salah satu fungsi negara yakni melakukan pelayanan publik.
Peran Publik atau masyarakat sangat menentukan maju mundurnya sebuah wilayah atau Negara dengan berperan dalam pertumbuhan ekonomi maka mendatangkan keuntungan bagi Negara sebaliknya peran publik dalam politik dapat menciptakan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada proses ekonomi masyarakat, dan bukan berperilaku seperti pemerintahan kolonial yang memiliki kecenderungan konsep merkantilis rakyat di jadikan “sapi perah” bagi kelompok – kelompok tertentu yang memiliki kekuasaan mengendalikan Negara.
Kegiatan ekonomi dilakukan dengan mengelola sumber daya alam dengan mengkonversi alam dari sebuah cara menjadi tujuan guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, kondisi ini peran Negara adalah bagaimana menghasilkan regulasi atau kebijakan dalam bentuk produk undang – undang yang mengatur tentang batasan atau kesempatan bagi pengelolaan sumber daya alam karena Negara (baca : politik) bukan hanya berbicara bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan tetapi bagaimana komitment moral dalam menjalankan kekuasaan yang berdampak bagi pengembangan ekonomi rakyat.
Dengan demikian Peran Ekonomi Politik adalah bagaimana menganalisa para pelaku ekonomi dan para pelaku politik sehingga dapat menjadi alat control bagi para penguasa yang menjalankan kekuasaan agar tidak menindas rakyat tetapi juga meyarankan bagi rakyat sebagai pelaku ekonomi untuk melakukan dan mewujudkan kewajibannya bagi Negara. Dan peran ekonomi politik adalah memberikan analisa dan tawaran solusi bagi permasalahan yang dihadapi tanpa menimbulkan konflik, juga hasil analisa yang dilakukan bukan untuk membela yang memberikan “komisi” atau karena ikatan emosional tertentu (suku, agama dan ras). Namun peran agama pun dapat menjaga moral dan integritas para ekonomi politik untuk menghasilkan opini atau analisa yang membantu pemerintah memaksimalkan manfaat para warga Negara dalam pengembangan ekonomi dan membantu pemerintah dalam hal ini Negara guna membuat pilihan-pilihan rasional.
Dengan demikian penanganan terorisme harus di selesaikan dengan baik guna membangun kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia, bagimana mereka yang diduga terlibat diproses dengan hukum yang benar dan manusiawi, adanya produk hukum yang dihasilkan sebagai alat kerja bagi penegak hukum dan juga revitalisasi terhadap lembaga Badan Intelegen Negara (BIN) sebagai lembaga Independent dan tidak di seret dalam pusaran kepentingan politik sehinga dapat bekerja maksimal dalam memberikan informasi yang tepat, pembinaan dan penyadaran yang dilakukan lembaga keagamaan untuk dapat menjalankan ajaran keagaamaan yang benar dan pluralis dan bukan pemahaman yang sempit.
Keluarga dari pada pelaku teroris perlu dipulihkan dan tidak diberikan stigma buruk agar mereka pun dapat hidup sebagaimana WNI yang sama kedudukannya tanpa memasung hak-haknya. Memberikan kesempatan yang merata bagi semua golongan untuk berusaha membangun ekonomi tanpa ada pembatasan berdasarkan warna rambut kapitalis berambut putih dan berambut hitam, mayoritas dan minoritas.
Kemerdekaan membangun ekonomi menjadi hak semua warga negara, bagaimana peran Negara untuk memfasilitasi, menyiapkan infrastrukur serta memberikan keamanan, pelayanan public yang optimal dalam semangat otonomi daerah dan dukungan modal agar rakyat dapat membangun ekonominya dengan mengelola sumber daya alam, dan dengan sumber daya manusia sedapat mungkin menciptakan serta memanfaatkan peluang-peluang usaha. Seandainya Negara mampu menyiapkan semua hal ini maka pekik kemerdekaan semangat 1945 “……merdeka……..merdeka……” kembali diteriakan dalam semangat kemerdekaan HUT RI 2009 “……merdeka dari busung lapar……., merdeka dari kebodohan……., merdeka dari kelaparan…...., merdeka dari wabah penyakit…………..”

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI.

Kamis, 13 Agustus 2009

"Mengurai Benang Kusut di Kab. Kupang - NTT

“MENGURAI BENANG KUSUT DI KAB. KUPANG”
*Yoyarib Mau

Kisruh yang tak kunjung usai di Kab. Kupang, melibatkan Bupati, yang berseteru dengan Sekda Kab. Kupang Barnabas B. nDjurumana yang hingga kini dalam tahapan proses banding di PTUN Surabaya dan penggantian sejumlah Penjabat Pemerintahan di Kab. Kupang, Pembangkangan sejumlah Pegawai yang menolak di mutasi ke Kab. Sabu – Raijua karena Surat Keputusan (SK) tersebut terkesan sepihak, seteru ini diperparah saat Bupati di minta pendapat oleh DPRD Kab. Kupang.
Polemik yang terjadi di Kabupaten ini telah menguras tenaga dan energi bahkan pemikiran dari seluruh tingkatan masyarakat (stakeholder) kabupaten, dan polemik di Kab. Kupang merupakan salah satu permasalahan dalam pelaksanaan sistem desentralisasi atau era otonomi daerah di Indonesia, kemungkinan riak politik di kabupaten ini merupakan riak euphoria otonomi daerah yang menarik untuk diikuti. Permasalahan ini menarik untuk di simak karena dapat memberikan pelajaran penting bagi para penguasa di daerah lain dalam menjalankan kepemimpinan, bahkan menetapkan sebuah kebijakan yang tatkala diputuskan tidak menjadi “boomerang” bagi diri dan roda pemerintahan yang dijalankan.
Persoalan di Kab. Kupang sudah berlangsung cukup lama sehingga roda pemerintahan tidak berjalan efektif di suatu sisi Bupati sudah harus menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sesuai dengan PP (Peraturan Pemerintah) No. 8 Tahun 2008 pasal 15 ayat 2 bahwa “Peraturan Daerah (Perda) tentang RPJMD ditetapkan paling lama 6 bulan setelah Kepala Daerah dilantik”. Namun kenyataan yang terjadi sudah hampir melewati batas waktu penetapan RPJMD belum terlaksana, hal ini akan di perrumit saat di ajukan ke legislative untuk disepakati.
Babak ini akan semakin menegangkan karena akan menuai protes bahkan penolakan dari pihak legislative akan rancangan RPJMD yang akan diajukan nanti, hal ini disebabkan oleh ketidaksepahaman yang telah tejadi antara legislative dan eksekutif mengenai kisruh mutasi pejabat, ditambah dengan bekas goresan pilkada yang telah berlalu dapat memperparah kondisi ini.
RPJMD yang terlambat diselesaikan akan berdmpak pada pembangunan karena anggaran yang tidak dapat dialokasikan untuk membiaya pembangunan dan anggaran rutin lainya. Kondisi demikian mungkinkah konflik ini dibiarkan tanpa mencari solusi untuk memecahkan buntunya komunikasi politik di Kabupaten Kupang?. Jika tidak diselesaikan semua persolan ini maka yang mengalami kerugian adalah masyarakat sendiri, serta hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Jalan yang harus ditempuh guna mengurai kebuntuan ini adalah mencari jalan tengah guna menemukan jawaban akan permasalahan ini sebab soal pemerintahan tidak dapat dijalankan oleh individu tetapi membutuhkan kolektifitas (kerjasama) sehingga ada pihak ketiga yang dilibatkan guna menengahi permasalahan ini, sebagai bentuk partisipasi politik.
Partisipasi politik merupakan sebuah peran penting masyarakat dalam proses politk dan hal ini sangat dibutuhkan dalam masa transisi demokrasi, peran partisipasi ini berasal dari masyarakat untuk mencari jalan keluar dari persoalan yang di hadapi, guna mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah. Sebab partisipasi rakyat tidak hanya terbatas pada memebrikan suara pada pemilu kepala daerah (pilkada) yakni memberikan suara di TPS (Tempat Pemungutan Suara), terlibat dalam partai politik tetapi tetapi memiliki peran lebih yakni melakukan hubungan (contancting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah.
Menurut Herbert McClosky berpendapat bahwa “partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum” (Miriam Budiardjo – Gramedia - 2008) partisipasi politik ini berangkat dari pemikiran bahwa kedaulatan di tangan rakyat, memang benar kedaulatan rakyat telah di wakilkan pada para legislative namun apabila para wakil rakyat dengan berbagai kepentingan yang lebih dominant sehingga menyebabkan kemandekan roda pemerintahan maka rakyat dapat berpartisipasi langsung guna mencari solusi terbaik.
Mengacu pada kasus yang terjadi di Kabupaten Kupang peran “lobbying” tidak berjalan dengan baik masyarakat terseret dan terkooptasi dalam berbagai kepentingan baik itu berada dalam pihak Eksekutif (Bupati Ayub Titu Eki), Legislatif keberpihakan terhadap partai pilihannya, dan bahkan di kalangan birokrasi mampu membangun sentiment primordial guna mengakomodir kepentingan kepentingan para pejabat yang di mutasi.
Sehingga masyarakat dapat berperan sebagai penengah yang dibutuhkan, mereka memiliki independensi hanyalah satu kepentingan untuk mencari solusi bagi kemandekan roda pemerintahan di Kab. Kupang akibat kisruh jabatan dan mutasi pegawai agar proses pembangunan dapat berjalan dengan baik. Peran politik masyarakat sangat penting sehingga membatasi kekuasaan absolute dari legislative maupun eksekutif, pendekatan kelompok lobbying sangat di butuhkan jika menemui kebuntuan komunikasi hanyalah siapa yang diharapkan agar dapat mendorong terbentuknya kelompok lobbying ini, apabila melihat kondisi Kab. Kupang dimana masyarakat mengalami keterbatasan dalam mengakses informasi, sebagaian besar masyarakat bekerja di sawah dan ladang.
Lobbying dapat terbentuk jika peran serta para akademisi, wartawan, intelektual, mahasiswa, aktivis, LSM (Civil Society) yang memiliki komitment yang sama guna mengakhiri konflik ini dengan mendorong serta menggerakan masyarakat untuk membentuk kelompok lobbying karena idealisme yang dimiliki, sebab kenyataan yang terlihat hingga saat ini adalah kelompok pro bupati dan kontra bupati yang melakukan mobilisasi massa untuk melakukan demo, sedangkan lobbying yang di maksud disini adalah kelompok masyarakat yang di tuakan (tua-tua adat) dari berbagai kecamatan atau tokoh – tokoh adat dari swapraja-swapraja yang ada dalam lingkup kabupaten Kupang, tokoh agama, guna berdialog bersama menyelesaikan konflik ini.
Keterlibatan masyarakat diharapkan tidak ditafsir sebagai ketidakpercayaan masyarakat terhadap wakil-wakil rakyat dan bupati terpilih tetapi sebagai bentuk keterlibatan politik masyarakat untuk menjembatani persoalan yang mungkin dilakukan berdasarkan tafsir dan ego masing-masing pihak terkait. Sehingga roda pemerintahan dapat bergulir dengan baik serta menghadirkan kemaslahatan bagi masyrakat.



Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik - Kekhususan Politik Indonesia - FISIP - UI