Rabu, 30 September 2009

"Asal ada Modal untuk Pemilu"

“ASAL ADA MODAL UNTUK PEMILU”
*Yoyarib Mau

Permasalahan Bank Century merupakan permasalahan yang pelik, sebab dari masalah ini menyebabkan masalah turunan yang mengaitkan dan melibatkan sejumlah elit negara ini, lembaga negara diantaranya; Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur BI Boediono yang akan menjadi Wakil President, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji, dua Unsur pimpinan KPK yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah.
Gejolak keuangan di Bank Century menarik perhatian publik sebelum pemilu President 08 Juli 2009 namun gaungnya tidak tersebar luas karena hanya menjadi konsumsi para elit terutama yang berhubungan dengan masalah perbankan antara Menteri Keuangan, Gubernur BI. Permasalahan semakin mencuat ketengah masyarakat Pasca Pemilu President saat rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR pada tanggal 27 Agustus 2009 dari pihak terkait hadir Menteri Keuangan Sri Mulayani, dan Pihak Gubernur Indonesia yang seharusnya diwakili oleh Boediono tetapi karena melepaskan jabatan untuk maju sebagai Calon Wapres sehingga di wakili oleh Wakil Gubernur Senior BI Darmin Nasution dan Ketua Eksekutif LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) Firdaus Djaelani (Majalah Forum 07 – 13 September 2009) akhirnya terkuak besarnya dana yang semula hanya di sepakati di Komisi XI DPR RI sebesar Rp. 1.3 triliun tetapi terjadi pembengkakan bailout yang mencapai Rp.6.762 triliun, Padahal alasan telah dilakukan DPR dengan alasan pengucuran dana oleh Menteri Keuangan dengan menjadikan Perppu 4/2008 tentang Jaringan Pengamanan Sektor Keuangan (JPSK).
Menteri Keuangan dan lembaga terkait memakai alasan Perppu 4/2008 karena dapat memberi wewenang kepada BI dan LPS untuk memberi fasilitas pendanaan darurat kepada bank yang kesulitan modal, padahal diketahui bersama bahwa DPR pada tanggal 18 Desember 2008(Suara Pembaharuan 20 September 2009) , telah menolak sepakat untuk menolak Perppu tersebut. Namun Menteri Keuangan, Gubernur BI, Komite Stabilitas Sektor Keuangan) bersepakat untuk melawan hukum dengan beralasan bahwa ada dampak sistematis dari Bank Century jika di likuidasi atau ditutup.
Padahal logika sederhana saja dari rakyat yang bodoh dapat berpikir berapa banyak nasabah rakyat yang diparkir atau di tabung disana dan berapa cabangnya atau perwakilannya yang tersebar di pelosok Indonesia, sehingga dapat dijadikan alasan yang kuat memakai uang negara untuk menyelamatkan Bank Century. Majalah Forum 07-13 September 2009 menuliskan bahwa jumlah nasabah Century hanya 65 ribu orang.
Akibat tindakan melawan hukum yang dilakukan Menteri Keuangan dan lembaga keuangan lainya karena tidak memiliki dasar hukum, dasar hukum yang dipakai telah dibatalkan sebelumnya oleh DPR dengan menjalankan fungsi legislasinya mengakibatkan negara mengalami kerugian yang sangat besar. Pertanyaan pembahasan kita adalah, ”kemana modal negara yang dapat di pakai untuk mengentaskan kemiskinan dan pembangunan hilang dan tak berbekas”?. ”mengapa Menteri Keuangan dan Gubernur BI sebagai kabinet pembantu president ngotot dan getol untuk melakukan dana talangan (bailout) sedemikian besar”? pertanyaan-pertanyaan inilah yang menyebabakan terjadi konflik dan ketidak seimbangan dalam tubuh lembaga-lembaga tinggi negara.
Perilaku yang dilakukan oleh para pejabat yang berhubungan dengan perbankan dan keuangan negara sebenarnya menurut pemikiran Vilfredo Pareto dalam ”teori elit” para pejabat ini melakukan perlawanan hukum dengan konsep ”residu” dengan kepentingan utama nya pada residu ”kombinasi” dan residu “keuletan bersama” dengan bantuan elit yang memerintah yang berusaha melestarikan kekuasaannya (S.P.Varma – Teori Politik Modern 2007).
Teori ini sanagat tepat untuk mengelaborasi permasalahan yang menimbulkan kekacauan diantara lembaga negara, kabinet, dan komisi-komisi dan dana sebesar ini dikemanakan, hanya dalam jangka waktu 9 bulan pasca Desember 2008 hingga Pemilu legislative dan president yang telah berlalu. Sehingga tidak salah seandainya rakyat memiliki pemikiran bodoh bahwa kemungkinan besar uang negara di gunakan untuk kepentingan kampanye partai tertentu dan suksesi pemilu president.
Pemikiran ini kemungkinan beralasan karena Gubernur BI, Menteri Keuangan di pilih dan ditentukan oleh siapa dan mereka bertanggung jawab kepada siapa, yang pasti terhadap President, karena kapasitas mereka sebagai Pembantu President, sudah barang tentu koorinasi dan laporan tetap dilakukan dengan President, sehingga pemikiran Vilfredo Pareto tentang residu “keuletan bersama” dapat dibenarkan.
Pemikiran-pemikiran liar rakyat mendesak DPR mendorong BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) didesak untuk melakukan audit seandainya ada penemuan penyelewengan dana maka KPK (Komisi Pembrantasan Korupsi) melakukan pemeriksaan, namun dalam perkembangan tercium aroma bahwa pihak Polri dalam hal ini turut terlibat dalam kasus Bank Century sehingga ada kombinasi peran lembaga negara untuk menyelamatkan elit tertentu.
KPK dalam melakukan tugasnya untuk menyelesaikan skandal ini mengalami hambatan dari pihak Polri dengan melakukan tuduhan tertentu dan menjatuhkan vonis kepada dua pimpinan KPK yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah sebagai tersangka walaupun belum ada bukti yang kuat untuk Polri menjatuhkan vonis sebagai tersangka. Dan belum selang beberapa lama President mengeluarkan Perppu 04/2009 untuk melakukan penggantian terhadap ketiga anggota KPK ditambah dengan Antasari yang telah terlebih dahulu menjadi tersangka karena kasus lainya.
Perppu No. 04/2009 terkesan sangat premature dan tidak melalui pertimbangan yang matang terlebih dahulu karena menyalahi prosedur, karena UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK belum di tolak dan masih berlaku. Sehingga timbul kesan ada “keuletan bersama” di antara elit untuk saling menyelamatkan diri. Dan mendadak President membentuk Team 5 untuk merekomendasikan nama-nama kepada President.
Team 5 ini terdiri dari Menko Polkam Widodo A.S., Menteri Hukum Andi Mattalata, bekas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki, Anggota Dewan Pertimbangan President Adnan Buyung Nasution, Pengacara Senior Todung Mulya Lubis. Nama- nama tim ini siapa yang tidak mengetahui sepak terjang mereka dan mereka berada pada lingkaran kekuasaan mana, apalagi menjelang penetapan Kabinet baru sehingga pekerjaan yang mereka kerjaan “bermakna dua” untuk memperthankan jabatan dan kedekatan atau untuk kepentingan negara walaupun mereka mempertegas diri bahwa bukan perpanjangan tangan president jika mau jujur bahwa kalau bukan perpanjangan tangan President lepaskan diri dari jabatan yang diemban sehingga ada independensi yang mutlak.
Bukan hanya permasalahan hanya pada pada orang-orang yang ada pada team 5 tetapi pola dan cara perekrutan yang tidak lazim yakni mereka yang menghubungi siapa yang akan menempati posisi tersebut sehingga tidak memberikan ruang bagi rakyat untuk mendaftar (Majalah Tempo 28 September – 04 Oktober 2009) atau mengajukan diri dalam proses pencalonan ini.
Semua permasalahan diatas terkesan bahwa ada keuletan bersama yang diciptakan untuk mengamankan dan mempertahankan kekuasaan dari terpaan hukum maupun proses-proses penelusuran oleh KPK mengenai uang rakyat yang raib entah kemana sehingga perlu keuletan dan kecerdasan khusus untuk mengantisipasi tuduhan-tuduhan buruk berdasarkan rentetan-rentetan peristiwa politik yang terjadi dalam negara ini, inilah wajah politik Indonesia saat yang tak berarah dan bermuara.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

Minggu, 13 September 2009

"Dualisme Peryaan Hari Raya"

“DUALISME PERAYAAN HARI RAYA”
*Yoyarib Mau

Perayaan lebaran Idulfitri 1430 H diantara suka dan duka, antara berkat dn bencana, perayaan dirayakan oleh mereka yang mengucapkan Alhamdulilah tetapi juga ada yang harus rela merayakan dengan berucap Astagfirullah. Idulfitri kali ini akan dirayakan pada 21-22 September 2009, perayaan menjadi dilematis karena ada yang dalam kondisi berbahagia menyambut perayaan hari raya, namun ada yang tidak beruntung tatkala lebaran akan tiba seperti yang dialami sejumlah masyarakat di Jawa Barat akibat gempa bumi yang merupakan kekuasaan alam semesta yang tak bisa dibendung.
Namun semua berkeinginan penuh untuk merayakan Idulfitri dengan berucap Alhamdulilah karena merayakan kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa menahan segala hawa nafsu. Kerinduan untuk merayakan hari lebaran merupakan niat mulia dari semua pemeluk agama Islam guna bersilaturahmi bersama keluarga, orang tua, tetangga dan masyarakat sekitarnya. Interaksi keagamaan inilah mendorong terciptanya tradisi mudik, namun yang menjadi kendala adalah jika mudik menjadi sebuah keharusan maka pemudik harus memiliki sejumlah rupiah untuk bisa mudik karena menyangkut biaya transportasi, zakat dan alokasi santunan bagi kaum duafa.
Bagi Pekerja Swasta dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) ataupun Militer bahkan lembaga, institusi atau usaha atau bisnis apapun yang mempekerjakan orang lain ada keharusan yang mengatur bagi pekerja swasta dan negeri guna mendapatkan tunjangan hari raya yang lebih dikenal dengan sebutan THR Keagamaan, tidak hanya itu tetapi pada level rekanan kerja atau bisnis bahkan guna menjalin hubungan antar umat beragama maka masing-masing membangun hubungan baik tesebut dengan klien atau kenalannya tidak hanya kartu ucapan, sejumlah ucapan melalui pesan elektronik maupun jaringan social terkini seperti facebook dengan ada persiapan “parcel-parcel” yang dikirimkan kepada klien-kliennya, semuanya merupakan ornament-ornament untuk mensemarakan nuansa lebaran.
Maka berbahagialah mereka sebagai pekerja tetap namun tangisan bagi mereka yang hanya bekerja sebagai tenaga harian, penjual koran, tukang parkiran, memiliki strategi tertentu guna mendapatkan sejumlah uang guna turut melakukan perayaan hari raya motif yang di lakuka adalah menyertakan amlop yang berisi surat dan ditujukan kepada pribadi-pribadi tertentu yang dikenal karena layanan jasa yang dilakukan dan yang paling menyedihkan adalah mereka yang mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), pengemis jalanan ataupun pengamen jalanan mereka sering dikategorikan sebagai kaum miskin kota, kaum marginal dan berbagai label miring lainnya.
Kaum marginal pun memiliki hak yang sama untuk merayakan hari raya tanpa ada pembatasan karena hal ini menyangkut masalah keyakinan yang dianutnya, sehingga mereka pun berusaha dengan pola tertentu guna bisa memperoleh biaya guna merayakan hari raya, Untuk menjawab kerinduan tersebut mereka harus berada di sejumlah lampu merah, sejumlah tempat perhentian busway, sejumlah jembatan penyeberangan guna mendapatkan belas kasihan dengan satu tujuan dapat merayakan hari raya. Namun pertanyaan yang menarik guna perenungan yakni “bagaimana kelompok miskin ini turut mensemarakan hari raya terutama hari raya lebaran yang akan dirayakan pada 21-22 September 2009 nanti”?
Padahal ada aturan konstitusi negara kita yakni UUD 1945 pasal 34 mengatur kewajiban negara yakni “fakir miskin dan dan anak-anak terlantar di pelihara oleh negara“ namun realitas yang terjadi adalah layanan yang harus dilakukan oleh negara tidak berdampak bagi kaum marginal, malah semakin hari semakin bertambah. tetapi kenyataannya jaminan pengamanan social yang seharusnya dilakukan oleh negara bagi kaum miskin tak kunjung tercapai. Dan ini menunjukan negara gagal mengatasi permaslahan ini.
Sehingga sudah barang tertentu manusia sebagai makhluk social “homo homoni socius” dalam melakukan interaksi social memaknai nilai kehidupan yakni berbagi kasih dengan orang lain, walau beresiko bagi pemberi sedekah namun naluri kemanusiaan hadir guna membawa keluar mereka yang bergelut dengan kesulitan dan kemiskinan guna dapat terbersit senyuman sukacita dalam merayakan hari raya.
Namun berbahaya bagi masyarakat atau kelompok masyarakat yang memiliki empati dengan kaum miskin dan mau melakukan amal ibadahnya dengan berbagi dengan kaum marginal namun di DKI Jakarta hal ini menuai bencana yakni 12 warga di tangkap karena memberi sedekah bagi para pengemis (Kompas 3/9/2009) tindakan ini dinilai telah melanggar Perda 08 tahun 2007 tentang “Ketertiban Umum”.
Kasus ini kemudian penulis merefleksikan bahwa adanya dualisme dalam merayakan hari raya , ada sebagian yang melakukan kebenaran mau menolong orang guna melakukan amal tetapi malah menuai bencana, membantu sesama adalah bentuk kepedulian social sebagai makhluk social dan bentuk asli dari budaya Indonesia. Jika para koruptor mengirimkan paket bingkisan lebaran dalam bentuk parcel kepada para pejabat penegak hukum atau pejabat pemerintah untuk meloloskan dan memuluskan proposal atau “tender” proyek yang sedang di ajukan tidak dikenakan hukuman atau di tangkap, mungkinkah karena mereka berdasi dan menduduki kelas social yang lebih terhormat?
Jika alasan nya adalah menggangu ketertiban umum? manakah yang lebih baik mengambil uang rakyat dengan pola korupsi dan kolusi untuk memperkaya diri sendiri, padahal uang itu merupakan hak rakyat untuk menikmati pembangunan yang bertujuan mensejahterakan rakyat sehingga rakyat tidak mengemis di jalanan. Realitas yang terjadi hanya karena dengan pakiannya yang kumal dan sobek berdasarkan perspektif keindahan menurut versi pemerintah hal ini menggangu ketertiban umum.
Kondisi rakyat miskin hadir semestinya kegagalan pemerintah menjalankan UUD – 1945 karena tidak memelihara fakir miskin dan anak terlantar, sehingga masyarakat luas berempati dengan kondisi ini malah di tangkap hal ini telah menjungkir balikan rasio berpikir yang benar.
Kondisi lain yang menjadi sorotan penulis terhadap pemerintah dalam memberlakukan aturan yang membatasi masyarakat melakukan atau memberikan bantuan bagi kaum miskin di jalanan kemungkinan berkeinginan untuk mendorong proses memberi zakat atau memberi bantuan melalui lembaga pemerintah seperti BAZARNAS di tingkat Pusat yang dikelola oleh Departemen Agama dan badan yang sama pula yang ada di daerah, apriori masyarakat terhadap mental korupsi dan tidaknya transparansi dalam tubuh birokrasi membuat masyarakat berkeinginan agar apa yang mereka berikan lebih baik dinikmati secara langsung oleh mereka yang layak menerima dan kepuasan emosional langsung dinikmati oleh masyarakat yang berkeinginan memberi.

*Penulis Mahasiswa Ilmu Politik - Kekhususan Politik Indonesia - FISIP - UI

Senin, 07 September 2009

"demokrasi Semu di Indonesia"

“Demokrasi Semu di Indonesia”
Berdasarkan Pemikiran
“Issues dan Methods in Comparative Poliytics”
Todd Landman

Ringkasan :
Topik pembahasan dalam artikel ini diawali dengan pertanyaan mengapa perlu ada perbandingan, perbandingan adalah aktifitas yang alami dari manusia tentang bentuk – bentuk yang dapat dijadikan perbandingan di sebuah wilayah, atau negara lain bentuk-bentuk yang dapat dijadikan perbandingan antara lain; etnik, bahasa, agama, keluarga, budaya. dan juga identitas lain yang tampak atau kelihatan seperti; keadaan ekonomi, dan keadaan sosial politik.
Obyek pertama dari perbandingan politik adalah sebuah proses gambaran fenomena politik dan peristiwa istimewa yang terjadi di sebuah negara atau kelompok negara. Dalam tradisi ilmu politik, obyek dari perbandingan politik tampak berbeda dalam penelitian guna mencapai pemahaman yang sederhana perbandingan sering tidak sama dalam melakukan pengelompokan konsep untuk sejumlah negara karena sistim politik dan juga peristiwa tertentu di negara lain.
Penggolongan bisa di terjadi karena dikotomi sederhana seperti otoriter dan demokrasi atau ada lagi tipologi yang kompleks yakni rezim dan sistem pemerintahan. Karya terkenal sebagian diklasifikasikan dengan menghadirkan Aristotle’s Politics dengan menetapkan enam tipe kekuasaan yang diberikan oleh Aristoteles, enam bentuk kekuasaan tersebut antara lain; Monarkhi, Aristokrasi, Pemerintahan Negara/Masyarakat, Tirani, Oligarki dan Demokrasi.
Ada klasifikasi lain yang diberikan oleh Finer’s (1997 – Sejarah Pemerintahan) yang mana bentuk kalsifikasi ini sudah ada sejak zaman kuno. Samuel Finer menyimpulkan empat tipe dasar yakni: Pemerintahan Kerajaan /Istana, Pemerintahan Gereja /Agama, Pemerintahan Kaum bangsawan/Ningrat, Pemerintahan Majelis/Musyawarah.
Setiap tipe memiliki perbedaan yang alami dari setiap keputusan pengelolaannya; pertama, Pemerintahan oleh kerajaan/istana, penetapan kebijakan hanya bersedia pada satu individu (raja/ratu), kedua; Pemerintahan oleh Agama/Gereja memiliki peranan penting jika ada masalah yang eklusif, gereja atau agama berhak mengatakan sesuatu sebagai sebuah kebijakan, ketiga; Pemerintahan oleh Bangsawan/Ningrat dalam satu wilayah masyarakat yang memiliki keunggulan tertentu yang kuat dan memberi pengaruh dalam penetapan kebijakan, keempat; Pemerintahan oleh Majelis/Musyawarah mereka mendapatkan hak yang dianugerahan kepada penguasa-penguasa yang di sebut majelisoleh pimpinan-pimpinan masyarakat bawah.
Dari pembahasan perbandingan politik diatas untuk mengakhiri pembahsan ini dibutuhkan term umum yang dapat digunakan oleh ilmu sosial dan seluruh pelaku politik guna melakukan pendekatan ilmiah untuk menemukan teori dan metode melalui pendekatan ontologis, epistimologis dan methodologis, hasil pendekatan ini menghasilkan dua tipe dasar dari teori ilmu politik kedua teori itu adalah teori normatif dan teori empirical.
Teori Normatif : secara spesifik bagaimana sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat memberi hasil dan memiliki makna filosofis. Sedangkan Teori Empiris mencari guna menemukan penyebab hubungan antara dua atau lebih konsep sebagai suatu upaya untuk menjelaskan kejadian dari observasi fenomena politik.


Tanggapan :

Jika teori empiris dan dan normatif, apabila membandingkan politik di Indonesia sangat menarik untuk melakukan kajian berdasarkan dua teori diatas yakni teori normatif dan teori empiris. Indonesia menerapkan tipe kekuasaan yang diberikan oleh Aristoteles yakni bentuk Demokrasi di pasca reformasi indikatornya adalah proses pemilihan kepala negara maupun kepala daerah baik di tingkat Provinsi, kabupaten bahkan kota di pilih secara langsung oleh rakyat yakni “one man one vote”.
Namun apabila penerapan teori normatif maka semua kapala daerah di seluruh wilayah Indonesia harus menerapkan pemilihan kepala daerah secara langsung tanpa ada pengecualian, kenyataan bahwa Indonesia memberikan pengecualian bagi salah satu Provinsi yakni Yogyakarta dimana Kepala Daerah lagsung oleh bangswan atau kraton, hal ini jika di hubungkan dengan pemikiran Samuel Finer yang mengklasifikasikan empat tipe dasar pemerintahan yakni pemerintahan oleh Bangsawan atau Ningrat, hal ini menjadi fenomena menarik sebelum pemilu president di mana Sri Sultan Hamengkubuwono XI sbagai pemangku dan kepala pemerintahan Yoyakarta berkeinginan untuk mengajukan diri sebagai Calon President. Fenomena ini membuat gejolak dalam masyarakat di mana akan ada kekosongan kepemimpinan di Yogyakarta.
Timbul fenomena politik dalam masyarakat dimana sebagian masyarakat tidak menginginkan agar pola pemerintahan dalam hal ini kepala pemerintahan di pilih langsung melalui pilkada, tetapi tetap menerapkan kaum bangwawan atau kraton sebagai kepala pemerintahan, namun di lain pihak sebagaian masyarakat berkehendak agar penerapan pilkada sesuai dengan semangat otonomi daerah dalam era demokrasi dapat di samakan dengan semua provinsi di tanah air.
Kontroversi ini menghasilkan dua isu mayor seperti yang di kemukan oleh SP. Varma (Teori Politik Modern – 2007) yakni; pertama; dapatkah analisa politik menjadi netral? kedua; haruskah analisa politik itu netral? Dua isu ini menjadi pertanyaan untuk melakukan perbandingan politik dalam negara Indonesia dan juga di bandingkan dengan negara lain. Dimana penerapan bentuk kekuasaan di Indonesia saat ini demokrasi tetapi tidak semua wilayah menerapkan klasifikasi pemerintahan dengan tipe pemerintahan bangsawan atau ningrat, bahkan gejolak menarik saat ini untuk melakukan penerapan klasifikasi pemerintahan agama (penerapan syarat islam di beberapa wilayah di Indonesia).
Permasalahan ini memerlukan analsa politik yang tepat guna menemukan fakta nomatif dimana posisi analisa politik atas bentuk demokrasi saat ini netral atau berdasakan bukti empiris yang ada dalam negara kita dapat menunjukan adanya persilangan penerapan bentuk atau tipe campur atau memang murni penerapan bentuk demokrasi. Namun kelihatannya Indonesia pada tingkatan Nasional murni demokrasi tetapi pada penerapan lokal atau daerah memakai penerapan berbagai tipe kalsifikasi menurut samuel Finner yang telah mengalami percampuran dan tidak lagi netral misalnya di Yogyakarta ada combinasi antara Pemerintahan Majelis (Forum) dan Pemerintahan Bangsawan (Nability) di Aceh ada combinasi Pemerintahan Majelis (Forum) tetapi juga ada Pemerintahan Agama (Church).

Apabila Indonesia dalam pemahaman ilmu politik dimana perbandingan politik Indonesia dengan negara lain pada tingkatan nasional benar menjalankan bentuk demokrasi namun pada tingkatan lokal atau daerah ada combinasi sehingga dapat di simpulkan bahwa penerapan demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya.

"demokrasi Semu di Indonesia"

“Demokrasi Semu di Indonesia”
Berdasarkan Pemikiran
“Issues dan Methods in Comparative Poliytics”
Todd Landman

Ringkasan :
Topik pembahasan dalam artikel ini diawali dengan pertanyaan mengapa perlu ada perbandingan, perbandingan adalah aktifitas yang alami dari manusia tentang bentuk – bentuk yang dapat dijadikan perbandingan di sebuah wilayah, atau negara lain bentuk-bentuk yang dapat dijadikan perbandingan antara lain; etnik, bahasa, agama, keluarga, budaya. dan juga identitas lain yang tampak atau kelihatan seperti; keadaan ekonomi, dan keadaan sosial politik.
Obyek pertama dari perbandingan politik adalah sebuah proses gambaran fenomena politik dan peristiwa istimewa yang terjadi di sebuah negara atau kelompok negara. Dalam tradisi ilmu politik, obyek dari perbandingan politik tampak berbeda dalam penelitian guna mencapai pemahaman yang sederhana perbandingan sering tidak sama dalam melakukan pengelompokan konsep untuk sejumlah negara karena sistim politik dan juga peristiwa tertentu di negara lain.
Penggolongan bisa di terjadi karena dikotomi sederhana seperti otoriter dan demokrasi atau ada lagi tipologi yang kompleks yakni rezim dan sistem pemerintahan. Karya terkenal sebagian diklasifikasikan dengan menghadirkan Aristotle’s Politics dengan menetapkan enam tipe kekuasaan yang diberikan oleh Aristoteles, enam bentuk kekuasaan tersebut antara lain; Monarkhi, Aristokrasi, Pemerintahan Negara/Masyarakat, Tirani, Oligarki dan Demokrasi.
Ada klasifikasi lain yang diberikan oleh Finer’s (1997 – Sejarah Pemerintahan) yang mana bentuk kalsifikasi ini sudah ada sejak zaman kuno. Samuel Finer menyimpulkan empat tipe dasar yakni: Pemerintahan Kerajaan /Istana, Pemerintahan Gereja /Agama, Pemerintahan Kaum bangsawan/Ningrat, Pemerintahan Majelis/Musyawarah.
Setiap tipe memiliki perbedaan yang alami dari setiap keputusan pengelolaannya; pertama, Pemerintahan oleh kerajaan/istana, penetapan kebijakan hanya bersedia pada satu individu (raja/ratu), kedua; Pemerintahan oleh Agama/Gereja memiliki peranan penting jika ada masalah yang eklusif, gereja atau agama berhak mengatakan sesuatu sebagai sebuah kebijakan, ketiga; Pemerintahan oleh Bangsawan/Ningrat dalam satu wilayah masyarakat yang memiliki keunggulan tertentu yang kuat dan memberi pengaruh dalam penetapan kebijakan, keempat; Pemerintahan oleh Majelis/Musyawarah mereka mendapatkan hak yang dianugerahan kepada penguasa-penguasa yang di sebut majelisoleh pimpinan-pimpinan masyarakat bawah.
Dari pembahasan perbandingan politik diatas untuk mengakhiri pembahsan ini dibutuhkan term umum yang dapat digunakan oleh ilmu sosial dan seluruh pelaku politik guna melakukan pendekatan ilmiah untuk menemukan teori dan metode melalui pendekatan ontologis, epistimologis dan methodologis, hasil pendekatan ini menghasilkan dua tipe dasar dari teori ilmu politik kedua teori itu adalah teori normatif dan teori empirical.
Teori Normatif : secara spesifik bagaimana sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat memberi hasil dan memiliki makna filosofis. Sedangkan Teori Empiris mencari guna menemukan penyebab hubungan antara dua atau lebih konsep sebagai suatu upaya untuk menjelaskan kejadian dari observasi fenomena politik.


Tanggapan :

Jika teori empiris dan dan normatif, apabila membandingkan politik di Indonesia sangat menarik untuk melakukan kajian berdasarkan dua teori diatas yakni teori normatif dan teori empiris. Indonesia menerapkan tipe kekuasaan yang diberikan oleh Aristoteles yakni bentuk Demokrasi di pasca reformasi indikatornya adalah proses pemilihan kepala negara maupun kepala daerah baik di tingkat Provinsi, kabupaten bahkan kota di pilih secara langsung oleh rakyat yakni “one man one vote”.
Namun apabila penerapan teori normatif maka semua kapala daerah di seluruh wilayah Indonesia harus menerapkan pemilihan kepala daerah secara langsung tanpa ada pengecualian, kenyataan bahwa Indonesia memberikan pengecualian bagi salah satu Provinsi yakni Yogyakarta dimana Kepala Daerah lagsung oleh bangswan atau kraton, hal ini jika di hubungkan dengan pemikiran Samuel Finer yang mengklasifikasikan empat tipe dasar pemerintahan yakni pemerintahan oleh Bangsawan atau Ningrat, hal ini menjadi fenomena menarik sebelum pemilu president di mana Sri Sultan Hamengkubuwono XI sbagai pemangku dan kepala pemerintahan Yoyakarta berkeinginan untuk mengajukan diri sebagai Calon President. Fenomena ini membuat gejolak dalam masyarakat di mana akan ada kekosongan kepemimpinan di Yogyakarta.
Timbul fenomena politik dalam masyarakat dimana sebagian masyarakat tidak menginginkan agar pola pemerintahan dalam hal ini kepala pemerintahan di pilih langsung melalui pilkada, tetapi tetap menerapkan kaum bangwawan atau kraton sebagai kepala pemerintahan, namun di lain pihak sebagaian masyarakat berkehendak agar penerapan pilkada sesuai dengan semangat otonomi daerah dalam era demokrasi dapat di samakan dengan semua provinsi di tanah air.
Kontroversi ini menghasilkan dua isu mayor seperti yang di kemukan oleh SP. Varma (Teori Politik Modern – 2007) yakni; pertama; dapatkah analisa politik menjadi netral? kedua; haruskah analisa politik itu netral? Dua isu ini menjadi pertanyaan untuk melakukan perbandingan politik dalam negara Indonesia dan juga di bandingkan dengan negara lain. Dimana penerapan bentuk kekuasaan di Indonesia saat ini demokrasi tetapi tidak semua wilayah menerapkan klasifikasi pemerintahan dengan tipe pemerintahan bangsawan atau ningrat, bahkan gejolak menarik saat ini untuk melakukan penerapan klasifikasi pemerintahan agama (penerapan syarat islam di beberapa wilayah di Indonesia).
Permasalahan ini memerlukan analsa politik yang tepat guna menemukan fakta nomatif dimana posisi analisa politik atas bentuk demokrasi saat ini netral atau berdasakan bukti empiris yang ada dalam negara kita dapat menunjukan adanya persilangan penerapan bentuk atau tipe campur atau memang murni penerapan bentuk demokrasi. Namun kelihatannya Indonesia pada tingkatan Nasional murni demokrasi tetapi pada penerapan lokal atau daerah memakai penerapan berbagai tipe kalsifikasi menurut samuel Finner yang telah mengalami percampuran dan tidak lagi netral misalnya di Yogyakarta ada combinasi antara Pemerintahan Majelis (Forum) dan Pemerintahan Bangsawan (Nability) di Aceh ada combinasi Pemerintahan Majelis (Forum) tetapi juga ada Pemerintahan Agama (Church).

Apabila Indonesia dalam pemahaman ilmu politik dimana perbandingan politik Indonesia dengan negara lain pada tingkatan nasional benar menjalankan bentuk demokrasi namun pada tingkatan lokal atau daerah ada combinasi sehingga dapat di simpulkan bahwa penerapan demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya.