Kamis, 19 November 2009

"TARIK-ULUR PARTAI KECIL DALAM PENENTUAN KANDIDAT"

TARIK-ULUR PARTAI KECIL DALAM PENENTUAN KANDIDAT
Oleh : Yoyarib Mau

Era Demokrasi semua warga negara memiliki hak yang sama untuk turut serta dan berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Pada masa kolonial berbagai organisasi social atau terang-terangan menganut asas politik dalam jumlah yang cukup semuanya memainkan peranan dalam masa pergerakan national.

Sehingga pada pemilu 1955 partai politik yang menggikuti pemilu berkisar 29 partai, masuk dalam kekuasaan orde baru tahun 1973 dari sekian partai di kelompokan menjadi 3 (tiga) partai saja yakni PPP, GOLKAR dan PDI. Sejalan dengan lengsernya Soeharto dan berakhirnya masa orde baru salah satu tuntutan reformasi adalah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan partai.

Hal ini memberikan peluang bagi semua orang untuk mendirikan partai dengan berbagai alasan diantaranya; karena partai-partai besar atau tradisional yang ada telah mengalami kegagalan dalam membangun kesejahteraan terutama merubah social-ekonomi masyarakat, adapula yang ingin memperjuangkan ideologi tertentu, ada sebagian membentuk partai karena barisan sakit hati, adapula yang lebih ekstrim lagi yakni mencari keuntungan dan peluang kerja baru dikarenakan anggota legislative mendapatkan gaji dan sejumlah tunjangan tertentu.

Menjelang Pilkada di Provinsi NTT hadir fenomena dan polemik yang berkepanjangan dalam penentuan kandidat cagub-cawagub dalam pilkada NTT turut diwarnai oleh partai-partai politik yang mengikuti pemilu pada tahun 2004 ada yang langsung mencalonkan kandidatnya seperti PDIP dan Golkar akan tetapi ada yang harus melakukan koalisi yakni partai-partai politik yang memiliki minoritas kursi di legislative.

Penulis menyebut partai minoritas ini dengan sebutan Partai Kecil karena otomatis mereka tidak dapat mencalonkan kandidatnya secara langsung dan jalan satu-satunya hanyalah berkoalisi.
Inilah yang dilakukan sejumlah Partai Kecil di NTT yang berkoalisi menyambut Pilkada 2008 namun menimbulkan pertanyaan apa yang menyebabkan sehingga penentuan kandidat yang akan diusung sangat sulit untuk ditentukan apakah karena konsolidasi antar partai yang mengalami kemandekan karena berbeda ideologi atau karena belum tergenapinya transaksi nilai yang diharapkan? Dengan demikian memberikan preseden buruk bagi partai-partai kecil,

GADIS-GADIS YANG BODOH

Perumpamaan tentang gadis-gadis yang bodoh dalam Injil Matius dapat menggambarkan bagaimana peran Partai Kecil dalam menghadapi pilkada Prov. NTT sebagai sebuah pesta. Seharusnya partai-partai ini melakukan mempersiapkan diri jauh-jauh hari dengan melakukan survei atau dengar pendapat dari rakyat NTT sebagai basis pemilihnya sehingga ada kader atau figure yang layak dan dikenal oleh rakyat.

Realitas yang terjadi adalah pribadi atau figure yang memiliki keuangan yang kuat dapat mencetak poster atau kelender sebagai daya tarik atau mengiklankan diri terlebih dahulu, yang disebarkan ke pelosok-pelosok, di pajang dirumah-rumah rakyat kemudian lembaga survei melakukan penelitian dan menentukan bahwa figure inilah yang dikehendaki oleh rakyat indikatornya hanyalah sebuah kelender tahunan.

Fenomena ini membuktikan bahwa partai-partai kecil yang diharapkan sebagai kekuatan demokrasi atau penyeimbang bagi partai-partai besar atau traditional hanya sekedar pajangan. Partai-partai kecil ini telah mengalami kegagalan karena tidak mampu mempersiapkan figure yang berpotensi dari kelas masyarakat bawah. Seharusnya partai-partai kecil memiliki militansi dan nilai jual (posisi tawar) dimata rakyat sebagai pemberi perubahan (agen of change), contoh kasus dalam Pilkada Sumatera Utara dan Jawa Barat PKS-PAN mencalonkan kadernya sendiri bahkan mereka berdomisili di luar Jawa Barat mampu mengalahkan incumbent dari partai-partai besar.dengan demikian Partai-Partai kecil diharapkan aktif menyelesaikan masalah, bukan menjelang hari pelaksanaan Pilkada barulah beramai-ramai mencari siapa yang mau dicalonkan.

CITRA PARTAI BERWAJAH DUA

Partai politik haruslah memiliki program kerja yang jelas yang dapat di lakukan di tengah-tengah masyarakat sebagai bukti keberpihakan terhadap rakyat, karena komitment awal partai di bentuk dengan harapan ingin memperbaiki sistem di Negara ini yang tidak baik menjadi lebih baik.

Kenyataannya proses pengkaderan dan pembinaan kader hanya dalam bentuk seremonial belaka yakni adanya Rapimda dan Musda di tingkat daerah, atau apapun namanya untuk pergantian atau memperpanjang kepengurusan guna lolos dalam verifikasi partai guna turut dalam pemilu.

Akan tetapi mengkhianati fungsi partai sebenarnya dengan melibatkan semua golongan untuk berpartisipasi guna menjamin kontinuitas dan kelestarian partai sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin.

Para stakeholder Partai-Partai kecil tidak mempersiapkan kader, sebab bagi mereka dengan membina hubungan emosional dengan keluarga dan kerabat saja dalam pemilu nanti, targetnya dapat memperoleh 1 atau 2 kursi di legislative sudah menjadi keuntungan bagi partainya karena figure yang berkeinginan untuk menjadi kandidat akan mendekatinya dan membangun koalisi dengan partai lain yang memiliki pola yang sama sehingga terjadilah transaksi nilai.

Momentum Pilkada seharusnya di jadikan sebagai turbelensi politik dimana partai-partai kecil memanfaatkanya secara optimal menaikan citra partai untuk menarik simpati rakyat yang otomatis berpengaruh besar dalam Pemilu 2009. Namun Pilkada di coreng sebagai ajang “penjarahan” dan “pemerasan” dari pada aktor-aktor, akhirnya partai politik mengalami pergeseran makna tidak berjuang untuk memakmurkan rakyat namun sebaliknya berisi para penjarah dan pemeras dengan demikian Negara pun bersifat penjarah (predatory state) tidak salah apabila salah seorang kandidat dari partai tertentu mengatakan “maling jangan teriak maling”.

Penulis: Yoyarib Mau
Anggota GMKI Cabang Jakarta
Kannutuan@yahoo.com - (tulisan ini sudah di publikasikan di Media Lokal Timor Express)

"TARIK-ULUR PARTAI KECIL DALAM PENENTUAN KANDIDAT"

TARIK-ULUR PARTAI KECIL DALAM PENENTUAN KANDIDAT
Oleh : Yoyarib Mau

Era Demokrasi semua warga negara memiliki hak yang sama untuk turut serta dan berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Pada masa kolonial berbagai organisasi social atau terang-terangan menganut asas politik dalam jumlah yang cukup semuanya memainkan peranan dalam masa pergerakan national.

Sehingga pada pemilu 1955 partai politik yang menggikuti pemilu berkisar 29 partai, masuk dalam kekuasaan orde baru tahun 1973 dari sekian partai di kelompokan menjadi 3 (tiga) partai saja yakni PPP, GOLKAR dan PDI. Sejalan dengan lengsernya Soeharto dan berakhirnya masa orde baru salah satu tuntutan reformasi adalah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan partai.

Hal ini memberikan peluang bagi semua orang untuk mendirikan partai dengan berbagai alasan diantaranya; karena partai-partai besar atau tradisional yang ada telah mengalami kegagalan dalam membangun kesejahteraan terutama merubah social-ekonomi masyarakat, adapula yang ingin memperjuangkan ideologi tertentu, ada sebagian membentuk partai karena barisan sakit hati, adapula yang lebih ekstrim lagi yakni mencari keuntungan dan peluang kerja baru dikarenakan anggota legislative mendapatkan gaji dan sejumlah tunjangan tertentu.

Menjelang Pilkada di Provinsi NTT hadir fenomena dan polemik yang berkepanjangan dalam penentuan kandidat cagub-cawagub dalam pilkada NTT turut diwarnai oleh partai-partai politik yang mengikuti pemilu pada tahun 2004 ada yang langsung mencalonkan kandidatnya seperti PDIP dan Golkar akan tetapi ada yang harus melakukan koalisi yakni partai-partai politik yang memiliki minoritas kursi di legislative.

Penulis menyebut partai minoritas ini dengan sebutan Partai Kecil karena otomatis mereka tidak dapat mencalonkan kandidatnya secara langsung dan jalan satu-satunya hanyalah berkoalisi.
Inilah yang dilakukan sejumlah Partai Kecil di NTT yang berkoalisi menyambut Pilkada 2008 namun menimbulkan pertanyaan apa yang menyebabkan sehingga penentuan kandidat yang akan diusung sangat sulit untuk ditentukan apakah karena konsolidasi antar partai yang mengalami kemandekan karena berbeda ideologi atau karena belum tergenapinya transaksi nilai yang diharapkan? Dengan demikian memberikan preseden buruk bagi partai-partai kecil,

GADIS-GADIS YANG BODOH

Perumpamaan tentang gadis-gadis yang bodoh dalam Injil Matius dapat menggambarkan bagaimana peran Partai Kecil dalam menghadapi pilkada Prov. NTT sebagai sebuah pesta. Seharusnya partai-partai ini melakukan mempersiapkan diri jauh-jauh hari dengan melakukan survei atau dengar pendapat dari rakyat NTT sebagai basis pemilihnya sehingga ada kader atau figure yang layak dan dikenal oleh rakyat.

Realitas yang terjadi adalah pribadi atau figure yang memiliki keuangan yang kuat dapat mencetak poster atau kelender sebagai daya tarik atau mengiklankan diri terlebih dahulu, yang disebarkan ke pelosok-pelosok, di pajang dirumah-rumah rakyat kemudian lembaga survei melakukan penelitian dan menentukan bahwa figure inilah yang dikehendaki oleh rakyat indikatornya hanyalah sebuah kelender tahunan.

Fenomena ini membuktikan bahwa partai-partai kecil yang diharapkan sebagai kekuatan demokrasi atau penyeimbang bagi partai-partai besar atau traditional hanya sekedar pajangan. Partai-partai kecil ini telah mengalami kegagalan karena tidak mampu mempersiapkan figure yang berpotensi dari kelas masyarakat bawah. Seharusnya partai-partai kecil memiliki militansi dan nilai jual (posisi tawar) dimata rakyat sebagai pemberi perubahan (agen of change), contoh kasus dalam Pilkada Sumatera Utara dan Jawa Barat PKS-PAN mencalonkan kadernya sendiri bahkan mereka berdomisili di luar Jawa Barat mampu mengalahkan incumbent dari partai-partai besar.dengan demikian Partai-Partai kecil diharapkan aktif menyelesaikan masalah, bukan menjelang hari pelaksanaan Pilkada barulah beramai-ramai mencari siapa yang mau dicalonkan.

CITRA PARTAI BERWAJAH DUA

Partai politik haruslah memiliki program kerja yang jelas yang dapat di lakukan di tengah-tengah masyarakat sebagai bukti keberpihakan terhadap rakyat, karena komitment awal partai di bentuk dengan harapan ingin memperbaiki sistem di Negara ini yang tidak baik menjadi lebih baik.

Kenyataannya proses pengkaderan dan pembinaan kader hanya dalam bentuk seremonial belaka yakni adanya Rapimda dan Musda di tingkat daerah, atau apapun namanya untuk pergantian atau memperpanjang kepengurusan guna lolos dalam verifikasi partai guna turut dalam pemilu.

Akan tetapi mengkhianati fungsi partai sebenarnya dengan melibatkan semua golongan untuk berpartisipasi guna menjamin kontinuitas dan kelestarian partai sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin.

Para stakeholder Partai-Partai kecil tidak mempersiapkan kader, sebab bagi mereka dengan membina hubungan emosional dengan keluarga dan kerabat saja dalam pemilu nanti, targetnya dapat memperoleh 1 atau 2 kursi di legislative sudah menjadi keuntungan bagi partainya karena figure yang berkeinginan untuk menjadi kandidat akan mendekatinya dan membangun koalisi dengan partai lain yang memiliki pola yang sama sehingga terjadilah transaksi nilai.

Momentum Pilkada seharusnya di jadikan sebagai turbelensi politik dimana partai-partai kecil memanfaatkanya secara optimal menaikan citra partai untuk menarik simpati rakyat yang otomatis berpengaruh besar dalam Pemilu 2009. Namun Pilkada di coreng sebagai ajang “penjarahan” dan “pemerasan” dari pada aktor-aktor, akhirnya partai politik mengalami pergeseran makna tidak berjuang untuk memakmurkan rakyat namun sebaliknya berisi para penjarah dan pemeras dengan demikian Negara pun bersifat penjarah (predatory state) tidak salah apabila salah seorang kandidat dari partai tertentu mengatakan “maling jangan teriak maling”.

Penulis: Yoyarib Mau
Anggota GMKI Cabang Jakarta
Kannutuan@yahoo.com - (tulisan ini sudah di publikasikan di Media Lokal Timor Express)

"KPUD MEMBERIKAN KICK OFF BAGI KANDIDAT PARTAI KECIL"

KPUD MEMBERIKAN KICK OFF BAGI KANDIDAT PARTAI KECIL
Oleh : Yoyarib Mau

Keputusan KPUD sebagai wasit yang memimpin pertandingan Pilkada akhirnya hanya memutuskan 3 (tiga) kandidat yang lolos untuk mengikuti final pertandingan sedangkan 5 kandidat lainnya di diskualifikasi, karena ada syarat yang tidak dapat dipenuhi, keputusan ini sepertinya pahit namun keputusan ini sepertinya sudah final. Peran wasit seharusnya menengahi pertandingan ini dengan baik dan tidak berpihak kepada kandidat tertentu, sehingga tidak merugikan semua pihak terutama mengorbankan kepentingan rakyat (people interest).
Seyogiannya sekali lagi toleransi perpanjangan waktu bagi partai-partai kecil yang memiliki kursi di DPRD di tambah dengan partai-partai lain yang memilki jumlah suara pada pemilu 2004 yang lalu. Apabila dapat memenuhi persyaratan 15% maka satu kandidat lagi dapat ikut serta dalam Pilkada ini dengan pertimbangan bahwa menghargai Partai-partai kecil yang memiliki kursi di DPRD, yang paling penting adalah memberikan banyak pilihan bagi rakyat untuk memilih calon pemimpin yang tepat guna menjawab kebutuhan rakyat NTT. Jika hal ini tidak dilakukan oleh KPUD maka terkesan otoriter dan tidak akomodatif sehingga memberangus hak rakyat serta mencederai demokrasi atau KPUD lebih berpihak kepada wajah lama, teman lama sehingga ada kedipan mata dalam memberikan hukuman kick off;

Wajah Lama Masih Bercokol:
Kita semua pasti sepakat bahwa kebangkitan dari keterpurukan tidak selamanya bergantung pada siapa pemimpinnya akan tetapi keterpurukan yang tak beranjak senantiasa menempatkan pemimpin sebagai sentral harapan. Dalam kondisi ini pemimpin tak bisa menghindar dari posisinya sebagai penentu kebijakan sehingga peran pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin yang kuat, tegas, visioner, dan transformative bagi kemajuan rakyat.
Kandidat-kandidat yang lolos saat ini adalah mereka yang telah lama bergelut di birokrasi pemerintahan daerah NTT, pertanyaan yang timbul dalam benak penulis terhadap keputusan KPUD terhadap para kandidat ini adalah apakah jabatan pemimpin hanyalah penghargaan kepada mereka yang telah lama mengabdikan diri di Prov. NTT ? Atau sekedar menghibur mereka di masa tuanya. Hal ini perlu dilihat kembali bahwa ini tanggung jawab dan komitment terhadap nasib rakyat NTT 5 (lima) tahun kedepan, untuk itu sebaiknya banyak pilihan harus di tawarkan guna rakyat menakar dan kemudian menentukan pilihannya.
Kandidat lainya yang mungkin terkesan wajah baru di NTT di ibaratkan “pelanduk yang mati di antara gajah” karena tidak ada kedekatan emosional dengan para wasit atau tidak dapat membangun pertemanan dengan baik sehingga kecenderungan keputusan kick off ini diberikan.

Menelanjangi Gengsi antara Partai Kecil dan Kandidat

Harapan akan toleransi terakhir yang akan diberikan KPUD sangat di nantikan oleh Partai Kecil maupun oleh para kandidat yang tidak lolos, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana menyamakan persepsi dan kepentingan dari para partai kecil dan para kandidat, guna membentuk koalisi serta menentukan kandidat yang akan di usung.
Jika antara partai dan kandidat menyadari bersama apa yang di perjuangan “power oriented Vs people interest” maka mereka akan merenung bersama dan dari hati yang jujur dan murni guna menentukan pilihan demi kebangkitan menuju perubahan di NTT maka mereka akan berbesar hati dan mengurungg niat pribadinya.
Partai-partai kecil besepakat bersama siapa yang layak dan berkompeten dari para kandidat yang belum lolos yang akan di usung bersama. Hal ini merupakan ide politik yang sering di sebut dengan negosiasi untuk memecahkan kebuntuan (Peter Scroder - 2005), sehingga menghadirkan satu kandidat lagi agar banyak pilihan bagi rakyat untuk memilih, apabila kondisi ini di sepakati maka dapat memberikan preseden yang baik bagi Negara bahwa Prov. NTT dapat menjalankan demokrasi dengan baik. Permasalahannya apakah para kandidat mampu menanggalkan ego pribadi dan mengedepankan kebutuhan rakyat NTT ke depan.
Memang jujur gengsi ataupun ego tidak dapat dipungkiri, menguasai dan ada dalam diri para kandidat seperti “setali tiga uang” sehingga dibutuhkan pahlawan rakyat yang dinantikan hadir menjembatani 3 (tiga) kepentingan ini yakni; KPUD, Partai-partai Kecil dan Para kandidat yang belum di tetapkan sebagai peserta Pilkada. Peran Pahlawan rakyat yang dapat bertindak sebagai kelompok penekan (presure group) yang independent ke KPUD guna memberikan toleransi bagi kesepakatan partai-partai kecil yang kandidatnya gagal untuk mengajukan satu lagi kandidat yang akan di usung.
Pahlawan yang diharapkan dapat bertindak sebagai moderator atau fasilitator (political broker) dengan moral dan integritas yang baik dan teruji guna menyatukan kepentigan- kepentingan yang ada, guna memberikan solusi dan peran aktif masyarakat dalam memajukan demokrasi di NTT, namun pahlawan rakyat ini pun bukan memiliki perilaku “aji mumpung atau memancing di air keruh” untuk repenting pribadinya tetapi demi rakyat banyak.

Penulis : Yoyarib Mau
TTL : Kupang 03 Desember 1978
Alumni : Institut Filsafat Theologia dan Kepemimpinan Jaffray Jakarta
Organisasi: Anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Jakarta
Alamat : Jl. Salemba Tengah Gg. Jubleg No. 15 A Jakarta Pusat
Kannutuan@yahoo.com (tulisan ini sudah dipublikasikan di media Lokal “Timor Exprees”

"JANJI YANG MANIS TAK AKAN DI LUPAKAN"

JANJI YANG MANIS TAK AKAN DI LUPAKAN
*Yoyari Mau

“kau yang mulai kau yang mengakhiri, kau yang berjanji kau yang mengingkari” ini adalah sepenggal syair dari lagu hits Rhoma Irama si Raja Dangdut, tepat jika syair lagu ini dihubungkan dengan janji-janji manis yang di lontarkan oleh para kandidat calon gubernur dan calon wakil gubernur NTT.
Para Kandidat mulai menjual kecap manis ada yang menjual kecapnya dengan merek fren, merek gaul dan merek tulus. Mereka mencoba merayu rakyat dengan visi, misi yang intinya, mau mengentaskan kemiskinan dan memberantas korupsi. Namun bagi rakyat cukup sudah kegagalan ini dan jangan terulang lagi, rakyat tak mau di madu lagi. Sebab tatkala madu rakyat dihisap dan diperas kemudian rakyat ditinggalkan tetap menderita. Yang ada hanyalah kalimat penghiburan yang terucap ya nasib….. Ya nasib……
Masa kampannye bagi para kandidat telah dimulai, ada pasangan yang mencoba menarik simpati masyarakat dengan memposisikan diri sebagai orang yang di “zalimi” atau difitnah, kandidat ini mencoba mengolah perasan pendukung dan simpatisannya guna menarik empati dan rasa iba terhadap kandidat ini.
Sedangkan kandidat lain mencoba menarik simpati rakyat dengan menampilkan latar belakang asal usulnya sebagai anak petani desa yang miskin dan primitif, sehingga kondisi ini yang mendorongnya sebagai orang kecil untuk memberikan perubahan. Eksperesi diri ini sebagai anti terhadap kemapanan, ungkapan ini pun untuk menarik rasa iba rakyat.
Sedangkan ada pasangan kandidat tertentu lebih menekankan pendekatan kultur, bahwa ia dari turunan bangsawan tetapi tidak membuat jarak dengan rakyat karena sering “turba” (turun ke bawah) bersama-sama dengan rakyat seperti makan sirih pinang bersama. Namun menjadi pertanyaannya adalah perilaku ini telah dilakoni selama ini atau hanya menjelang proses pencalonan diri.

NABI YANG DINANTIKAN

Dalam artikel ini dapat di pahami Nabi sebagai pemimpin, yang mengarahkan dan memberikan pelepasan dari penderitaan dan penindasan yang di alami guna membawa ke arah yang benar (menyelamatkan). Dengan kondisi saat ini di NTT wajarlah jika dalam proses pemilihan langsung ini para kandidat hadir ditengah masyarakat dengan meneriakan perubahan melalui gagasan dan program-program.
Para kandidat ini bukan sekedar bertaruh tetapi mereka berusaha menjadi seorang Nabi untuk menuntaskan masalah-masalah yang dihadapi rakyat NTT dengan sebaik-baiknya sehingga rakyat NTT menjadi rakyat yang beradab.
Konteks ini berbeda dengan nabi dalam Kitab Suci dimana di tentukan dengan sistem teokrasi ditentukan oleh Penguasa Ilahi, sepeti Petikan Suma Theologica Saint Thomas Aquinas bahwa “ dunia diatur melalui ketetapan Ilahi (Josep Losco - 2005).
Sedangkan Nabi yang diharapkan dalam Pilkada NTT di tentukan melalui sistem demokrasi dimana rakyat yang menentukan (vox populi vox dei) bahwa suara rakyat pun merepsesentasikan suara ilahi. Rakyat menentukan pilihan bukan berdasarkan apa yang dimiliki atau gunakan bahkan dibicarakan oleh kandidat, tetapi tindakan politik apa yang telah dilakukan oleh para kandidat yang sesuai dengan hati nurani rakyat.
Rakyat perlu mencermati praktik-praktik, perilaku-perilaku yang direkomendasikan atau diisaratkan oleh kelompok-kelompok independent (penegak moral), yang masih memiliki hati nurani yang murni sebagai salah satu sumber kebenaran dapat dijadikan sebagai indikator, rakyat menentukan Nabi (baca: pemimpin) NTT kedepan.

KONTRAK POLITIK

Janji yang manis tak akan terlupakan selalu terngiang di telinga, karena di sana ada harapan di sana ada kepastian namun, tak selamanya “mendung itu hujan” tak selamanya janji itu ditepati. Dengan demikian rakyat perlu memiliki ketegasan sebelum menentukan pilihannya dimana dilakukan dan diformulasikan dalam kesepakatan secara tertulis bersama antara rakyat dan kandidat yang akan diusung.
Kesepakatan ini lebih dikenal dengan istilah kontrak politik atau kontrak social dimana pola ini untuk menjamin bahwa janji - janji manis ini bukan pepesan kosong. Kesepakatan ini untuk mengikat para kandidat apabila terpilih nanti, kesepakatan ini akan dijadikan sebagai alat atau instrumen jaminan untuk mengontrol, apabila kandidat atau pemipin terpilih tidak merealisasikan apa yang di tawarkan dalam janji kampanyenya. Dengan demikian rakyat memiliki bukti untuk menggugat di kemudian hari jika pemimpinnya tidak menunaikan janji-janjinya.
Perlu diketahui iklan kecab bermerek, selalu di kelabui dengan tampilan desain grafis dan ligting, tipuan kamera yang semuanya begitu menawan hati. Perlu di cermati bahwa kadang produk itu telah kadarluasa, mengandung zat pengawet tertentu yang membahayakan kesehatan rakyat. Bahkan mematikan atau juga bisa saja produk gagal yang di selundupkan dan dipasarkan secara illegal. Oleh sebab itu rakyat perlu mendapatkan informasi yang jelas mengenai janji-janji manis itu sehingga tidak terkecoh saat menentukan pilihan hati ….

Penulis : Anggota GMKI - Jakarta
kannutuan@yahoo.com

"AMBIGUITAS PELAKSANAAN DEMOKRASI DISAAT PILKADA"

AMBIGUITAS PELAKSANAAN DEMOKRASI DISAAT PILKADA
*Yoyarib Mau

Aksi demontrasi 19 Mei 2008 untuk memprotes keputusan KPUD NTT tentang penetapan tiga paket Cagub-Cawagub diwarnai dengan kekerasan, peristiwa ini mencoreng demokrasi yang sejatinya sebagai sebuah tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pada diri demokrasi tidak ada kesalahan tetapi proses pelaksanaannya selalu mengalami distorsi yang menyebabkan kekaburan, ketidakjelasan, bahkan bermakna ganda. Kesalahan dapat saja dilakukan oleh para demonstran yang melakukan aksinya sebagai alat control terhadap para pengambil kebijakan (KPUD) atau juga oleh aparat kepolisian sebagai penegak ketertiban dan keamanan.
Demokrasi hadir untuk meniadakan kekerasan yang selama ini dipraktekan oleh Negara-Negara yang menerapkan sistim monarki, aristokrasi dan lainnya yang terkesan repressive terhadap hak asasi manusia dimana ketidakbenaran, kecurangan, penipuan harus di tentang.
Dengan melihat kondisi yang terjadi dalam aksi yang diduga dari kelompok pendukung salah satu Bakal Calon Gubenur tertentu, hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan demokrasi baru melalui masa transisi sehingga pemahaman dari kelompok pendemo dan pihak polisi masih sangat terbatas sehingga perlu memperdalam pemahaman tentang demokrasi sehingga tidak menimbulkan kekerasan.

MANAJEMEN AKSI

Team sukses yang dibentuk oleh Bakal Calon atau Calon Gubernur yang bertarung dalam pilkada tidak hanya mampu memobilisasi massa tetapi harus mampu menata masa yang dihimpun namun proses penataan ini membutuhkan strategi yang tepat untuk mencapai kekuasaan sehingga ada profesional yang dapat mengarahkan pelaksanaan aksi, biasanya di sebut “teknokrat” juga dapat disebut ideologiwan yang memikirkan prnsip-prinsip, perencanaan aksi yang efisien dan productive sehingga aksi ini dapat diarahkan dengan baik dan tidak anarkis.
Seorang teknokrat mampu menyiapkan perangkat aksi dan membagi peran ada yang menyusun isu, meredam massa, bertugas sebagai intel untuk mengawasi para provokator atau penyusup yang memperkeruh suasana, instrumen-instrumen inilah yang sangat diperlukan dalam sebuah aksi sebagai fungsi control.
Proses Pilkada adalah sebuah ajang pembelajaran bagi rakyat mengenai riak-riak demokrasi, karena hampir seluruh rakyat berperan dan memberikan dukungannya. Demontrasi dalam era demokrasi ini perlu dilakkukan dengan baik dan benar sehingga memberikan dampak yang baik bagi kemajuan demokrasi saat ini, apabila tidak ditata dengan baik maka akin menjadi momok dan masyarakat menjadi kecewa dan mendambakan romantisme masa lalu.
Tidak hanya para demonstran yang perlu memperhatikan hal ini tetapi pihak-pihak lain yang turut memberikan pengawasan dalam aksi ini yakni aparat kepolisian. Karena mereka pun harus memberikan jaminan bagi kebebasan rakyat menyampaikan pendapatnya, padahal militer memiliki pancamarga dan sumpah prajurit yang mengakui dan menghormati HAM (Hak Azazi Manusia) dan hukum humaniter secara universal.

Jika dipelajari dan menjadi karakter diri aparat maka tidak memperlakukan para demonstran dengan kekerasan. Tetapi melakukan dengan penuh persuasive dan sensual sebagai pengayom dan pelindung masyarakat dan mitra tetapi bukan menganggap para pendemo ini sebagai musuh yang harus di benci.

POLITIK ETIS
Ketika para demonstran yang mengalami penganiayaan saat berjuang untuk kandidat tertentu, dan sudah sepantasnya memberikan perhatiannya sebagai tangggung jawab morilnya dengan mendatangi para pendukungnya yang di tahan oleh aparat. Perilaku ini yang disebut sebagai “politik etis” atau “politik balas budi” bukan habis manis sepah dibuang.
Gaya politik ini harus di tiru oleh semua kandidat, bukan hanya memberikan biaya personal untuk melakukan aksi mendukung setelah itu menganggap telah selesai tanggung jawabnya tetapi sebaiknya memberikan perhatian penuh. Namun politik balas budi pun tidak harus membuat seseorang buta dan overlap, bahkan melakukan tindak kekerasan yang tidak semestinya dilakukan. Apabila ini terjadi maka akan menyebabkan kontra productive bahkan citra buruk bagi kandidat tersebut.
Politik balas budi sebaiknya di barengi dengan perilaku yang santun. Hal ini akan terkesan premature dan kelihatan belum siap untuk bertarung, kembali lagi ke alinea di atas bahwa team sukses juga harus mempunyai team yang khusus mendampingi kandidat dari hal psikologis sehingga tatkala emosi yang meledak dapat di redam oleh team psikologis dan mengarahkan kepada team hukum untuk melakukan tuntutan secara hukum guna menunjukan bahwa hukum di jungjung tinggi.
Mungkin kita harus berkaca pada pertarungan pemilihan calon president di internal Partai Demokrat di Amerika Serikat. Dimana demokrasi cukup mengalami kemajuan yang pesat, di saat Barack Obama di serang dan diledek oleh Hilary Clinton ia tidak memperdulikan ocehan tersebut tetapi Obama mengalihkan isu kampanye tentang kekerasan yang di timbulkan oleh perang. Demokrasi bukan hanya dapat di wujudkan oleh figure tetapi bagaimana team yang bekerja sesuai dengan potensi diri dan dari berbagai aspek perlu di sertakan sehingga tidak membuat demokrasi menjadi kabur.......
*Penulis : Anggota GMKI Cabang Jakarta
kannutuan@yahoo.com

"Eklusifisme (kita orang - kamu orang) jelang Pilkada"

EKLUSIFISME (KITA ORANG - KAMU ORANG) JELANG PILKADA
*Yoyarib Mau
Politik memperlihatkan wajahnyanya yang ambigu; wajah arif bijaksana-sekaligus licik, wajah luhur-busuk, jujur-penuh tipu daya, wajah humanis-juga antihumanis, wajah moralis-juga amoralis. Ironi memang tetapi inilah realitas yang terjadi namun diharapkan rakyat mampu menciptakan era baru dimana dapat dihasilkan pencerahan politik.
Dinamika dan tensitas politik pilkada Prov. NTT dalam kehidupan masyarakat semakin meningkat, paska penetapan kandidat yang lolos sebagai kandidat yang turut dalam pemilihan kepala daerah di Prov. NTT. Hal ini membentuk kehidupan masyarakat menjadi terkotak-kotak karena dukungan politik berdasarkan ikatan emotional dengan para kandidat. Sehingga wilayah, kabupaten, suku, agama telah disegel, diklaim, dikapling bahkan lebih ekstrim di police line oleh para kandidat bahwa wilayah ini dibawah kekuasannya. Pola ini di jadikan isu politik oleh masing-masing kandidat untuk politik jangka pendek. Pemilihan pasangan untuk berpasangan menjadi paket dalam Pilkada NTT telah menciptakan masyarakat hidup dalam eklusifisme kelompok tertentu menguatnya kesukuan dan sentimen keagamaan.
Masyarakat terjebak dalam pemikiran kita orang (kitorang) dukung Si A sedangkan kamu orang (kamorang) orangnya Si B. Pilihan ini tak dapat dipungkiri dan dihindari dalam kehidupan politik di negara-negara berkembang termasuk Indonesia bahkan semangat kebersamaan yang ada dalam masyarakat yang tertuang dalam syair lagu flobamora yang menggambarkan kehidupan masyrakat NTT dengan filosofi “flobamora’ sebagai sebuah tanah air bersama, masih dapat dipertahankan atau semakin luntur dan melemah hanya karena hadirnya Pilkada langsung?
Pada massa penjajahan membangun semangat kebersamaan untuk mengusir penjajah terkesan lebih muda dari pada membangun semangat flobamora guna mengusir kemiskinan dan keterbelakangan. Kepentingan politik menghasilkan masyarakat hidup dalam dikotomi persaingan antara “kita-mereka (lu-beta) kitong-bosong dan sebagainya“, bahkan hidup bertetanggapun tanpa bersinggungan dan bersapa hanya karena berbeda pilihan dengan melihat kondisi ini, mungkinkah demokrasi dapat di bangun dengan baik guna menuju masyarakat yang adil dan sejahtera?

BUDAYA POLITIK CAMPURAN
Tak dapat dipungkiri bahwa agama dan entitas dari setiap kandidat ini dibentuk dalam agama dan adat, sehingga membudaya dalam diri mereka dan tak bisa dihilangkan. Saat ini para kandidat mencapai orientasi politik mereka, hal ini akan dipengaruhi oleh perilaku bahkan simbol-simbol yang telah membentuknya. Orientasi politik masyarakat pun dalam menentukan pilihan atau afiliasi politiknya berdasarkan sikap, keyakinan, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Almond and Powell).
Budaya politik dalam Pilkada Prov. NTT dikategorikan sebagai budaya politik campuran, karena kondisi masyarakat di NTT secara “cognitive” mengalami kematangan dan kedewasaan yang tak di ragukan lagi hal ini dibuktikan dengan tokoh-tokoh politik yang berkiprah dalam sejarah bangsa Indonesia dan tingkat pendidikan yang menghasilkan ahli (Prof. W.Z. Yohanes - ahli Medis). Namun tak dapat dihindari dengan mengentalnya aspek “affective” yakni perasaan dan ikatan emotional dalam masyarakat yang menghasilkan perasaan sesuku, seagama, sekampung dan sebagainya.
Tiga budaya yang penulis paparkan dalam tulisan ini sesuai dengan kondisi masyarakat kita, yakni ada kelompok masyarakat tertentu menganut:
(a). budaya politik kaula Masyarakat sadar dan mengetahui terhadap sistem politik adannya Pilkada tetapi tidak berpartisipasi mungkin karena kekecewaan terhadap kondisi ekonomi yang menghimpit, kenaikan BBM, kemiskinan yang tak beranjak, atau perilaku pejabat yang koruptor, atau masyarakat melihat para kandidat dengan sebutan 4L (lu lagi, lu lagi), sehingga mereka memilih untuk tidak berpartisipasi. Kelompok ini kebanyakan pendatang ataupun mereka yang dari daerah lain.
(b). budaya politik parochial Frekuensi budaya ini yang kelihatan menguat dalam kehidupan masyarakat NTT jelang Pilkada nanti, karena eklusive masyarakat atau otoritas feodal atau masyarakat. Pilihan masyarakat akan memberikan pilihannya kepada kandidat yang memiliki hubungan emotional dengannya atau sealiran, apa kata kepala suku atau tua adat. Pengetahuan kelompok ini akan kandidat sangat rendah, pilihan didorong oleh emosi yang mengalahkan perimbangan akal, namun karena sentimen kedaerahan (kesukuan) sehingga termobilisasi untuk memberikan dukungan.
(c). budaya politik partisipan Masyarakat yang menganut budaya ini dapat dikategorikan sebagai pemilih yang ideal dan pro perubahan, karena memiliki minat dan harapan yang tinggi. Kelompok ini aktif berpartisipasi penuh menggalang kekuatan untuk mengkritisi dan memprotes kepijakan atau visi dan misi para kandidat yang tidak berpihak kepada masyarakat. Kelompok didominasi oleh para Intelektual, Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai penegak moral (moral force).

Kelompok-kelmpok penganut budaya ini akan berbenturan dan saling mengais jelang proses kampanye, hari pencoblosan, bahkan pasca pilkada karena jargon yang dijagokan menang atau kalah. Kondisi budaya yang ada ini dapat memicu terjadinya konflik vertikal antar masyarakat karena di satu sisi hadirnya pilkada sebagai salah satu model demokrasi tetapi sisi lain dorongan primordial dan semangat otoritarian suku juga menderu guna menunjukan bahwa dialah yang layak.

RUANG PUBLIK
Politik adalah bagaimana memperebutkan ruang (kapling, kursi dan wilayah) sehingga semua isu dikerahkan untuk menggapainya (Machiavellian) namun politik pun harus mempertimbangkan sisi kemanusiaan, pilkada di beberapa daerah diwarnai dengan kekerasan yang menyebabkan banyak korban jiwa.
Menurut Michael Foucault “ganguan pada pikiran (mind) pada diri sebagai manusia adalah akibat dari penyerahan buta kita hasrat-hasrat (desire) kita sendiri, tanpa ketidakmampuan mengontrol atau menjinakan hawa nafsu (passion) kita” model politik seperti ini tidak dilandasi dengaan sila Perikemanusiaan dalam Pancasila.
Untuk menghindari konflik kekerasan di tengah masyarakat, pemerintah (birokrasi) seperti stadion, pasar. Lembaga/institusi keagamaan sebagai alat hegemoni (Gereja, Katedral, Masjid, Pura, Wihara) dan lembaga/intitusi adat, publik figure yang mampu membentuk opini sebagai repsentasi publik. Seyogianya tidak terkooptasi tetapi menciptakan ruang-ruang publik yang mampu menjembatani masyarakat yang berbeda dukungan kandidat dan partai politik pengusung.
Ruang tersebut sebagai ajang rakyat dapat berkumpul, berinteraksi, bersosialisasi dari berbagai kelompok masyarakat yang berbeda pilihan dan dukungan politik, dapat berkumpul dan membangun semangat kebersamaan dan pemaknaan sebagai makhluk social. Ruang ini dapat diakes oleh siapa saja karena sebagai oikos, untuk bercanda tawa dan saling menghargai (homoioi) dan bukan untuk saling memangsa satu dengan yang lain, dengan demikian dapat meminimalisir konflik dalam Pilkada dan mengkristalkan nilai-nilai kemanusiaan.

Penulis : Anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Cabang Jakarta, email : kannutuan@yahoo.com

"Menakar Cagub dan Cawagub dalam Pilkada NTT"

MENAKAR CAGUB DAN CAWAGUB
DALAM PILKADA NTT*
Hajatan dan pesta demokrasi besar bagi provinsi NTT yakni dalam Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Gubernur secara langsung, ini merupakan sejarah baru dan kali pertama rakyat memilih kebebasan yang longgar, terbuka, dan bahkan terkesan liberal dalam babakan baru, hal ini merupakan torehan amat penting bagi perjalanan provinsi NTT untuk keluar dari penyebab kemelut keterbelakangan (ekonomi) yang berkepanjangan. Kita semua harus jujur dan mengakui bahwa keterbelakangan ini terjadi dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama karena merosotnya political trust di kalangan elite dan hancurnya social trust di tingkat masyarakat.
Pesta ini dapat pula menggiring masyarakat untuk bereuforia yang berlebihan karena rakyat akan terlibat untuk memberikan dukungan bagi para calon dengan imbalan uang transport atau uang operasional yang dibagikan saat hadir dalam kampanye, namun yang menakutkan apabila sebagian rakyat yang antipati terhadap proses pilkada ini karena trauma dan mengganggab bahwa pemimpin boleh berganti tetapi keadaan tidak pernah beranjak ditambah dengan kekecewaan rakyat akan kader partai di legislatif yang korup bahkan para eksekutif yang hanya memperkaya diri dan keluargannya. Momentum ini membutuhkan komitment rakyat untuk berpartisipasi bersama untuk menakar dan meneropong Cagub dan Cawagub yang tepat guna membawa perubahan bagi masa depan provinsi NTT;
Dikotomi Orang Daerah dan Orang Pusat
Kebanyakan para kandidat menata karier politik dari birokrat (PNS) dan mencapai jenjang karier sebagai Bupati atau posisi strategis lainnya di Pemda, namun ada kandidat yang berasal dari pekerja sosial dan kemudian memilih untuk mengaktualisasikan diri lewat partai politik, ada yang berasal dari militer (Polisi) dan tidak ketinggalan juga para profesional yakni akademisi dan pengacara turut dalam pertarungan ini. Mereka yang menata karier di daerah sebagai birokrat dan kegiatan administratif pemerintahan daerah otomatis mereka lebih banyak berada di daerah dan memahami karakteristik budaya dan perilaku (behavioral) masyarakat penulis sebut saja sebagai Orang Daerah, sehingga terkadang mereka merasa bahwa merekalah yang layak untuk memimpin. Akan tetapi mereka yang memang berasal dari daerah tetapi karena pendidikan serta profesi mereka mengabdikan diri di Ibu Kota atau Kota Besar lainya yang kaya akan informasi-teknologi dan syarat dengan pemikiran global, konsep strategis dan sistematis yang matang karena pengamatan akan kemajuan di daerah lain mereka yang menghabiskan banyak waktunnya di kota besar penulis menyebut mereka sebagai Orang Pusat tidak menutup pintu bagi mereka untuk memajukan NTT.
Latar belakang para kandidat ini penulis sebut sebagai dikotomi orang daerah-orang pusat semua kandidat memiliki keunggulan namun secara mendasar dan faktual sudah terbentang kontradiksi diantara para kandidat terjadi faksi yang mendukung kandidat Orang Daerah yang berhak karena mereka yang membangun dan mengawal proses pembangunan di daerah tetapi faksi yang lain sebagai pendukung Orang Pusat merasa bahwa kandidat ini memiliki keterbebanan mereka untuk membangun daerah asalnya dan jaringan yang mereka jalin selama ini menjadi modal dan aset yang berharga untuk memberikan kontribusi berupa pemikiran dan investasi ke daerah asalnya karena NTT tidak hanya bergelut sebagai kota pegawai saja dimana peluang kerja hanya sebagai PNS akan tetapi dengan hadirnya investor ke daerah dapat membuka peluang kerja baru, komitment untuk memajukan dan mensejahterahkan masyarakat NTT merupakan kebaikan bersama (bonnum comune) dari semua pihak.

Polarisasi Etnik – Agama
Para kandidat terpolarisasi dengan memilih paketnya yang strategis untuk mencapai kemenangan dalam Pilkada ini, terlihat dari paket-paket yang ada yakni pola etnis (geografis) dan agama; pola etnis (geografis) maka akan terbentuk pola Flores-Timor (timor,rote,sabu) atau sebaliknya Timor (timor,rote,sabu)-Flores, Flores-Sumba dan bentuk lainya, jika pola agama maka akan terbentuk pola Katolik-Protestan atau Protestan-Katolik, penulis melihat pola ini terbentuk atas pertimbangan basis atau jumlah suara pemilih terbanyak. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada etnis lain atau agama lain di NTT yang memiliki figur atau kandidiat yang layak akan tetapi kecenderungan di NTT adalah pola-pola paket di atas hal ini berdasarkan pengamatan penulis pada Pilkada Walikota Kupang yang telah berlalu, pola ini yang dapat di eksploitasi dan dipolitisasi oleh Partai Politik untuk mencapai kekuasaan (moving) dengan demikian terciptalah fanatisme etnis dan agama peran partai politik hanyalah batu loncatan atau kendaraan politik yang dapat di sewa dengan sejumlah uang, para kandidat hanya menggunakan partai politik sebagai sarana dan bukan penentu sebab bagi mereka perimbangan geografis, etnis, dan agama lebih mendominasi dan kwalitas bukan sebagai penentu.
Peran tokoh agama dan adat sangat diharapkan untuk memiliki peran yang independent dan netral dengan memberikan pencerahan (insight) pemikiran bagi umat dan masyarakat guna memilih pemimpin yang memiliki kwalitas yang baik berdasarkan pertimbangan moral-etis dalam agama dan adat, mengapa demikian sebab apabila tokoh agama terlibat contohnya struktur hierarki yang dimiliki agama seperti Keuskupan (Katolik) atau Sinode (Protestant) terlibat dan memberikan arahan bagi umatnya maka semua akan mengikuti arahan tersebut. Seyogiannya peran tokoh agama dan tokoh adat membangun kesadaran warga dan umat agar tidak mudah terhasut oleh simbol-simbol agama dan etnis yang melekat pada para kandidat. Visi dan misi setiap kandidat akan dipaparkan sebagai daya tarik bagi rakyat untuk memilih, para kandidat akan berupaya untuk membahasakan visi dan misinya sebagai sebuah komitment apabila terpilih maka dirinya akan mengelola pemerintahan daerah ini dengan baik dan salah satu program dalam pemerintahannya adalah pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) karena tema ini mungkin sebagai obat penawar bagi sinisme masyarakat akan para figure, namun kita tentu paham bahwa rakyat dibingungkan oleh visi dan misi tersebut karena janji pribadi kandidat terhadap para team sukses apabila dirinya terpilih posisi atau jabatan strategis akan di emban oleh mereka yang telah berperan mensukseskan dirinya. Dengan demikian bahasa hanya dipakai hanya untuk membangkitkan emosi manusia sehingga manusia terdorong melakukan tindakan tertentu, Seorang Filsuf Yunani Socrates mengatakan bahwa “janganlah percaya dan menerima suatu pengertian begitu saja sebelum diuji benar salahnya” pemikiran ini begitu penting karena tidak hanya kata-kata yang menarik yang dapat dijadikan indikator bagi pilihan rakyat tetapi ada hal lain yang tak kalah pentingnya dapat dijadikan bahan pertimbangan adalah rekam jejak (track record) dari para kandidat perlu diketahui atau dipublikasikan secara proporsional sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi rakyat untuk menentukan pilihan, dikala para kandidat ini mendaftarkan diri sebagi calon pejabat publik maka publik berhak untuk mengetahui kehidupan pribadi para kandidat ini untuk menentukan pilihan mereka dengan demikian proses demokrasi yang cukup baik akan tercipta dan bukan memilih karena kedekatan emosional; satu suku, satu agama.
*Yoyarib Mau (Masyarakat NTT bekerja di Jakarta)Alamat: Jl. Salemba Tengah Gg. Jubleg No. 15A Kec. Senen, Jakarta Pusat. Hand phone = 0813-1015-9683, kannutuan@yahoo.com (Tulisan ini sudah di publikasikan di media local : “Timor Exprees”

Minggu, 08 November 2009

"Magic Ala Susno Duadji"

“Magic ala Susno Duadji”
* Yoyarib Mau

Magic di Indonesia main popular tatkala salah satu magician Indonesia Limbad melakukan atraksi-atraksi yang menghebohkan, pada puncak perayaan HUT RCTI beberapa bulan yang telah berlalu, magic yang di tampilkan oleh para magician atau pesulap sangat bervariasi ada yang melakukan berdasarkan kecermatan, kelihaiannya mengecoh para penonton, magic atau sulap juga dilakukan dengan kekuatan insting, ada juga yang menggunakan kekuatan gaib dimana kekuatan itu melebihi kekuatan asali yang dimiliki sang magician. Deretan nama para magician Indonesia antara lain Dedy Corbuzer, Romy Rafael, Limbad dan kini betambah satu lagi magician kita Susno Duadji.

Susno Duadji di kategorikan masuk sebagai seorang pesulap pendatang baru yang menghebohkan Indonesia dengan statement atau pernyataan-pernyataannya yang mempengaruhi bahkan meracuni pemikiran dan memicu pro dan kontra hampir seluruh rakyat Indonesia di pelosok nusantara. Statement yang menggelinding seperti bola liar namun kemudian berubah menjadi senjata makan tuan yakni kata Buaya Vs Cicak, Buaya diidentikan dengan Institusi Kepolisian (Polri) sedangkan Cicak dilabelkan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pernyataan sang Pesulap yang kedua yang menambah keruh suasana tatkala rapat dengan pendapat atau rapat kerja antara Kepolisian RI dan Komisi III DPR RI pada kamis 05 November 2009 yang di mulai pukul 19:30 WIB hingga Sabtu 06 November 2009 Pukul 03:00 WIB.

Dalam kesempatan rapat kerja tesebut Susno Duadji berkesempatan berbicara dan mengawalinya dengan “bersumpah” atas nama Allah bahwa dia tidak merekayasa terjadinya penahanan terhadap dua pejabat KPK, tetapi berdasarkan pernyataan polisi bahwa; “ada sejumlah bukti terjadi proses penyelagunaan wewenang dalam keluarnya surat cekal untuk Anggoro Widjojo, Direktur PT. Masaro Radiokom dan pencabutan pencekalan Joko Tjandra, Direktur PT Era Giat Prima. Menurut Polisi, keputusan seharusnya diambil oleh semua pemimpin KPK. Bibit dan Chandra menyanggah. Pencekalan atau pencabutan pencekalan, menurut mereka tidak membutuhkan keputusan seluruh pemimpin KPK. Polisi kemudian menuduh Bibit dan Chandra menerima suap dan memeras. Tuduhan ini didasarkan atas pengakuan Ary Muladi, Pengusaha yang diminta Anggogo Widjojo adik Anggoro untuk membereskan urusan sang Kakak yang sedang disidik KPK. Kepada Polisi, Ary Muladi mengaku menyerahkan duit dari Anggoro Rp. 5.1 miliar kepada Bibit dan Chandra. Belakangan Ary Muladi mencabut pengakuannya. Ia mengakui bahwa sebenarnya tidk pernah memberikan uang sepeser pun kepada Bibit dan Chandra. Menurut pengakuan Ary, pengakuan yang dibuatnya semata-mata hasil rekayasa Anggodo” (Majalah Tempo 2- 8 November 2009).

Aksi yang dilakukan Susno Duadji cukup memukau di sela-sela rapat kerja yang berlangsung kurang lebih 7 jam tersebut, di saat rehat Susno Duadji berkesempatan mendekati hampir keseluruhan Komisi III DPR RI dan memberikan salam dan mengajak berdialog, aksi ini sepertinya sebagai jurus pemungkas yang ampuh untuk menghipnotis sejumlah wakil rakyat yang ada di Komisi III. Dalam awal rapat kerja tersebut Polri mendapatkan banyak cercaan dari sejumlah politisi, namun akhir dari rapat tersebut tidak seperti kondisi semula dimana suasana panas malah berubah 180 derajat, Polri mendapatkan hadiah dari Komisi III yang membidangi masalah Hukun dengan pujian dan tepukan tangan atas penjelasan dan sikap Polri terkait dengan kasus Bibit dan Chandra.

Perilaku Susno Duadji merupakan sebuah fenomena baru mungkinkah hukum di Indonesia telah dikendalikan oleh para magician atau para pesulap, Benarkah Nalar Wakil Rakyat yang ada di Komisi III ditundukan oleh aksi Susno Duadji? Pertanyaan tersebut mendasari pembahasan penulisan ini dimana kebenaran yang seyogianya dipahami dengan rasionalitas berpikir yang matang tetapi runtuh oleh aksi panggung seorang pesulap pendatang baru yang berbakat.

Permasalahan yang menyeret berbagai institutusi negara ini merupakan berbagai permasalahan yang mencoreng keabsahan dan berbagai sendi kehidupan bernegara baik itu di bidang politik, hukum, ekonomi bahkan menghadirksn krisis kepercayaan rakyat terhadap negara (alat negara). Benturan antara Buaya Vs Cicak adalah konflik antar alat negara dan lebih pada dimensi politik, “Paul Conn menganggap konflik sebagai esensi politik, dipertegas oleh Harold Laswell yang merumuskan politik sebagai siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana” (Ramlan Surbakti - Memahami Ilmu Politik – Grasindo – 1992).

Konflik ini menyeret berbgai institusi ditambah aksi Susno Duadji menyeret Komisi III DPR RI terlibat dalam konflik ini, Aksi Susno mampu menghidupkan luka lama dimana institusi para wakil rakyat pernah di jebloskan oleh KPK karena kasus korupsi suap dan pemerasan termasuk masih memiliki keterkaitan dengan PT. Masaro Radikom yang menyeret sejumlah nama seperti Al Amin Nasution dari Fraksi PPP.

Luka lama yang belum hilang ingatan bagi Institusi DPR RI, membuat Komisi III berani melawan arus besar kekuatan rakyat, yang di buktikan dengan dukungan kuat masyarakat melalui dukungan akademisi yang dimotori oleh Forum Rektor Indonesia, Komunitas Cicak, Para Facebookers yang tergabung dalam Gerakan 1.000.000 Facebokeers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto, oposisi jalanan yang terbentuk dari para aktivis, mahasiswa dan seniman yang menggelar berbagai aksi di Ibukota Negara dan sejumlah kota di Indonesia menunjukan bahwa rasionalitas berpikir rakyat lebih matang dari pada para politisi kita. Mereka memiliki pemikiran yang sehat dimana memiliki keinginan agar Indonesia sehat dari Korupsi.

Arus dukungan buak KPK sebenarnya menunjukan kedaulatan ada di tangan rakyat kemana rakyat yang cerdas akan berpihak pada kebenaran, berangkat dari pemikiran ”Vox Populi Vox Dei” yang memiliki pengertian suara rakyat adalah suara Tuhan, karena berangkat dari hati nurani yang tulus dalam melihat persoalan tanpa di pengaruhi oleh pemahaman siapa dan mendapat apa? atau keinginan mempertahankan kekuasaan namun hanya dengan satu tujuan demi kebenaran. Wakil rakyat yakni Anggota DPR RI yang mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui pemilu legislatif, idealnya di harapkan untuk mewakili rakyat di parlement dalam melakukan fungsi kontrol dan pengawasan (cheks and balances) terhadap pemerintah ternyata gagal. Kegagalan wakil rakyat ini kemungkinan dipengaruhi oleh kepiawaian seorang Susno Duadji dengan aksi panggungnya yang mampu membutakan wibawa dan nalar berpikir wakil rakyat kita menjadi seperti ”Kerbau yang ditusuk Hidungnya”.

DPR RI dalam hal ini Komisi III sebenarnya memiliki kepekaan sosial serta rasional dalam berpkiri sebagai bahan pertimbangan berdasarkan berbagai fakta keterlibatan kepolisian dalam hal ini Komjen Susno Duadji yang terlibat dalam rekaman dialog yang diperdengarkan di mahkamah konstitusi, tidak hanya itu saja tetapi Susno juga terlibat dalam rekaman pembicaran dengan Budi Sampoerna dalam kasus Bank Century namun senyuman Susno mampu mematahkan rasionalitas atau nalar berpikir para pemikir yang bertugas dalam komisi hukum orang-orang yang sering ngotot di media seperti Ruhut Sitompul sebagai pengacara kondang yang sekarang menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat sehari sebelumnya meminta agar rekaman tersebut segera di buka di komisi III dengan berkata ”jelas-jelas disebutkan dalam rekaman soal Rp. 10 miliar terkait Bank Century. Memangnya siapa Susno itu, dia kebal hukum sekali” (Media Indonesia 05 November 2009).

Realitas politik ini sepertinya memberikan pembenaran bagi jurus sulap yang di diperagakan oleh Susno yang mampu mematahkan rasio berpikir dari para wakil rakyat, Susno seharusnya memberikan penjelasan secara profesional dan berdasarkan kajian ilmiah berdasarkan latar belakang profesi yang di emban namun itu tidak dilakukan olehnya ia lebih memilih memakai konsep magic fundamentalis-agamais yang diyakini sebagai jurus ampuh untuk menggugurkan nalar para wakil rakyat, dengan mengawalinya dengan melakukan sumpah atas nama Allah.... alakadabra............mampu menghipnotis wakil rakyat dengan cenderung memihak ke pihak kepolisisan dari pada memihak kepada KPK yang lebih banyak mendapatkan dukungan rakyat.

Kelihatannya Susno lebih lihai berpolitik dari pada para wakil rakyat yang membidangi hukum, dimana menerapkan kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang diinginkannya. Memakai kata-kata yang agamais untuk membenarkan diri atau mempengaruhi orang lain bukan lah aspek politik tetapi aspek agamais dimana para kiai atau pendeta menggunakan kata-kata tersebut dalam melakukan pembimbingan kepada umat, mempengaruhi umat untuk melaksanakan ajaran agamanya.

Susno telah menghalalkan cara untuk memperdaya hukum bahkan membelokan hukum demi mempertahankan kekuasaan, apa yang telah didapatkan dari proses mafia hukum yang telah dilakukannya dan mengamankan persekongkolan elit yang bersembunyi di balik baju institusi negara, sebagai alat negara seharusnya berperan menegakan dan memberikan kepastian hukum bagi warga negara dan tidak menyalahgunakan kepercayaan yang telah di berikan rakyat, saat menjabat pejabat di sumpah untuk melakukan tugas dengan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai keagamaan dan bukan ketika telah bersalah memakai nilai-nilai keagamaan untuk membenarkan diri.


*Penulis Mahasiswa Ilmu Politik - Kekhususan Politik Indonesia - FISIP - UI