Senin, 24 Mei 2010

"OUTSOURCING MODEL KOLONIALISME BARU"

“OUTSOURCING MODEL KOLONIALISME BARU”
*Yoyarib Mau
Outsourcing merupakan hits perjuangan para buruh yang terus dinyanyikan dalam berbagai kesempatan di negeri ini. Sejak Indonesia menyatakan diri menjadi bagian dari pasar bebas (free market), nyanyian ini menjadi nyanyian paduan suara dari setiap pekerja yang bergabung dalam serikat-serikat pekerja, atau organisasi buruh dari setiap perusahan di Indonesia.

Pada perayaan hari buruh 1 Mey 2010 (May Day) dalam pengamatan dan wawancara yang dilakukan di Bundaran Hotel Indonesia, salah satu tuntutan yang digemakan dalam aksi ini adalah outsourcing. Sejumlah organisasi yang terlibat dalam aksi May Day 2010 antara lain FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia), Serikat Pekerja Carefour, GESBUKI (Gerakan Serikat Buruh Inddonesia), FPBJ (Federasi Perjuangan Buruh Jakarta), KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia) dan sejumlah organisasi mahasiswa, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok lainnya.

Dalam wawancara yang dilakukan dengan buruh dan pekerja lainya, topik yang menjadi tuntutan buruh yakni jaminan kesehatan, outsourcing dan revisi atas UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sony salah satu buruh yang tergabung dalam FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia) sebagai buruh di PT. Alu Mas salah satu pabrik yang beoperasi di Tangerang berpendapat bahwa, “Outsourcing sangat merugikan pekerja pabrik sebab pekerja pabrik adalah pekerja jangka panjang” (Sony - PT. Alu Mas – Tangerang , Bundaran HI - 01 Mey 2010). Sedangkan salah satu pekerja Media yang turut di minta pendapatnya untuk keseimbangan pendapat pada aksi tersebut, mengatakan bahwa outsourcing dibutuhkan pada awal pertama seseorang bekerja tetapi kemudian hari seorang pekerja harus berkembang statusnya menjadi pegawai tetap (Dindi - TV One, Bundaran HI – Jakarta - 01 Mey 2010).

Pemikiran yang sama juga dilontarkan oleh sejumlah pekerja saat kunjungan observasi lapangan di PT. Bir Bintang – Indonesia, perusahaan yang berada di Indonesia sejak tahun 1929 dengan nama NV. Nederlanddashe Estabilished, dan pada tahun 1981 berubah nama menjadi PT.Multi Bintang Indonesia Tbk (go public) sebenarnya para pekerja di pabrik ini mendapatkan fasilitas, jaminan kesehatan yang memadai menurut, Eko yang sudah bekerja selama 10 tahun mengawali karier di perusahaan ini dengan mas kontrak selama 1 tahun kemudian di angkat menjadi pegawai tetap, dirinya menambahkan bahwa yang dikontrak atau para pekerja outsourcing di perusahaannya hanyalah mereka yang bekerja di pengepakan, dan para pengangkut barang (transportasi), (Eko - PT. Multi Bintang Indonesia Tbk, Cengkareng - Tangerang 13 – April – 2010).

Salah satu pekerja di perusahaan Bir tersebut memberikan pendapat yang berbeda pula, lelaki yang bernama Ahmad ini sudah 15 tahun bekerja yang mengawali kariernya dengan sistim kontrak selama 6 bulan dan dua kali berturut-turut di kontrak, kemudian baru diangkat menjadi pekerja tetap. Menurutnya walau dirinya telah menjadi pekerja tetap, namun masih mempedulikan orang lain, Ahmad mengungkapkan, bagaimana dengan teman-temannya yang bekerja sebagai pekerja dengan sistem outsourcing/kontrak ? permasalahan masa depan menjadi taruhannya, jika hanya Rp. 20.000/per hari bagaimana untuk memenuhi kebutuhan hidup? Dan juga jaminan kesehatan serta hari tua atau pensiunannya? (Ahmad – PT. Multi Bintang Tbk, Cengkareng – Tangerang - 13 – April – 2010).

Sekelumit tuntutan dan harapan dari para pekerja namun permasalahan outsourcing yang dipaparkan diatas tidak hanya di alami oleh mereka, tetapi sejumlah pekerja yang mengalami persoalan ini dan mereka yang mengalami persoalan outsourcing adalah mereka yang masuk dalam kelompok pekerja berat seperti; satpam (satuan pengamanan), cleaning service.

Kondisi saat ini tidak terbatas pada pekerja berat tetapi mulai merambah pada pekerja intelektual dimana ada guru kontrak karena menumpuknya tenaga kerja Indonesia dan lapangan kerja yang terbatas. Kondisi ini sepertinya memaksa orang untuk menerima outsourcing, jika dibandingkan dengan negara maju para pengangguran atau mereka yang belum memiliki pekerjaan tetap mendapatkan jaminan sosial dan memiliki tabungan yang cukup hingga mendapatkan pekerjaan yang layak. Sedangkn di Indonesia pekerja tidak bisa tidak untuk bekerja, sebab jika tidak bekerja maka tidak dapat makan. Penolakan terhadap outsourcing menuai pro dan kontra sehingga perlu ada jalan keluar terbaik.

Menjadi persoalan krusial bagi penolakan outsourcing adalah dimasukannya sistem kontrak ini dalam Undang-Undang, sehingga secara hukum pelaksanaan outsorcing menjadi legal penerapannya. Undang-Undang yang mengatur tentang Outsourcing sudah dimulai dalam UU No. 13 Tahun 2001 tentang Tenaga Kerja namun istilah outsourcing tidk dijelaskan secara eksplisit namun istilah yang digunakan adalah “pekerjaan untuk waktu tertentu” sebagaimana dalam pasal 59 dikatakan :

1). Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun.
c. pekerjaan yang bersifat musiman, atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
2). Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
3). Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui
4). Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun (http://korananakindonesia.wordpress.com).

Isi Undang-Undang (UU) diatas ini kemudian di revisi dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya pada pasal 64, secara tersurat memang disebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Pasal inilah yang kemudian secara tersirat ditafsirkan oleh sejumlah pengusaha sebagai lampu hijau untuk menjalankan sistem alih daya atau kontrak kerja secara outsourcing. Padahal dalam pasal 65 ayat 2 (dua) diatur bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan laint itu harus memenuhi syarat-syarat, yakni pekerjaan dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan tidak menghambat proses produksi secara langsung. Pada pasal 66 ayat 1 (satu) juga diatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi (Koran Sinar Harapan, Selasa 02 Februari 2010).

Praktek pelaksanaan outsourcing tetap saja berjalan dengan penafsiran pengusaha dan tidak sesuai dengan harapan para pekerja/ buruh merasa dirugikan dan pengawasan pemerintah terhadap pengamalan UU ini teras rendah sekali. Pekerja hanya karena membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat melakukan protes karena takut di pecat dan kehilangan pekerjaan. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pemerintah masih mempertahankan pasal karet ini sehingga outsourcing masil di laku

Kemanusian yang beradil dan beradab

Masalah perbedaan kepentingan antara pekerja dan buruh sudah terjadi sejak sejak lama sehingga ada pemikiran bahwa pertarungan antar kelas akan terjadi sepanjang masa tak akan usai. Mengenai hak hidup layak dan mendapatkan upah diatur dalam ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) lembaga ini merupakan penjelasan dari UDHR atau DUHAM (Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusi) lembaga ini ada untuk menjelaskan hal-hal yang tidak ada dalam UDHR seperti; hak mendapatkan pekerjaan (pasal 6), hak mendapatkan lingkungan kerja yang nyaman (pasal 7), hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja (pasal 8), hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi (pasal 9), perlindungan atas keluarga, ibu, anak dan orang muda (pasal 10), hak atas standard hidup yang layak (pasal 11) dan hak atas standard kesehatan yang layak (pasal 12), (Andang L. Binawan , Hand Out Untuk Mahasiswa - Ektension Course Filsafat STF Driyakara, 04 Oktober 2004).

Penolakan atas outsourcing merupakan tuntutan atas pengabaian hak-hak yang diatur dalam perjanjian ekonomi yang merupakan hak azasi manusia. Sepertinya negara telah dikuasai oleh kapitalisme yang menurut Thomas Meyer bahwa, untuk mengubah masyarakat kapitalis menjadi sebuah masyarakat baru tahap demi tahap. Negara demokrasi dapat menghapuskan asas-asas kapitalis di tiap-tiap sektor dan menggantikannya dengan kondisi yang sesuai dengan standar sosialis. Unsur transformasi sosialis yang disebut-sebut oleh marxis itu adalah perundang-undangan untuk melindungi kaum buruh. Revolusi di dalam konteks ini berarti pembaharuan radikal masyarakat tetapi berlangsung secara damai diatas landasan demokratis dalam tahapan konstruktif yang dipertimbangkan masak-masak (Thomas Meyer, Sosialisme Demokratis dalam 36 Tesis, Friedrich Ebert Stiftung Jakarta – 1981).

Pergerakan buruh dalam aksi 01 Mey 2010 yang menuntut ditidakannya outsourcing merupakan tuntutan yang wajar karena sesuai dengan haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Kondisi ketidaknyaman dalam bekerja, hak atas jaminan sosial, dan kesehatan dan bahkan standar hidup yang layak jika tidak didapatkan maka hal ini mengusik rasa keadilan.

Rawls berpandangan bahwa hak harus menjadi bagian dari teori keadilan sehingga Rawls merumuskan dua prinsip yakni; Pertama : setiap orang memiliki hak yang sama untuk menikmati seluas-luasnya sistem menyeluruh dari kebebasan dasar yang sama, yang sesuai dengan sistem kebebasan bagi semua. Kedua : Kesenjangan sosial dan ekonomi harus diatur dalam sedemikian rupa sehingga : (a). Menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kelompok termiskin dan (b). Melekat pada jabatan dan posisi pemerintahan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan prinsip kesempatan yang sama dan adil (Ian Shapiro, Evolusi Hak dalam Teori Liberal, Freedom Institute – Yayasan Obor Indonesia).

Ian Saphiro menambahkan bahwa Rawls berpendapat bahwa pasar dikelola oleh negara untuk mencegah kesenjangan yang paling buruk, andaikan hukum dan pemerintah menjaga persaingan di pasar dengan efektif,sumber daya digunakan sebaik-baiknya, hak milik dan kekayaan tersebar luas melalui bentuk-bentuk pajak yang tepat, menyediakan tunjangan sosial minimum yang masuk akal. Andaikan juga ada kesempatan yang sama bagi semua orang untuk untuk mendapatkan berbagai kebebasan juga terjamin (Ian Shapir, Freedom Institute – Yayasan Obor Indonesia).

UUD - 1945

Peran negara di harapkan untuk membangun masyarakat adil sejahtera merupakan semangat dari pembukaan UUD 1945 yang kemudian di rumuskan dalam tujuan pembangunan nasional, kesejahteraan buruh merupakan tanggung jawab negara sehingga adanya istilah ”tripartit” yang melibatkan tiga aktor atau pelaku yakni pemerintah, manajemen dan buruh sebagaimana pemikiran Dunlop bahwa sistem hubungan industrial yang interdependen terdapat tiga pelaku utama, yaituh buruh, para manajer dan organisasi perwakilan mereka, bersama-sama dengan badan pemerintah tertentu, semuannya saling berinteraksi untuk menciptakan jaringan tertentu yang mengatur hubungan mereka di temapt kerja ketentun tersebut merupakan keluaran dari sistem itu sendiri (Cosmas Batubara, Hubungan Industrial, Sekolah Tinggi Manajemen PPM).

Kenyataannya yang terjadi hubungan tripartit ini hanya menguntungkan bagi pihak pemerintah dan pengusaha dan buruh tetap dirugikan hal ini di buktikan dengan adanya UU No. 13 Tahun 2003 Tentang ”Ketenagakerjaan” dimana sejumlah aksi demo dilakukan agar penghapusan sistem outsourcing yang diatur dalam pasal 56 hingga pasal 59 direvisi karena dalam prakteknya pekerjaan yang bersifat tetap bukan musiman atau pekerjaan yang merupakan pekerjaan inti dimasukan ke dalam perjanjian kerja waktu tertentu (oursource).

Pemerintah tidak memiliki sikap tegas dalam UU ini, karena pemerintah lebih memilih untuk memihak kepada kepentingan mempertahankan para investor dalam menanamkan modalnya guna pertumbuhan ekonomi bangsa. sedangkan para pengusah atau perusahaan ingin menekan biaya sekecil mungkin untuk mendapatkan keuntungan sebesarnya atau sebisa mungkin perusahaan memberikan imbalan sekecil-kecilnya untuk menekan biaya produksi, namun yang dirugikan adalah pekerja/buruh. Pertentangan yang akan timbul yakni antara buruh dan pengusaha akibat dari perbedaan kepentingan tersebut mengakibatkan perusahaan kehabisan energi dan biaya untuk menyelesaikan masalah ini sehingga jalan keluarnya adalah dibutuhkan pihak ketiga untuk menyalurkan tenaga kerja. Pihak ketiga sejak awal telah melakukan tanda tangan kontrak dengan pekerja, sehingga ketika pekerja di perusahaan pekerja tidak memiliki raung untuk berdebat. Padahal Thomas Meyer dan Rawls menekankan bagaimana Pemerintah dalam menetapkan UU atau hukum seharusnya melindungi buruh dan juga memberikan rasa keadilan sehingga tidak tercipta kesenjangan.

Proses produk hukum yang dihasilkan oleh para legislatorpun sepertinya terjadi negosiasi antara legislatif dan perusahaan/pengusaha sehingga UU No. 13 Tahun 2003 tersebut terkesan ambigu, memberikan ruang bagi penafsiran yang berbeda. Setiap orang yang bekerja berhak untuk mendapatkan masa depan dari pekerjaan yang dijalaninya tidak didapatkan. Tidak saja itu tetapi setiap pekerja tidak ada pegangan hukum yang kuat untuk bekerja sebab sewaktu-waktu seseorang dapat di berhentikan berdasarkan rasa suka dan tidak suka.

Buruh/pekerja hanyalah komoditas yang dapat di eksploitasi untuk keuntungan sebesarnya hanya karena keterbatasan yang dimiliki buruh yakni takut kehilangan pekerjaan, buruh tidak bekutik hanya menjalaninya. Pemerintah yang diharapkan menciptakan stabilitas untuk menolong para buruh ternyata berkolusi dengan pihak perusahaan.

Penjajahan harus dihapuskan

Kehidupan buruh sepertinya sulit untuk mendapatkan kehidupan yang layak jika pemerintah tidak memiliki niat baik untuk memberikan jaminan keadilan bagi para pekerja/buruh karena status tidak jelas. Jika status pekerjaan tidak jelas bagaimana sesorang hendak mendapatkan jaminan masa depan. Apabila seorang pekerja hendak mengajukan kredit/pinjaman ke bank apa yang dapat di pakai sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman.

Perjuangan untuk mendapatkan hidup yang layak bagaikan perjuangan melawan koloni penjajah yang sedang menindas, ironisnya perjuangan ini bukan melawan musuh tetapi melawan pemerintah sendiri yang seharusnya bertanggung jawab dan memberikan jaminan masa depan bagi rakyatnya

Memanusiakan pekerja Indonesia sesuai dengan nilai-nilai keindonesian sudah seharusnya pemerintah melakukan pembenahan atas UU No. 13 Tahun 2003. jika pemerintah dalam negara sendiri tidak memiliki niat baik guna memperlakukan pekerja/buruh dalam negeri secara manusiawi dengan sejumlah jaminan sosial seperti masa tua, kesehatan, tunjangan hari raya dan lainnya. Jangan salahkan jika di luar negeri TKI/TKW tidah dihargai bahkan diperlakukan tidak manusiawi.

Padahal sebagai negara yang masuk dalam anggota PBB yang menjalankan sistem demokrasi sudah seharusnya menjalankan kovenan internasional yakni ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) seperti; hak mendapatkan pekerjaan, hak mendapatkan lingkungan kerja yang nyaman, hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja, hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi, perlindungan atas keluarga, ibu, anak dan orang muda, hak atas standard hidup yang layak dan hak atas standard kesehatan yang layak.

Walaupun tiap negara memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri dengan bebas mengejar kemajuan ekonomi tetapi tidak dengan menekan hak orang lain untuk mendapatkan keuntungan sebesarnya. dengan demikian maka dengan sendirinya outsourcing harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan apa yang apa dalam pembukaan UUD 1945 bahwa segala bentuk penjajahan diatas bumi harus dihapuskan karena tidak seseuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

Rabu, 19 Mei 2010

STRATEGI PERTUMBUHAN EKONOMI MENYONGSONG ACFTA

“STRATEGI PERTUMBUHAN PEREKONOMIAN MENYONGSONG ACFTA”
*Yoyarib Mau

Pasca krisis ekonomi 1997 perekonomian Indonesia mengalami kemerosotan yang cukup signifikan karena pengaruh ekonomi dunia dimana harga minyak dunia menurun, Indonesia sebagai salah satu negara penghasil minyak turut mengalami dampak ini, kondisi ini diperparah dengan peristiwa Mei 1998, di mana runtuhnya rezim Soeharto dengan terjadinya konflik horizontal dengan menelan korban yang begitu banyak.

Keadaan ini memperparah iklim ekonomi di Indonesia karena konflik yang lebih mengarah ke masalah rasial yakni korbannya adalah warga keturunan dan warga asing. Keadaan ini mengakibatkan para investor enggan melakukan investasi karena tidak adanya jaminan keamanan bagi para investor. Namun seiring dengan perkembangan reformasi dimana penegakan hukum menjadi menjadi prioritas, karena dengan penegakan hukum maka ada kepercayaan bagi para investor, Pasca reformasi kondisi ini memulihkan dan membangkitkan kembali kepercayaan para investor. Faktor politik turut menentukan faktor ekonomi, keadaan Politik di suatu negara tidak stabil seperti adanya konflik dan mental pemerintahannya yang korup dapat menyebabkan mandeknya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari ciri khas ekonomi keluarga sebagaimana yang dituliskan oleh Suryati Rizal dan kawan-kawan bahwa ciri khas ekonomi keluarga di negara-negara maju pada umunya adalah (a). Hidup serba kecukupan, ketersediaan sandang pangan dan pangan berlebihan, (b). Tinggal diperumahan mewah, cukup listrik, dan air minum. (c). kemampuan untuk memperoleh pendidikan keluarga sangat besar bahkan bisa studi negeri, (d). kemampuan perolehan kesehatan yang serba kecukupan dan (e). pendapatan keluarga relative bahkan berlebihan (.Suryati Rizal, Sistim Ekonomi Indonesia, FISIP – UI – 2008)

Kondisi yang di gambarkan diatas merupakan indikator pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, apabila dibandingkan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, masyarakat mengalami kurang gizi dan busung lapar karena krisis pangan yang diakibatkan oleh kemarau yang berkepanjangan, bencana banjir, adanya kartu pelayanan kesehatan GAKIN (Keluarga Miskin) namun pelayanan kesehatan yang tidak berpihak kepada orang miskin yang memiliki kartu Gakin, kwalitas pendidikan yang rendah mengakibatkan banyaknya siswa yang tidak lulus sekola. Kondisi ini menempatkan Indonesia dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada urutan 111 (seratus sebelas) dari berbagai negara di dunia, padahal sudah 65 tahun merdeka saja masih di bawah Palestina yang terus hidup dengan konflik dan ketidakpastian negaranya (Budiman Sudjatmiko, Kompas 10 Mei 2010)

Dengan demikian diharapkan dengan Pertumbuhan Perekonomian Indonesia per - April 2010 berada pada posisi 5,5 % (Kompas 14 April 2010), dan target tahun 2011 pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan anggaran belanja kementerian sebesar Rp. 79,2 triliun itu dimaksudkan untuk menopang keinginan pemerintah guna mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dari 5,5 % pada tahun ini menjadi 6 – 6,3 % pada tahun 2011 (Kompas 22 Maret 2010), dan dalam arahan President dalam rapat kerja di Istana Tampak Siring (19 – 21 April 2010) ada target pencapaian pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan sebelum berakhir masa jabatannya yakni : a),pertumbuhan ekonomi : 7,7 %, b). tingkat pengangguran : 5- 6 %, c). tingkat kemiskinan : 8 – 10 %, d). pendapatan per kapita : 4.500 dollar AS, e). inflasi : 3.5 %, f).rasio Utang terhadap PDB : 24%, g). rasio pajak terhadap PDB : 14,2 %, h). ketahanan pangan dan air, i). ketahanan energy, j). peningkatan daya saing energy, k). penguatan ekonomi ranah lingkungan

Point – point yang dicanangkan President SBY merupakan target pemerintah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dalam negeri sehingga diharapkan dapat meningkatkan indeks pertumbuhan manusia Indonesia dan tidak saja itu tetapi mem ampukan kesiapan rakyat Indonesia menyongsong perdagangan bebas seperti kerjasama ACFTA dan lainnya .

Pertumbuhan ekonomi tidak saja dapat di selesaikan oleh pemerintah dengan meningkatkan APBN (Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara) tetapi perlu melakukan strategi yang jitu yakni merangkul semua pihak untuk turut serta memajukan pertumbuhan ekonomi. Karena APBN sebagian besar di gunakan untuk konsumsi pemerintah untuk operasional kementrian dan sebagainya dan untuk berbagai sector.
Pihak pihak yang diharapkan berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi yakni partisipasi swasta sangat dibutuhkan guna melakukan investasi guna meningkatkan kapasitas produksi. Salah satu sector penentu kemajuan ekonomi adalah sector keuangan (bank dan lembaga keuangan), selain sector lain seperti pertanian,pertambangan/penggalian, industri, bangunan, listrik dan gas, pengangkutan dan komunikasi, perdagangan dan eceran, sewa rumah, pemerintah dan pertahanan, jasa-jasa.

Dari semua sektor yang dipaparkan di atas, sektor yang menentukan adalah sektor keuangan sebagai mesin penggerak bagi sektor-sektor lain, hal ini tidak semata-semata hanya dengan APBN saja tetapi perlu investasi dalam sektor keuangan dari pihak lain, sehingga membuka ruang bagi semua pihak swasta untuk turut berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi.

Permasalahan yang dihadapai rakyat di Indonesia adalah kekurangan modal untuk melakukan peningkatan kualitas penghasilan, sehingga meningkatkan daya beli dan peningkatan konsumsi masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar berada di pedesaan, dimana permasalahan pelik yang dialami adalah keterbatasan modal, keterbatasan modal menjadi salah satu persoalan yang membutuhkan pemecahan masalah, kenyataannya kebijakan pemerintah tidak terbuka seluasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pinjaman modal. Pinjaman dapat dilakukan melalui bank namun persyaratan yang begitu berat sehingga rakyat tidak dapat melakukan pinjaman dan terbatasnya penyediaan alokasi dana yang disediakan perbankan untuk kredit permodalan bagi Usaha Kecil dan Makro. Sehingga perlu lembaga keuangan mikro atau swasta lain yang dapat melakukan pendampingan kerjasama dengan rakyat.

Pertumbuhan ekonomi dapat tercapai jika semua pihak bekerjasama dengan diberikan peluang untuk turut berpartisipasi dalam meningkatkan produksi yang mensejahterakan rakyat dengan menitik beratkan pada sistim ekonomi kerakyatan karena prioritas peningkatan ekonomi rakyat adalah di daerah sehingga sektor yang menjadi prioritas usaha juga hendaknya dipertimbangkan yakni sektor, pertanian, perkebunan, peternakan dan pertambangan. Semua sektor ini merupakan kekuatan penopang ekonomi nasional.

Pertanyaannya adalah bagaimana kemampuan pemerintah menciptakan iklim usaha, melibatkan serta memberikan kemudahan yang dapat mendorong lembaga-lembaga keuangan mikro untuk melakukan investasi dengan memberikan kredit bagi rakyat?. Atau sebaliknya menutup peran serta lembaga keuangan bukan bank untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi?

Sektor keuangan menjadi hal penting dalam kemajuan ekonomi, kebijakan fiskal dan moneter perlu di perhatikan dengan baik sehingga dapat menciptakan stabilitas dan kesinambungan ekonomi nasional. Kondisi pasar bebas (free Market) dan globalisasi memberikan peluang bagi investor asing untuk turut berpartisipasi dalam pengembangan ekonomi di Indonesia.

Aliran modal asing yang masuk di Indonesia pun perlu kehati-hatian dan mampu di arahkan ke sektor yang tepat sehingga aliran dana itu tidak keluar dalam keadaan mendadak dan cepat karena akan berdampak rusaknya pertumbuhan ekonomi. Beredarnya uang atau dana yang cukup di masyarakat perlu juga control Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk mempengaruhi jumlah uang beredar secara langsung, sebagaimana Dahlan Siamat memberikan pengertian atau instrument bagi kebijakan moneter yakni kebijakan moneter langsung (direct monetary policy instruments) dan instrument kebijakan moneter tidak langsung (indirect monetary policy instruments) (Dahlan Siamat - Manajemen Lembaga Keuangan, LP. FE – UI,2005)

Dari kedua instrument ini yang dirasa perlu untuk memajukan kemajuan pertumbuhan ekonomi rakyat adalah kebijakan moneter, sebab kebijakan ini tepat untuk memacu peningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter yang dimaksud adalah kebijakan moneter langsung (direct monetary policy instrument) kebijakan moneter langsung ini ada beberapa jenis namun yang dibutuhkan oleh kondisi ekonomi saat ini adalah “kredit langsung” (direct loan).

Kredit langsung ini dimaksudkan untuk membantu pembiayaan sector-sektor usaha tertentu yang merupakan sektor yang diprioritaskan untuk dikembangkan serta telah diprogramkan oleh pemerintah. Kredit ini disalurkan langsung oleh para Investor, namun yang perlu diwaspadai adalah pemerintah harus memiliki control agar bukan modal asing yang di pakai untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi, tetapi modal lembaga-lembaga keuaangan non bank milik swasta nasional.

ACFTA bukanlah sebuah ancaman yang menakutkan tetapi merupakan tantangan, diakibatkan oleh globalisasi sehingga untuk menghadapinya perlu adanya upaya strategis guna memacu ekonomi rakyat, karena dengan bertumbuhnya ekonomi yang memiliki sejumlah kegiatan produksi dapat menghasilakan barang. Barang ini dapat di pasarkan di mancanegara. Strategi ini diharapkan kedepan Indonesia tidak hanya sebagai negara pengkonsumsi tetapi juga sebagai eksportir atau produsen.

Untuk meningkatan jumlah kegiatan produksi dibutuhkan modal kerja. Namun aturan yang diberlakukan bank dalam melakukan peminjaman, membuat masyarakat, terutama usaha kecil dan mikro mengalami kesulitan untuk mendapatkan modal. Seandainya ada kemudahan peminjaman untuk peningkatan ekonomi rakyat di sektor real seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan lainnya yang merupakan kegiatan ekonomi di pedesaan.

Peningkatan ekonomi pedesaan selalau di fasilitasi dalam APBN untuk mendapatkan kredit namun permasalahan ini tidak akan menyelesaikan masalah sebagaimana yang diungkapkan oleh President Susilo Bambang Yudoyono yang menjanjikan bahwa pemerintah akan mengalokasikan kredit khusus melalui APBN (Kompas, Kamis 1 April 2010), kebijakan ini tidak tepat karena tidak terarah dan jumlahnya sangat kecil dan pengembangannya pun tidak terfokus.

Besarnya dana pemerintah yang dikucurkan bank umum untuk kredit usaha kecil menengah pada sektor ekonomi sesuai data yang di lansir dari Bank Indonesia, data terakhir pada Desember 2009 , Posisi Kredit Usaha Kecil dari Kelompok Bank yakni Bank Persero, Bank Pemerintahan Daerah, Bank Swasta Nasional, Bank Asing Campuran (www.bi.go.id) sebesar, Rp. 153. 553 Milyard dengan alokasi sebagai berikut:
-. Pertanian Rp. 21. 407 Milyard
-. Pertambangan Rp. 234 Milyard
-. Perindustrian Rp. 3. 648 Milyard
-. Perdagangan Rp. 79. 252 Milyard
-. Jasa Rp. 18. 721 Milyard
-. Lain-lain Rp. 30. 291 Milyard

Data kredit usaha ini nilai cukup besar Rp. 153. 553 Milyard dan untuk pengembangan pertanian hanya sebesar Rp. 21. 407 Milyard, dan sector industri sebesar Rp. 3. 648 Milyard padahal kedua sector ini sebaiknya di perbesar karena kondisi geografis sejumlah wilayah di Indonesia adalah lebih pada pengembangan pertanian dan industri namun kemungkinan nilai alokasi perkreditan ini kecil karena di harapkan lembaga keuangan non bank yang memiliki peran lebih dalam infestasi
Patnership Petani – Lembaga Keuangan Swasta

Apabila pengembangan investasi dengan memberikan kredit usaha bagi rakyat seyogianya melibatkan swasta untuk mengembangkan sentra-sentra produksi di daerah-daerah dan menciptakan pengembangan usaha agribisnis pedesaan dengan skala besar karena adanya desa binaan. Pemerintah menargetkan swasembada produksi daging sapi Target pemerintah 420.000 ton pada tahun 2014 (Kompas, 22 Maret 2010).

Program ini akan sulit dibuktikan ketercapaiannya, karena siapa yang akan memepertanggungjawabkann penggunaan anggrannya, di masyarakat akan berkembang bahwa kredit bantuan pemerintah sehingga tidak dengan sungguh-sungguh mengupayakannya karena kalau pemerintah bisa diganti atau pun tidak, sebagaimana program-program pemerintah terdahulu seperti IDT (Inpres Desa Tertinggal), Program Sarjana Pembangun Desa, dan bantuan lainya namun tidak menghasilkan apa-apa.

Kredit dengan melibatkan lembaga keuangan swasta, secara otomatis akan ada pendampingan berkelanjutan seperti patnership antara petani dan swasta, dimana lembaga keuangan swasta tidak hanya mengucurkan dana kreditnya tetapi melakukan pengawasan dan hasil panen juga di pasarkan olehnya. Dan para lembaga swasta telah melakukannya di sejumlah daerah seperti Medco milik Pengusaha Arifin Panigoro mengembangkan sentra pangan di Merauke. Lembaga-lembaga Keuangan swasta (jasa financial) lainnya yang bergerak dalam bidang pembiayaan seyogianya sudah melakukan pembiayaan bagi para petani dan UKM dalam peningkatan ekonomi.

Pengusaha Nasional sudah seharusnya memelopori pola partnership ini seperti Chairul Tanjung pemilik Para Group yang telah mengakusisi saham PT. Carrefour Indonesia sudah seharusnya mengadakan MOU dengan petani dimana ada Petani atau UKM binaannya yang difasilitasi dengan kredit atau pembiayaan untuk melakukan pengembangan pertanian, kemudian hasil pertanian tersebut memenuhi pasar ritel di setiap lokasi gerai yang dimiliki Carrefour, jika memungkinkan maka dapat melakukan eksport ke luar negeri guna memenuhi pasar ACFTA.

Ketika Carrefour melakukan MOU (memorandum of understanding) dengan HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) mengenai pengembangan dan perluasan usaha, dalam MOU tersebut disepakati empat hal yakni pengembangan usaha kecil dan menengah, pencarian potensi lokal baru gerai Carrefour oleh HIPMI, logistik dan evaluasi keberhasilan program (Koran Seputar Indonesia, 13 Mei 2010). MOU ini terkesan menguntungkan Carrefour dan HIPMI secara organisatoris dan tidak menyentuh kebutuhan masyarakat, apalagi penolakan masyarakat dengan kehadiran Carrefour dapat mematikan pasar tradisional hal ini dapat menimbulkan konflik horisontal, tetapi jika menjalankan pola patnership dimana setiap gerai Carrefour berada di sana juga ada UKM atau petani binaan dengan demikian akan tercipta pertumbuhan ekonomi yang dinamis.

Perilaku Carrefour dan HIPMI bisa saja seperti argumen Amartya Sen yang di kuitp kembali oleh Sutia Budi dan Pitri Yandri dalam tulisan ”Potret Pembangunan Ekonomi Di Indonesia” bahwa sebagian orang menikmati kemakmuran, namun kualitas hidup masih tetap jauh dari jangkauan banyak orang, dalam banyak situasi, kebijakan pembangunan ternyata lebih menguntungkan vested interest yang memadai dalam modal manusia dan modal alam, yang sangat esensial bagi pertumbuhan berbasis luas, Perhatian Amartya Sen terletak pada pentingnya redistribusi aset non-fisik, masalah paling besar dalam soal redistribusi aset non-fisik. Pemikiran ini pun kembali di pertegas oleh UNDP bahwa pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk, sebenarnya penduduk di tempatkan sebagai tujuan akhir dan bukan alat, cara atau instrument pembangunan (sutiabudi.wordpress.com).

Harapan pembangunan seharusnya diwujudkan melalui kombinasi proses sosial, ekonomi, dan institusional. Kerjasama yang dilakukan oleh HIPMI dan Carrefour adalah sebuah langkah penembangan ekonomi dan peran HIPMI sebagai institusional yang diharapkan dapat berdampak sosial kepada masyarakat namun kenyataannya lebih menguntungkan para elite yang melakukan MOU ini.

Diharapkan dengan pola patnership yang ditawarkan, diharapkan akan menimbulkan efek pertumbuhan ekonomi yang cukup baik di mana tersedianya barang di pasar, permintaan meningkat dan tidak saja itu tetapi dapat mengurangi pengangguran seperti yang dilansir media di bulan Februari tahun 2009 saja pengangguran terbuka sebanyak 9.258.964 orang sebanyak 8,14 % dari jumlah angkatan kerja sebanyak 113.744.408 orang, yang bekerja 104.485.444 orang (Kompas, 30 April 2010). Kondisi ini memprihatinkan dan setiap tahun mengalami peningkatan karena angka kelahiran pun bertambah, tetapi diharapkan dengan peran lembaga keuangan swasta dalam mewujudkan perannya dalam memberikan kredit langsung kepada masyarakat maka diharapkan secara langsung telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat.

Contoh kasus pemberian kredit yang terjadi di Jawa Tengah, kredit yang dikucurkan oleh Bank untuk pembiayaan peternakan ikan, untuk pembenihan per nasabah sebesar Rp. 25.000.000, sedangkan untuk pembesaran ikan sebesar Rp. 50.000.000 per debitur dengan suku bunga 19 % dan jangka waktu kredit 3 tahun, besarnya dana sendiri nasabah yang di persayaratkan bank adalah 20%. Persyaratan jaminan yang diminta yakni oleh bank dapat berupa sertifikat tanah atau bangunan tempat usaha, tabungan atau deposito atau barang bergerak (www.bi.go.id).

Syarat ini sulit untuk di penuhi oleh para petani di desa karena beban yang harus di tanggung sangat bersiko sehingga pola patnership dengan swasta dalam melakukan pendampingan pengembangan ekonomi sangat diharapkan oleh masyarakat kecil yang tidak memiliki modal untuk bisa di jadikan jaminan hanya fisik dan lahan yang mereka miliki untuk melakukan kerjasama dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi dapat tercapai jika adanya Stabilitas Sistem Ekonomi (SSK) sebab apabila sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil maka dapat membahayakan ekonomi, sehingga peran SSK dalam menciptakan kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga, alokasi dana dan pengelolan resiko berfungsi secara baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi (www.bi.go.id).

Dengan demikian tugas pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia bagaimana mendorong Lembaga Keuangan Non Bank untuk melakukan peran sertanya dalam pertumbuhan ekonomi.Domain pemerintah dalam sektor dalam pembiayaan pembangunan sangat kuat terutama dalam pengembangan sektor pertanian, perkebunan dan peternakan, perikanan seperti yang di paparkan melalui beberapa sumber tersebut, swasta hanya akan dilibatkan dalam pembangunan infrastruktur dan tidak diberikan ruang dalam pengembangan masyarakat secara langsung. Pemerintah sudah saatnya berperan sebagai ”penjaga malam” menciptakan kondisi yang aman dan memberikan kepastian hukum sehingga swasta lebih berani berperan dalam pengembangan ekonomi terutama sektor real yang langsung berhubungan dengan kondisi lokal masyarakat.

Upaya strategis yang segera yakni: pertama; Meminimalisasi peran pemerintah dan memaksimalisasi peran swasta, diharapkan dengan memberikan pinjaman lunak kepada petani dengan bunga kredit yang rendah dan penyaluran pinjaman yang produktif. kedua; Pemberdayaan serta pendekatan partisipatoris terhadap kelompok masyarakat dengan tidak terbatas pada pemberian pinjaman tetapi pola kontinuitas dengan melakukan pendampingan. ketiga; Membantu memasarkan produksi yang dihasilkan akan memacu pertumbuhan ekonomi yang cepat karena sudah tersedianya pasar yang siap memasarkan.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI