Senin, 07 Juni 2010

VIRUS KLEPTOKRASI PENYEBAB KOROUPSI DI INDONESIA

“Virus Kleptokrasi Penyebab Korupsi di Indonesia”
*Yoyarib Mau

Kinerja KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sejak dibentuk, memainkan terobosan yang memberikan angin segar bagi sebagian besar rakyat Indonesia bahwa harapan akan berakhirnya perilaku korupsi telah tiba. KPK diharapkan sebagai dewa penyelamat bagi rakyat Indonesia, KPK dalam perjalanannya memiliki kekuatan hukum dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

KPK memiliki Kedudukan hukum yang cukup kuat dalam kekuasaannya memberantas korupsi namun pada kenyataannya KPK dibiarkan mati oleh para pendirinya bahkan pada akhir-akhir ini KPK mengalami kemunduran fisik seperti macan ompong yang tak bergigi, dan diwacanakan untuk dibubarkan hal ini dibuktikan dengan kemenangan Anggodo Widjaya di pengadilan.

Peran KPK dibutuhkan dalam membentuk citra Indonesia di mata dunia luar bahwa penerapan demokrasi di Indonesia berjalan dengan baik dengan pemerintahan yang bersih, tetapi kenyataannya Indonesia masih tetap menduduki posisi teratas negara terkorup di Asia Pacifik sebagaimana hasil Survei Perusahaan Konsultan Political & Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong menunjukan bahwa pemberantasan Korupsi hanyalah bertujuan untuk membentuk citra Kabinet Indonesia Bersatu (Harian Sinar Harapan – 09/05/2010).

Korupsi dilakukan oleh pejabat negara di pusat hingga daerah, kasus Bank Century yang mulanya marak dan menyedot energi seluruh warga tetapi berakhir “happy ending” dengan kompromi politik dibentuknya Sekretariat Bersama (sekber) Koalisi. Dan kemungkinan para pejabat negara kita adalah penganut Lasswellian dimana alam pemikiran mereka selalu diwarnai oleh siapa mendapat apa? kapan dan bagaimana?. Pemikiran mereka juga tidak hanya diwarnai oleh pemikiran Lasswell tetapi terbentuknya ”sekber partai koalisi” juga ditindaklanjuti dengan strategi politik yang manjur seperti yang di ungkapkan oleh Talcot Parsons bahwa, kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organissi kolektif, kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif (Miriam Budiardjo – Ilmu Politik – 2008).

Siapa mendapat apa kapan dan bagaimana, hal ini pada awal Juni 2010 terwujud dalam ususlan dana aspirasi sebesar Rp. 15 Milyard per angota DPR atau total Rp. 8.4 Triliun (Harian Kompas 3/06/2010), dengan tujuan kolektif sekber koalisi yakni pembiayaan pembangunan daerah pemilihan, padahal pengusulan dana aspirasi diluar APBN sebenarnya telah ada wewenang kerja dari para eksekutif dalam hal ini operatornya adalah birokrasi sebagaimana tugasnya menjalankan administrasi publik. Pengajuan ususlan dana aspirsi oleh anggota DPR yang terkesan disinyalir banyak muatan naluri korupsi dan keuntungan pribadi sangat kental. Padahal sebelumnya anggota dewan yang terhormat menghebohkan rakyat dengan merencanakan membangun gedung baru bagi 560 angota DPR kita dengan mengalokasikan dana hingga Rp. 1,8 Triliun (Harian Kompas, 06/05/2010)

Pengajuan dana yang dilakukan para legislatif dalam jumlah yang cukup besar tidak hanya di tingkat pusat saja tetapi di tingkatan pemerintahan provinsi bahkan di tingkat kota/kabupaten memiliki spirit yang sama untuk kepentingan para legislatif dan ekskutif yang berkuasa seperti yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Provinsi NTT dalam pemberitaan media massa akhir-akhir ini tentang ancaman kelaparan yang menimpa sebagian masyarakat NTT, kesulitan air bersih, rendahnya mutu pendidikan dimana tingkat kelulusan Ujian nasional yang memprihatinkan. Namun dalam kebijakan pemerintah NTT tidak memikirkan kesulitan yang dialami oleh rakyat, dimana Pemerintah Provinsi dalam APBD 2010 mengalokasikan Rp. 7,6 miliar untuk pembelian mobil anggota Dewan Perwakilan sebanyak 38 buah bagi 38 anggota DPRD dari 55 anggota DPRD NTT ironisnya dana yang dipakai untuk pembelian mobil itu merupakan dana yang dipinjam DPRD dari APBD (Harian Kompas 18/05/2010).

Pengalokasian dana untuk menikmati barang mewah tidak hanya dinikmati oleh para legislator tetapi di tingkatan birokrasi pun memiliki nafsu yang sama seperti yang dilakukan oleh Sekertaris Daerah NTT bahwa dalam APBD 2010 telah dialokasikan dana sebesar Rp. 11 Milyard untuk kredit kendaraaan bagi PNS dengan eselon II dan III dengan alasan mempercepat mobilitas (Harian Kompas 18/05/2010) padahal jika dilihat dengan seksama apa relevan antara kepemilikan mobil mewah dengan pengentasan kemiskinan? Atau sebaliknya penyebab kemiskinan adalah penyalagunaan APBD.

Di level Kota/Kabupaten semangat pemuasan diri juga terbangun dengan sistimatis dengan motif yang sama yakni alokasi APBD untuk pembelian kendaraan baru, seperti yang dilakukan di Kodya Kupang mengalokasikan Rp. 4,9 milyard untuk pembelian 24 mobil dinas, uniknya pembelian mobil mewah tidak diminta atau diajukan oleh legislatif tetapi di lakukan oleh ekskutif dan birokrasinya, sedangkan Ketua DPRD Kota Kupang membantah bahwa dirinya tidak mengetahui tentang rencana pengadaan mobil tersebut turut mengalokasikan pengadaan mobil bagi pimpinan DPRD setempat. Menurut Surat kabar Harian Pos Kupang, Dana Rp. 4,9 milyard merupakan pengalihan dari dana tahunan yang digunakan untuk biaya pemeliharaan kendaraan dinas di lingkup Pemkot kupang yang sebesarnya Rp. 4,5 Milyard setiap untuk untuk sejumlah kendaraan dinas yakni 116 unit mobil dinas dan 250 sepeda motor dinas yang akan segera di putihkan (Harian Pos Kupang, 04/06/2010).

Penggunaan dana sebesar ini hanya untuk operasional para pejabat pemerintahan baik itu legislatif dan ekskutif hal ini yang menyebabkan APBN/D habis terpakai untuk kenikmatan para pejabat kita dari pada memunhi hak dasar rakyat yakni menikmati kesejahteraan.
Pertanyaaan yang perlu kita jawab bersama sebagai warga negara adalah, mengapa para pejabat kita baik itu legislatif, eksekutif yang didalammnya temasuk birokrasi setiap kebijakan yang berhubungan dengan uang, faktor naluri kepentingan, kenikmatan pribadi dan kelompok selalu yang diutamakan daripada pemenuhan hak dasar rakyat?

Perilaku pemenuhan naluri kepentingan pribadi dan kelompok merupakan warisan sejarah yang cukup panjang dalam negara kita, sistem pemerintahan orde baru dimana kekuatan politik yang di domain oleh Soeharto sebagai, Ketua Dewan pembina Golkar dimana setiap kebijakan Golkar harus mendapat restu dari beliau, Soeharto memiliki posisi sebagai Panglima Tertinggi ABRI mendaulatkan dirinya sebagai pemegang komando tertinggi, dan kemudian sebagai President otomatis seluruh pejabat ekskutif dan birokrasi dibawah kendali dirinya. Peranan ini memberikan peranan bagi tiga kekuatan utama dalam pemerintahan orde baru yakni, Golkar-ABRI-Birokrasi. Sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan selalu menguntungkan bagi mereka dan tidak ada bantahan.

Menurut Budi Winarno, untuk memahami kehidupan politik saat ini tidak apat dilepaskan dari sistem politik orde baru, Kebijakan publik tetap diorientasikan untuk melayani kepentingan elit dan menyimpang jauh dari harapan-harapan publik. Winarno menambahkan bahwa merujuk pendapat William Liddle, sistem apapun yang akhirnya muncul dalam sistem politik Indonesia, sifatnya akan terpengaruh dalam ukuran yang bukan kecil oleh jati diri orde baru.

Warisan orde baru ini merupakan kegagalan politik yang dialakukan pada 1998, dimana transisi kekuasaan yang seharusnya dilakukan revolusi politik tetapi yang tercapai hanyalah reformasi politik 1998, karakteistik politik ini mengakar dan menjadi habits orde baru sehingga menjangkiti diri pejabat pemerintah kita.

Perilaku para pejabat saat ini dalam setiap kebijakan selalu mencari keuntungaan bagi diri dan kelompoknya selalu sama dengan korupsi yang dilakukan dalam era orde baru selalu dilakukan dengan pesekongkolan antara birokrasi - eksekutif, legislaif dan bahkan menjaring korporat untuk turut serta dalam persekongkolan. Perilaku yang mewabah ini Menurut R. Theobald adalah persekongkolan antara birokrat dan korporat untuk merugikan keuangan negara mengindikasikan sebagai bentuk ”kleptokrasi”, Kelptokrasi sebagai salah satu bentuk korupsi berat tidak semata-mata merupakan tindakan birokrat dalam menerima suap yang jumlahnya relatif kecil, tetapi suatu bentuk keserakahan pemegang kekuasaan dalam melakukan tindakan menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan kroni-kroninya dengan kerugian keuangan yang sangat luar biasa ( Muhamad Mustofa – Kleptokrsi – 2010).

Perjalanan reformasi politik sejak 1998 hingga kini kasus korupsi yang dilakukan para pejabat negara ini disebabkan oleh pengadaan barang atau tender yang melibatkan pejabat negara diantaranya, Proyek pembebasan Hutan untuk pembangunan pelabuhan Bagansiapi-api yang akhirnya menangkap angota DPR RI dari fraksi PPP Al Amin Nasution, sedangkan dalam proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran oleh Departemen Dalam Negeri melibatkan Gubernur Kepulauan Riau Rusli Zainal, Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, Mantan Gubernur Riau Saleh Djasit. dan juga swasta seperti pengadaan alat komunikasi yang dilakukan oleh Anggoro Widjojo sebagai Dirut PT. Masaro Radiokom dalam pengadaan alat sadap suara dimana permasalahannya selalu terkait dengan APBN/D yang dialokasikan berdasarkan peran legislatif dan birokrasi yang bertanggungjawab sebagai panitia tender dan korporat pemenang tender.

Korupsi sering terjadi dengan melibatkan para legislatif, panitia tender (birokrasi) dan eksekutif serta korporasi pemenang tender selalu ada kolusi diantara aktor-aktor ini, dimana modus korupsi selalu memilki keterkaitan departemen/kementerian (pusat) atau dinas (daerah) mengajukan pengadaan barang atau proyek tertentu dalam rancangan APBN/D kemudian di bahas bersama legislatif terutama panitia anggaran atau komisi anggaran karena memiliki kekuasaan untuk menggolkan program tersebut dalam APBN/D.

Dalam level ini sudah dapat terjadi negosiasi untuk pengesahan kesepakatan atas APBN/D tersebut barang atau proyek seperti dalam kasus yang melibatkan mantan anggota DPR dari Partai Amanat Nasional Abdul Hadi Djamal yang saat itu menjadi anggota Panitia Anggaran ditangkap KPK pada 02 Maret 2009 karena menerima uang dari pengusaha Hontjo Kurniawan untuk mendapatkan proyek program dana stimulus di Departemen Perhubungan untuk Indonesia Timur.

Setelah selesai di sepakati oleh legislatife maka eksekutif dalam hal ini President atau Kepala Daerah tinggal menandatangani. Departemen / Kementerian atau Dinas melakukan tender atau pelelangan proyek yang di set-up sepertinya diketahui publik dengan mengumumkan di media massa guna memenuhi asas transparansi, namun semuanya hanyalah formalitas belaka pemenangnya sudah tentu korporasi yang telah memberikan dukungan keuangan pada saat Pemilu/Pilkada sebagai bentuk balas jasa.

Gagasan dana aspirasi yang akan digulirkan saat ini, maupun pengadaan mobil bagi pejabat daerah, sepertinya juga disinyalir para pejabat baik itu legislatif maupun ekskutif dapat bermain mata dengan memberikan signal bagi pemenang tender adalah korporsi tertentu dgn memberikan disposisi.

Dengan demikian upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ”kleptokrasi” menjangkiti para pejabat negara dalam hal ini ekskutif, legislatif bahkan birokrasi melakukan korupsi tidak cukup jika menjustice atau menghukum mereka dengan aturan moral atau etika agama maupun aturan kemasyarakatan, KPK yang diharapkan perannya untuk mematikan virus ini tetapi mengalami kebuntuan sehingga dibutuhkan langkah konkrit yang memiliki kekuatan hukum serta terinstitusionalisasi dengan baik yang berperan untuk membentuk karakter atau mengetahui mental pejabat publik sejak dini:

Pertama; Pada saat perekrutan baik itu perekrutan bakal calon anggota legislatif maupun bakal calon peserta pilpres/pilkada dengan mensyaratkan peserta untuk melewati test karakter atau mental di lembaga psikotest yang memiliki sertifikasi atau akreditasi dan terpercaya untuk melakukan proses ini. Test tesebut dilakukan tertulis atau melalui sistem komputerisasi sehingga hasil test tersebut akurat serta dapat dipublikasikan dan dapat diakses oleh khalayak dengan demikian penilaian terhadap peserta sangat obyektifitas.

Kedua : Reformasi Birokrasi tidak hanya dengan memberikan remunerasi atau kenaikan gaji bagi para aparatus negara maupun pejabat publik, tetapi ada aturan lain yang mengikat dimana proses penggajian pun melalui sistem perbankan, dan juga adanya aturan yang memberikan keleluasaan bagi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mengetahui transaksi keuangan dari para pejabat publik dan aparatur negara sehingga ketika ada transaski keuangan yang menimbulkan kecurigaan maka dapat ditelusuri dengan segera. Kemudian pembelian atau pemilikan barang mewah dalam nilai tertentu sebaiknya dilakukan melalui transaksi perbankan sehingga ada kontrol yang dilakukan PPATK.

Diharapkan dengan kedua langkah ini dapat mengatasi penyakit kleptokrasi yang merupakan sebuah penyakit tertua yang penyebaran virusnya hampir merasuki semua aparatus negara, pejabat publik bahkan korporasi, terkesan penyakit ini elitis. Naluri virus ini menjiwai seluruh pikiran dan perilaku, tetapi dengan upaya konkrit yang diharapkan penulis virus ini dapat dimatikan. Sehingga cita-cita yang diharapkan yakni Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera (Anggur Merah) tidak memabukan dan tetap menikmati kemiskinan tetapi dapat tersenyum karena hidup tenang dan nyaman.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI