Sabtu, 28 Agustus 2010

Rabu, 25 Agustus 2010

"Mamar Kota Untuk Kupang Green and Clean"

“MAMAR KOTA UNTUK KUPANG GREEN AND CLEAN”
*Yoyarib Mau

Dalam sebuah diskusi terbatas dan tak resmi antara beberapa aktifis academia NTT yang ada di Jakarta seperti; Andre Therik, Matheos Mesakh, penulis bersama Prof. Yusuf L. Henukh mencoba meneropong kembali program Kupang Green and Clean (KGC). Melihat bahwa program ini tidak melibatkan semua pihak serta tidak melihat kejayaan Kupang pada waktu lampau.

Program KGC sepertinya hanya program birokrasi dan tidak melibatkan seluruh masyarakat kota karena proses menghijaukan Kota dilakukan dengan membagi lahan-lahan kosong bagi tiap kantor dinas atau berbagai institusi di Kota Kupang untuk menanaminya dengan sejumlah pohon, padahal ada bukti dan catatan sejarah di masa kejayaan kota Kupang dimana peran vetor mampu menciptakan kondisi Kupang menjadi kota yang hijau.

Catatan atau bukti Sejarah yang dapat dilihat bahwa pada masa kevetoran ada wilayah – wilayah yang subur dan hijau serta memberikan sumber kehidupan bagi masyarakat kota waktu itu, seperti mampu memberikan suplai air bagi konsumsi rumah tangga (PAM) dan suplai air bagi irigasi pertanian. Wilayah yang mampu memberikan sumber air bagi kehidupan kota adalah Oepura dan Air Nona.

Oepura dibuktikan dgn adanya PAM dan ada Kolam Renang serta ada Kolam Air Nona serta mengairi sejumlah persawahan di Kota, serta sumber air lain dari luar Kota yakni Baumata dan Oenisu. Melihat keberadaan tempat-tempat ini semuanya tidak dengan sendirinya ada tetapi ada keterkaitan, Sumber-sumber air ini selalu berada dengan “mamar”.

Mamar merupakan sistem usaha tani di Pulau Timor yang dikembangkan pada satu hamparan lahan di sekitar sumber air atau zona tertentu, mamar menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan di sejumlah kampung di daerah Timor, Sabu dan Rote. Mamar merupakan sumber kehidupan bagi orang Timor, Rote dan Sabu, karena kebutuhan kesehariannya ditanam di lahan ini dan selalu di dominasi oleh tanaman seperti; pisang, kelapa, pinang dan sirih.

Mamar ini tidak di miliki oleh pribadi tertentu tetapi bersifat komunal, karena kepemilikan yang komunal maka ada kesepakatan bersama dan melembaga di antara para pemilik yang berasal dari beberapa marga atau klan. Kesepakatan adat ini mengatur tentang batasan masa rotasi panen, pembagian hari untuk jatah pengairan ke tanaman, dan pemasangan beberapa atribut adat sebagai simbol larangan pada lokasi tertentu. Ketentuan ada ini harus di jalankan jika ada pelanggaran maka ada sanksi.

Warisan sejarah ini masih di nikmati oleh warga kota Kupang hingga hari ini yakni Air PAM, dan sejumlah sawah yang masih terhampar luas, Program KGC yang di kembangkan pada periode walikota saat ini, sesungguhnya memiliki tujuan mulia yakni menciptakan keteduhan dan suasana sejuk di kota namun perwujudan KGC tidak mungkin berjalan sendiri antara birokrasi dan rakyat tanpa pelibatan seluruh masyarakat.

Mungkinkah program KGC untuk mengatasi kesulitan dan kebutuhan pokok masyarakat yakni krisis air bersih atau sekedar menyenangkan pemerintah pusat ?
Pertanyaan diatas mungkin ada benarnya karena KGC hanyalah polesan pemkot untuk menyenangkan dan mengharapkan bantuan pemerintah pusat bahwa pemkot turut mendukung program nasional ”one man one tree” dan “protokol kyoto”. Padahal jika mau jujur apabila pemkot serius untuk membangun kota ini yang bertujuan ketersediaan air minum, suasana sejuk dan hijau maka rekomendasi mamardapat di terapkan sebagai salah satu kearifan lokal daerah guna menjawab KGC.

Walaupun wilayah Timor memiliki karakteristik iklim kering, batu bertanah,curah hujan rendah namun tidak serta merta membenamkan idealisme bahwa pohon susah hidup di kota ini. Penulis telah menggambarkan diatas bahwa konsep ”mamar” dapat digunakan untuk memacu kelambanan program KGC.


Konsep Meresapi

Program KGC akan berhasil jika melibatkan semua masyarakat, untuk melibatkan semua masyarakat perlu memperhatikan bahwa program ini harus diresapi masyarakat, Untuk program KGC ini terwujud maka penulis menawarkan sebuah tawaran pemikiran yakni ”meresapi” konsep ini dapat di wujudkan dalam masyarakat yakni menanam tanaman yang menjadi kebutuhan atau sering dinikmati oleh masyarakat. Konsep meresapi ini yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda di Jawa, yakni tanaman tebu namun proses meresapipun dilakukan dalam keseharian masyarakat Jawa dimana setiap makanan di taburi gula agar manies. Di Sulawesi juga demikian karena tanaman kelapa yang menjadi produk unggulan maka setiap makanan yang di sajikan selalu menambahkan santan kelapa. Ide meresapi ini memobilisasi masyarakat di jawa dan sulawesi untuk menanam tanaman yang menjadi bagian dari kehidupan mereka yang kemudian hari tanaman ini tidak hanya cukup dikonsumsi sendiri tetapi memnuhi kebutuhan pangan nasional serta diekspor

Proses meresapi juga di lakukan masyarakat yang bermukim di Timor, Rote dan Sabu dimana ”mamar” ditanami pisang dan kelapa ditanami untuk konsumsi tetapi yang lebih dominan adalah pinang dan sirih selalu ada di mamar. Pola meresapi sangat kental dan lebih mencerminkan nilai sosial budaya karena setiap tamu akan disuguhkan sirih – pinang, dan masyarakat sendiri mengkonsumsinya sebagai budaya membangun persaudaraan.

Rehabilitasi

Mamar pada hakikatnya membangun tiga komponen di mana, komponen pertama yakni tanah – air, kedua tanaman hayati dan ketiga manusia. Tiga komponen ini saling terkait tanah di tanami tanaman untuk tidak terjadi erosi, menahan dan menyimpan air hujan serta menghasilkan sumber air yang dapat difungsikan oleh manusia. Mamar merupakan hasil interaksi dari tiga komponen tersebut. Menjadi tantangan adalah dengan kemajuan dan peradaban masyarakat kota dimana dibutuhkannya lahan untuk perumahan sehingga sebagaian lahan mamar dialihfungsikan bagi pemukiman dan secara sosial sulit untuk mewujudkan mamar di tengah kota hal ini disebabkan oleh lahan yang sempit, serta karakteristik masyarakat kota yang tidak dapat menerapkan konsep meresapi yakni makan sirih pinang seperti masyarakat pingiran kota dan desa yang tersebar di Timor, Rote dan Sabu.

Mamar harus di pahami secara luas bahwa tidak selamanya yang harus di tanami adalah sirih dan pinang, tetapi tanaman lain yang menjadi kebutuhan masyarakat kota tetapi kembali lagi bagaimana komitmen pemkot dalam menjalankan KGC, dimana lahan tidur atau lahan kosong di berbagai sudut kota atau pinggiran kota di manfaatkan sebagai mamar dengan melibatkan masyarakat setempat untuk berperan aktif (social foresty) sehingga rasa kepemilikan, penerapan aturan adat berdasarkan kesepakatan bersama di lingkungan masyarakat dapat dilakukan sehingga rasa kepemilikan serta kepedulian membangun kota.

Anggaran

Perwujudan mamar tidak secara murni sumbangan sukarela dari masyarakat tetapi peran pemkot sangat dibutuhkan yakni pengaloksian anggaran bagi terwujudnya konsep mamar, APBD Kota Kupang tahun 2010 sebesar 476,147 milyar, anggaran untuk SDA dan Lingkungan diperuntukan bagi Jalur Hijau dan sejenisnya 1.530 milyar (0.322% dari APBD) dan untuk Penataan Taman 283 Juta (0,59% dari APBD).
Anggaran untuk SDA dan Lingkungan sanagat kecil padahal alokasi anggaran untuk bagian ini sangat vital karena menyangkut kebutuhan pokok yang menjamin kehidupan masyarakat yakni air. Anggaran terbesar malah dialoksikan untuk kendaraan dinas seperti alokasi dana untuk operasional mobil dinas di Pos Setda kota sebesar 1,923 milyar, pemeiliharaan dan operasional kendaraan dinas sebesar 4,558 milyar (khusus untuk Pos Setwan 540,9 juta) dan Pengadaan Kendaraan dinas/Operasional sebesar 5,032 milyar.

Dari besarnya anggaran memiliki kesenjangan yang sangat jauh antara anggaran untuk SDA – Lingkungan dengan Anggaran pengadaan mobil dinas hal ini mencerminkan bahwa keberpihakan pemkot untuk mewujudkan KGC hanyalah isapan jempol belaka, KGC hanyalah iklan belaka yang ingin menawarkan dan menunjukan bahwa pemkot peduli dengan isu ”warming global” dengan tujuan lebih banyak lagi mendapatkan bantuan pusat serta donatur lembaga asing tetapi sejatinya tidak peduli dengan rakyatnya, jika anggaran untuk rakyat maka alokasi dana yang cukup untuk memobilisasi masyarakat untuk membuat mamar kota di sejumlah titik dengan harapan dtidak hanya menciptakan kota indah dan hijau tetapi berefek ganda yakni mengatasi kesulitan air.

Tujuan dari KGC hanya akan berhasil jika memiliki tujuan jangka panjang untuk menjawab krisis kemanusiaan yakni air minum yang setiap saat jelang musim kemarau menjadi barang mahal bagi warga kota karena tidak dapat tidur menikmati malam karena menanti hadirnya tetesan air dari leding PAM.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

Rabu, 11 Agustus 2010

"KEPEMIMPINAN KAPITAL DAN TRANSAKSIONAL"

“KEPEMIMPINAN KAPITAL DAN TRANSAKSIONAL”
*Yoyarib Mau

Kemerdekaan NKRI akan memasuki usianya yang 65 tahun usia yang telah melewati masa transisi yang cukup panjang, ibarat manusia masa dimana seseorang menikmati usia tuanya. Kenyataannya Indonesia tidak seperti usia manusia, masih terus bergelut dengan mencari bentuk yang ideal untuk mencapai tujuan nasional yang adil dan makmur.

Untuk mencapai Tujuan Nasional Indonesia yang ada pada pembukaan UUD 1945 adalah mencakup tiga hal yaitu : melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Perwujudan dari tujuann nasional Indonesia maka Indonesia memilih bentuk ideal untuk mewujudkan kesejahteraan umum maka dibutuhkan sistem pemerintahan yang ideal, maka pilihan itu jatuh pada sistem demokrasi. Demokrasi diyakini memiliki asas dan nilai yang dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sistem Pemerintahan yang demokratis di Indonesia nyata sejak reformasi tahun 1998, salah satu faktor penting agar terwujudnya sistem demokrasi maka dibutuhkan kekuasaan administratif yang cukup kuat untuk menjalankan sistem ini.

Kekuasaan administratif selalu terhubungkan dengan kepemimpinan, kepemimpinan yang dimaksudkan adalah mereka yang merumuskan kebijakan untuk dapat diimplementasikan guna terwujudnya kesejahetaraan sehingga adanya kehidupan rakyat yang adil dan makmur.

Namun wajah kepemimpinan hari ini mencerminkan kepemimpinan capital dan transaksional, tentu pernyataan ini beralasan karena setiap mereka yang ingin menduduki sebuah jabatan yang demokratis selalu melalui pemilihan umum yang bebas.
Salah satu syarat terciptanya proses demokrasi yakni pemilihan umum secara bebas namun kini menghasilkan ”paradoks demokrasi” karena suatu sisi kepemimpinan dibutuhkan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur, namun dilain pihak untuk menduduki posisi kepemimpinan, calon pemimpin membutuhkan miliaran rupiah untuk mencapai jabatan kepemimpinan tersebut.

Biaya untuk mencapai jabatan kepemimpinan adminsitratif baik itu legislatif maupun ekskutif membutuhkan biaya yang cukup tinggi biaya politik yang dibutuhkan dalam proses perhelatan politik untuk mencapai jabatan kepemimpinan baik dari tingkat pusat hingga daerah selalu membutuhkan biaya yang cukup mahal untuk menjadi Gubernur dibutuhkan biaya sebesar 20 – 100 miliar, untuk menduduki jabatan Bupati atau Walikota membutuhkan dana berkisar 3 - 5 miliar. Jumlah sebanyak ini tidak sebanding dengan gaji yang diterima sebagai Gubernur dalam kepemimpinan 5 (lima) tahun, apabila dalam sebulan gaji Gubernur sebesar Rp.8,7 juta maka dalam setahun sebesar Rp. 104.400.000,- jadi selama 5 (lima) tahun berarti gaji yang diterima sebesar Rp.522.000.000,- . Seorang Bupati atau Walikota apabila gaji sebulannya Rp.6,2 juta maka dalam setahun sebesar Rp. 74.400.000,- sehingga dalam masa 5 (lima) maka keseluruhan gaji yang diterima sebesar Rp. 372.000.000,- (Kompas 23/07/2010).

Biaya yang dibutuhkan untuk memperoleh kekuasaan jabatan Gubernur, Bupati atau Walikota dengan jumlah yang sangat besar, biasanya dibutuhkan untuk mendongkrak citra figur di mata publik melalui survei pendahuluan untuk pemetaan suara pemilih, melalui iklan media (cetak dan elektronik) iklan non media (pamflet, brosur dan atribut) untuk mempengaruhi suara pemilih, dan terakhir pelatihan juru kampanye, dan perekrutan saksi di TPS untuk mengawal suara pemilih (Kompas 14/06/2010) Biaya kegiatan diatas belum termasuk biaya ”santa claus” atau ”angpao” dalam setiap kesempatan kunjungan kesejumlah tempat.

Permasalahan di atas merupakan sejarah yang dibentuk oleh manusia dan manusia tebentuk pikirannya oleh sejarah tersebut, akhirnya seseorang yang ingin menduduki jabatan kepemimpinan baik itu posisi Gubernur atau Bupati/Walikota sebaiknya mengumpulkan sejumlah uang sebelum maju sebagai calon seperti yang telah di tuliskan diatas.

Kapital menjadi syarat seseorang dapat di pandang layak menjadi pemimpin, atau turut berkompetensi dalam pesta demokrasi (pemilu). Kondisi ini juga yang menyebabkan mereka yang ingin menjadi pemimpin berkolusi dengan sejumlah pemodal atau pihak swasta dengan ”pola transaksional” dimana memberikan pinjaman awal atau sejumlah sumbangan dengan syarat setelah terpilih akan mengalokasikan sejumlah proyek atau tender kepada pemberi dana awal atau pemberi sumbangan.

Kondisi ini sangat memprihatinkan dan sepertinya menjadi budaya yang tak bisa mengelak dan terhindarkan sehingga menimbulkan pertanyaan,apakah demikian substansi dari sistem demokrasi yang bertujuan ingin mensejahterakan rakyat ?

Demokrasi sepertinya di pahami secara prosedural yakni dilakukan dalam konteks tata cara diantaranya memahaminya sebatas, proses pemilihan umum untuk pergantian pimpinan secara teratur, menghargai perbedaan dan keanekaragaman serta adanya partisipasi masyarakat. Dilain hal demokrasi tidak hanya terbatas saja pada proses pemilu tetapi terdapat pengabaian dari substansi demokrasi itu sendiri.

Menurut Robert Dahl dalam demokrasi perwakilan partisipasi itu lebih dimaksudkan sebagai keterlibatan warga negara di dalam pemilu (Kacung Marijan – 2010) keterlibatan warga dalam demokrasi hanya terbatas pada proses pemilihan karena itu sejatinya demokrasi yang di pahami secara literal yakni dari, oleh dan untuk rakyat tidak tercermin dalam demokrasi saat ini.

Partai Politik

Harus diakui bahwa dalam demokrasi modern saat ini, demokrasi terwakili melalui partai politik, sebagai salah satu karakteristik dari negara demokratis. Peran partai politik sebagai wujud pengakomodasian kepentingan – kepentingan rakyat yang sejalan diorganisir atau dikonsolidasikan dalam partai politik, dengan tujuan sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah.

Partai Politik pun bertanggung jawab untuk menyiapkan kader dimana seorang pemimpin digodok melalui partai politik dengan proses pendidikan kader dan memperjuangakn ideologi partai yang bertujuan demi kesejahteraan rakyat. Namun peran partai politik hari ini gagal dalam menjalankan perannya dimana menyiapkan kader untuk menjadi pemimpin, Partai Politik hari ini hadir sebagai korporasi dimana terciptanya kurs permintaan dan penawaran dimana bertemunya ”patronase dan broker”.

Patronase tercipta apabila ingin menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota, tinggal hadir dalam musda atau konfercab dengan menyediakan sejumlah uang (kapital) untuk membayar para pemilik suara dengan sebuah konsensus politik untuk memilihnya sebagai ketua Partai Politik, apabila terpilih maka invesatasi politik untuk memperoleh tiket untuk maju sebagai calon gubernur, atau calon bupati/walikota sudah tersedia karena telah ada partai pengusung.

Ada pola lain partai politik berperan sebagai Broker dimana partai politik tidak mengajukan kadernya tetapi menyiapkan pintu masuk untuk mengusung pribadi atau pasangan tertentu dengan ketentuan menyepakati transaksi jual beli pintu masuk. Model demokrasi seperti ini tidak lagi melibatkan rakyat tetapi hanya menguntungkan partai politik yang hanya di kendalikan oleh segelintir orang.

Independent

Akibat perilaku partai politik yang orientasinya tidak lagi sebagai salah satu pilar demokrasi, menghasilkan ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik, kondisi ini menghadirkan sebuah jalur baru demi terlaksananya transfer kekuasaan yang demokratis dengan adanya kompetisi didalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan.

Jalur Independent sejatinya sebagai sebuah ”tamparan politik” kepada partai politik yang gagal menjalankan perannya sebagai sarana rekrutment kader, namun hal ini hadir karena rakyat menginginkan substansi demokrasi tetap tercipta dalam menentukan pemimpin. Jalur independent yang turut berkompetensi dalam pemilihan umum (pilkada) sebenarnya merupakan kompromi politik guna menuju transisi demokrasi. Jalur independent hadir untuk membangkitkan kembali nilai-nilai saling mempercayai yang di tawarkan oleh sistem demokrasi.

Idealnya jalur independent hadir karena adanya modal sosial (social capital) yakni dukungan murni dari rakyat, jika dukungan murni dari rakyat maka rakyat yang bekerja seperti; mendorong siapa yang akan diusung, mengumpulkan biaya operasional dan syarat administratif yang dibutuhkan tanpa harus di bayar tetapi dilakukan berdasarkan asas kepercayaan. Jalur independent akan terdistorsi apabila mereka yang memiliki nafsu kekuasaan memaksakan diri masuk dalam ranah ini.

Nafsu kekuasaan mendorong mereka memobilisasi tim sukses untuk membeli dukungan dari para pemilik KTP (Kartu Tanda Penduduk) sebagai bukti dukungan guna memenuhi syarat administratif yakni foto kopi KTP, seandainya hal ini terjadi maka hadinya jalur independent untuk memperjuangkan tegaknya substansi demokrasi menjadi sia-sia, karena virus kepemimpinan capital dan transaksional menjadi wabah yang akut.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI