Rabu, 29 September 2010

"KETUHANAN YANG MAHA ESA SEBUAH ENTITAS"

"KETUHANAN YANG MAHA ESA SEBUAH ENTITAS”

*Yoyarib Mau



Terbentuknya Pancasila sejak permulaan sudah melalu perdebatan dan pencarian nama, bentuk dan penggunaan kata yang cocok dan tepat berdasarkan kepentingan berbagai kelompok masyarakat dari berbagai agama,suku dan bahasa. Perumusan dasar negara yang tepat untuk dapat mengakomodir berbagai elemen yang ada dalam negaraa ini.



Dari kelima sila pancasila ini mengalami perdebatan menyangkut redaksional kata dan pengakomodasian kepentingan serta prinsip keyakinan, hidup dan budaya yang berbeda untuk dapat difasilitasi dalam dasar negara. Perjuangan memasukan atau menerapkan redaksional kalimat sebagai bentuk heemoni budaya atau agama tersebut diharapkan untuk tidak mengabaikan kebangsaan yang berkekeluargaan.



Kebangsaan yang terangkum dalam Indonesia sangat beragam sehingga proses menetapkan sebuah idelogi bangsa harus mempertimbangkan keberagaman yang dimiliki negara ini. Pancasila dalam penetapannya sebagai dasar negara di warnai dengan proses yang panjang dalam sejarah bangsa khususnya pada sila kesatu.



Penetapan Pancasila sebagai ideologi bangsa berangkat dari kesepakatan para pendiri bangsa waktu itu yakni pasca kemerdekaan Republik Indonesia yang menginginkan asas negara ini, tim yang bekerja menyusun dasar negara ini kitakenal sebagai tim-9 (tim sembilan) yang terdiri dari; Ir. Soekarno, Mohamad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejono, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achamad Souardjo, Wahid Hasyim dan Mohammad Yamin (id.wikipedia.org)



Kesembilam orang in sebagai team yang menyusun dasar negara Indonesia mereka juga di kenal dengan sebutan BPUPKI (Badan Pekerja Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebelum kemerdekaan Indonesia tahun 1945. hasil kerja panitia ini menghasilkan lima butir kesepakatan yang kita kenal dengan sebutan “Piagam Jakarta” sebagai berikut:

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.



Namun dalam perjalanan penyusunan konstitusi UUD, maka ”piagam jakarta” ini hendak di masukan dalam konstitusi tertinggi negara ini, yakni UUD 1945 hal inilah yang menimbulkan perdebatan karena konstitusi seyogianyanya mengayomi semua pihak yang ada dalam negara ini sehingga PPKI menjelang pengesahan UUD 1945 dilakukan perubahan atas redaksi kalimat yang pada piagam jakarta tertulis; ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di revisi menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dilakukan oleh Drs. Muhamad Hatta atas usul dari A.A. Maramis dengan berkonsultasi dengan Teuku Muhamad Hassan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo (id.wikipedia.org).



Kesepakatan untuk meniadakan kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dengan Kalimat ”Ketuhanan Yang Maha Esa” sepertinya tidak terlepas dari peristiwa bersejarah yang dilakukan oleh para pemuda dari seluruh daerah di tanah air yang bersepakat bersama mengucapkan ”Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928, jauh sebelum perumusan piagam jakarta sudah ada kesepakatan para pemuda untuk terbentuknya negara bangsa. Menurut Harry Tjan Silalahi; negara bangsa Indonesia ini merupakan hasil karya anak bangsa bersama yang kala itu (1928) bersepakat untuk bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu: Indonesia. Pada waktu itu ”Indonesia” belum ada dan sangat disadari adanya pluralisme di antara kelompok-kelompok yang bersepakat (bersumpah) (Johanes Leimena – BPK. Gunung Mulia – 2007).



Sehingga wajar jika ada permintaan dari A.A. Maramis agar perlu kalimat yang harus ditiadakan dengan mengingat semangat sumpah pemuda yang disepakati oleh berbagai komponen kelompok dari berbagai pulau, suku, ras, agama dan berbagai corak kebudayaan, untuk mengusir penjajah yang menjajah bangsa ini. Kemudian hari ketika kemerdekaan telah berhasil diraih, maka keanekaragaman itu harus di pelihara bukan karena kemerdekan sudah di raih maka melupakan sejarah yang telah di lukiskan oleh para pemuda.



Dalam perjalanan kebangsaan riak untuk mengembalikan Pancasila terutama sila ke satu kembali sesuai dengan redaksi piagam jakarta tetap di perjuangkan seperti perjuangan Masyumi dan juga partai Islam lainya seperti PBB (Partai Bulan Bintang) yang memperjuangkan piagam jakarta secara demokratis dan konstitusional untuk di masukannya pasal 29 ayat (1) UUD 1945 sehingga bunyinya menjadi negara berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa dengan kewajiban melaksanakan Syarat Islam bagi pemeluknya” namun kenyataannya komitment keindonesiaan yang berbhineka tunggal ika masih menguat. Hal ini dibuktikan dengan hasil pemilu dimana partai politik ini tidak mendapatkan suara yang mayoritas atau tidak signifikan sehingga dengan demikian sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam masa kekinian masih tetap relevan dan abadi untuk keutuhan NKRI.



Timbul pertanyaan tentang terminologi kata ”esa” memberikan pengertian seperti apa ? karena dalam sila ke satu pancasila yang sepertinya memaksa dan monoteis sepertinya menaifkan keberagaman agama dan aliran kepercayaan yang ada di Indonesia



Pertanyaan ini cukup kritis namun pemahamana keesaan bukan pada pemahaman angka tunggal, tetapi lebih pada makna namun perlu diberikan penghargaan bahwa keberhasilan konsep redaksional kata pada sila pertama pancasila sudah memberikan solusi terbaik bagi keindonesiaan.



Audifax berpendapat bahwa; kata ”Tuhan” adalah sebuah konsep mengenai entitas yang tak terjelaskan. Pengertian konsep itu sendiri tak pernah hanya terdiri dari satu komponen, sebuah konsep selalu merupakan bangunan dari sejumlah komponen. Konsep Tuhan pun demikian, ia tak terdiri dari satu komponen tunggal yang menjelaskan Tuhan sebagai defenisi tunggal namun justru tersusun dari beberapa defenisi yang mungkin bertentangan satu sama lain. Pada awalnya, pluralitas komponen yang menyusun konsep Tuhan inilah mencerminkan kebesaran Tuhan (Spritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer – Jalasutra – 2007).



Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama Pancasila juga tidak di pahami dalam angka tetapi hadir sebagai sebuah konsep untuk mengakomodir berbagai keyakinan yang ada dalam Indonesia dimana setiap masyarakat beragama dapat menyaksikan atau mengekspresikan keimanannya, dan pemaknaan dari sila ini tidak dengan serta merta membatasi pengakuan kepercayaan dari agama lain, tetapi sila ke satu dalam Pancasila lebih mengarahkan pada sebuah pemahaman akan entitas yang sama dalam pemahaman tiap-tiap agama bahwa kebesaran, kemahakuasaan yang di yakini sebagai komponen yang dapat di tafsir sebagai yang kekal atau abadi.



Sehingga bunyi sila ke satu hadir sebagai bentuk meredusir berbagai keberagaman keyakinan dalam teks untuk di tafsir dan ditelah berdasarkan berbagai keyakinan keagamaan karena Tuhan tidak dapat dibatasi dalam teks karena sebenarnya Tuhan adalah entitas yang tak dapat terjelaskan. Pemikiran tekstual yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa kita di dalam ketebatasannya menghadirkan redaksional kata dalam sila pertama Panascila untuk menghargai dan mengakui akan keberagamaan yang ada di tanah air.



Kemudian jika ada pemaksaan untuk memaksaan redaksional kata dalam bentuk pemahaman Tuhan oleh sebahagian atau kelompok tertentu sebenarnya telah meniadakan akan keberadaan Tuhan dan membatasi akan pemahaman Tuhan yang beragam di Indonesia yang telah bersepakat bersama dalam ”sumpah pemuda” untuk membentuk satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa : Indonesia.



* Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP – UI / 0806383314







Selasa, 21 September 2010

"PANCASILA KEMAREN, HARI INI DAN ESOK"

”PANCASILA KEMAREN, HARI INI DAN BESOK”
*Yoyarib Mau

Pancasila hadir dari pergumulan yang panjang ditengah- tengah masyarakat Indonesia yang beragam suku, budaya, bahasa dan agama, keberagamana ini menjadi keunikan tersendiri karena tidak semua negara di muka bumi ini yang mampu menkonsolidasikan keberagaman yang di miliki oleh negara sebagai aset atau kekuatan untuk membangun bangsanya. Indonesia telah mampu dan membuktikan diri sebagai negara kepulauan yang mampu mempersatukan berbagai perbedaan itu sebagai satu identitas bangsa yakni Indonesia.

Indonesia menjadi nation karena mampu menghadirkan Pancasila sebagai dasar negara yang memiliki ”lima sila” dan kelima sila tersebut menjadi dasar dan pedoman dalam berpikir, berkehendak dan bersikap (ideologi). Bahkan Pancasila menjadi ideologi yang cukup tua karena sudah 65 tahun Indonesia merdeka dan sudah terbukti Pancasila mempu membagun keharmonisan hidup bersama di segala aras. Pamcasila tidak hanya sebagai simbol tetapai simbol yang representatif.

Kehadiran Pancasila sejak awal sudah melalui proses perdebatan yang cukup panjang karena ingin menawarkan konsep atau ideologi lain, atau menghendaki adanya penekanan tertentu pada sila tertentu sesuai dengan pertimbangan dan ajaran agama tertentu juga tidak mendapatkan tempat karen sudah melalui pertimbagan – pertimbangan kebragamanan yang ada maka proses panjang oleh ”the founding fathers” menghasilkan ideologi yang cocok dan mengakomodir ciri masyarakat Indonesia yang majemuk atau multikultural hanyalah Pancasila.

Pancasila yang terdiri dari lima sila tersebut sudah merangkumkan berbagai aspek kehidupan masyarakat, sehingga President RI I Ir. Soekarno menyadari bahwa untuk memecahkan persoalan karena perdebatan yang terjadi karena dasar dari republik ini apakah berdasarkan agama tertentu atau harus berdasarkan religiositas pada penduduknya yang beragam. Atas dasar pertimbangan bahwa rakyat Indonesia yang beragam dan banyak corak budaya yang dimiliki maka asas negara yakni pancasila seyogianya ideologi tersebut dapat menjamin semua warga masyarakat sama kedudukannya, sama kewajibannya, dan sama haknya sehingga Ir Soekarno mencetuskan pancasila pada tanggal 01 Juni 1945 ( Franz Magnis Suseno – Berebut Jiwa bangsa – Kompas – 2007)

Proses mengideologisasikan Pancasila tidak berhenti sampai disitu pada era Orde Baru President Soeharto perlu juga Pancasila di tuangkan dalam bentuk yang mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat maka pada tahun 1983 Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) menjadikan Pancasila sebagai asas bagi seluruh organasisai sosial dan Politik, keputusan MPR ini di tuangkan dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) (NU dan Pancasila – LKIS – 2010).

Perjuangan panjang untuk menjadi negara yang pancasilais dilakukan berbagai upaya salah satunya adalah seperti yang dilakukan oleh MPR namun dalam perjalanannya proses menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas di gunakan oleh rezim Soeharto sebagai alat politik karena melakukan pembatasan dan pemahaman akan makna pancasila hanya sebatas Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) padahal proses dunia dalam mencari bentuk pemerintahan yang baik setiap saat mengalami perubahan.

Perubahan yang mendesak dan mendunia yakni pasca runtuhnya rezim-rezim komunis dan sosialis yang walaupun di suatu sisi masih relevan dalam kancah ekonomi tetapi hadirnya gelombang demokrasi membuat pemahaman masyarakat untuk berpikir dan bertindak secara bebas mengalami penekanan dan hambatan dari isi P4 yang di doktrinisasi oleh Soeharto, sehingga tuntutan demokrasi dan akibat krisis ekonomi yang menyebabkan tumbangnya rezim Soeharto menyebabkan P4 dianggap sebagai lawan atau hambatan bagi gelombang demokrasi.

Pasca reformasi 1998 dan kekuasaan di serahkan kepada President BJ Habibie ada kebijakan yang menyambut gelombang demokrasi dengan membukan kran politik bagi setiap organisasi dan partai politik untuk bebas menggunakan asas dn penghapusan pancasila sebagai satu-satunya asas menyebabkan distorsi ideology bernegara bagi Indonesia. Azyumardi Azra dalam menanggapi kondisi penghapusan satu-satunya asas, menurutnya penghapusan ini memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain, khusunya yang berbasiskan agama (religious-based ideology). Pancasila tidak lagi menjadi “common platform” dalam kehidupan masyarakat (Analisis CSIS – Maret 2005).

Akibat kebijakan ini maka perjuangan dan manufer untuk menerapkan ideologi yang berbasiskan agama kembali hidup dan menggangu akan keberadaan pancasila, dengan demikian, bagaimana upaya yang harus dilakukan agar mempertahankan Pancasila sebagai ideologi bangsa ?

Pengalihan kekuasaan dari rezim orde baru ke rezim reformasi harus diakui tidak melalui persiapan konsep dan arah yang jelas tanpa memikirkan sejarah, mungkin saja kaum reformis waktu itu sangat kehilangan arah pemikiran dan menantikan sesuatu yang baru atau saja di racuni oleh pemikiran Francis Fukuyama “the end of history” bahwa semua idologi yang lama telah berakhir dan kaum reformis menginginkan gelombang demokrasi sebagai sesuatu yang baru langsung menjadi bahan santapan rakyat Indonesia.

Model pelahapan kaum reformis tidak memikirkan bagaimana sejarah bangsa ini berdiri, bukan berarti menolak gelombang demokrasi tetapi bukan membiarkan gelombang demokrasi itu menghilangkan sejarah dan identitas bangsa ini.

Dauglas Ramage pernah menuliskan dua pernyataan Gus Dur atau Abdurahman Wahid yaitu; Pertama; Tanpa Pancasila, negara RI tidak akan pernah ada. Kedua; Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari (Einar Martahan Sitompul – Nu & Pancasila – LKIS) Pernyataan ini membuat Gus Dur menaruh komitment akan kebaragaman bangsa ini sehingga perjuangan gerakan sektarian dan fundamentalis di era globalisasi yang semakin kuat dan mengental sering menganggu akan ideologi Pancasila yang sejatinya memberikan makna religiositas bagi semua umat dan tidak memihak pada umat atau sekolompok orang.

Pancasila memberikan penafsiran atau interpretasi lebih jauh bagi Agama untuk melakukan tanggung jawab keagamaan dalam doktrin agama masing-masing, tanpa melakukan pembatasan terhadap agama tertentu. Pancasila menjadi tidak pancasilais apabila dipahami secara tunggal saja berdasarkan agama tertentu. Republik Indonesia ini ada karena ideolog Pancasila, jika meniadakan Pancasila maka bukan lagi Republik Indonesia.

Menjadi Republik Indonesia merupakan hasil perjuangan yang cukup berat dari berbagai komunitas yang beragam sehingga para pendiri bangsa melakukan perundingan menegangkan namun mampu menghasilkan kompromi yang disepakati bersama demi keindonesiaan yang utuh. Franz Magnis menegaskan bahwa Kompromis justru tercapai dalam perumusan berupa Formelkompromis yang dalam filsafat politik sebagai salah satu sarana terpenting agar pihak-pihak dengan pandangan berbeda dan dapat bekerjasama dengan menyepakati sebuah rumusan dan pihak-pihak yang bersangkutan merasa bahwa keyakinan hakiki mereka masing-masing terjamin (Berebut Jiwa Bangsa – Kompas – 2007)

Pancasila sebagai asas negara yang menjamin seluruh komponen bangsa, dan merupakan warisan sejarah yang perlu dilestarikan maka jika ada kekuatan ideologi lain yang merong-rong Pancasila seperti “religious-based ideology” tertentu. Dimana tidak mengakui akan keberadaan komunitas atau agama lain dengan melakukan kekerasan terhadap agama lain yang sedang melakukan interpretasi dari salah satu sila dari Pancasila yakni sila kesatu, tetapi mengalami hambatan bahkan pelarangan maka setidaknya hasil kesepakatan yang “formelkompromistis” disangkal dan dikhianati.

Pancasila harus dipertahankan sebagai perekat dan pemersatu bangsa dalam era globalisasi yang tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu sehingga mewacanakan Pancasila sebagai bukti sejarah yang perlu dilestarikan, Pancasila tidak boleh berakhir harus terus-menerus didengungkan bukan hanya dalam bentuk seremonial pembacaan teks proklamasi dalam setiap upacara bendera, tetapi harus dijadikan asas yang kokoh dalam setiap aspek kehidupan, setiap kebijakan konstitusi setiap hasil kesepakatan harus melalui diskursus atau pertimbangan apakah kebijakan atau keputusan tersebut mencerminkan prinsip-prinsip pancasila atau tidak, jadikan sebagai habitus untuk mengukur sejauhmana nilai-nilai pancasila menjadi karakter dari anak bangsa yang mencintai dan memiliki komitment keindonesiaan.

*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI

Sabtu, 18 September 2010

"LUNTURNYA RASA KEWARGANEGARAAN"

“LUNTURNYA RASA KEWARGANEGARAAN”
*Yoyarib Mau


Membahas topik atau judul diatas merupakan pembahasan yang sudah dibahas kemaren, hari ini sedang dibahas dan besok atau lusa akan tetap dibahas sepanjang adanya kehendak untuk NKRI tetap kokoh berdiri, pembahasan topik ini tidak akan ada atau berakhir apabila adaanya kehendak agar NKRI runtuh atau sepakat untuk membubarkan atau melebur diri, tetapi apabila komitment dan integritas dari adanya tiga unsur yang membentuk negara yakni ; rakyat, wilayah dan pemerintahaan maka NKRI harga mati.

Tiga unsur adanya Negara menurut Johanes Leimena, Negara adalah Persekutuan (gemeenscahap) dari orang-orang yang hidup dalam satu daerah (territorium); Daerah ini mempunyai penduduk yang sebagaian terbesar hidup sebagai bangsa; Persekutuan orang-orang ini mempunyai pemerintah. Pemerintah ini mempunyai kekuasaan (macht) dan kewibawaan (gezag) dan mempunyai alat-alat kekuasaan (machtsorganen) (Dr. Johanes Leimena – BPK Gunung Mulia – 2007). Persekutuan orang-orang ada dalam komunitas - komunitas yang merasa senasib dan bersepakat untuk membentuk sebuah aliansi atau organisasi yang memiliki tujuan yang sama dan mendapatkan pengakuan dari orang lain maka dapat disebut sebagai sebuah negara.

Pemikiran lain yakni, Etienne Balibar menuliskan bahwa; setiap komunitas yang dihasilkan kembali (reproduksi) oleh berfungsinya suatu lembaga adalah komunitas imajiner, maksudnya komunitas tersebut didasarkan pada proyeksi eksistensi individu ke dalam jalinan narasi kolektif, atas pengakuan terhadap suatu nama atau sebutan, dan tradisi-tradisi yang dijalani sebagai jejak masa lalu (sekalipun tradisi-tradisi tersebut direkayasa dan ditanamkan pada masa yang baru lalu), dalam kasus pembentukan bangsa, komunitas imajiner yang mewujudkan diri dalam kenyataan adalah komunitas ‘rakyat’, yaitu komunitas yang merealisasikan diri sebelum pelembagaan negara, yang mengakui bahwa negara adalah milik dirinya sendiri (Diponegoro 74 – Jurnal Pemikiran Sosial Politik, Demokrasi dan HAM, Oktober-Desember 2004).

Pemikiran Etienne Balibar menunjukan bagaimana Indonesia menjadi NKRI itupun terbentuk dari komunitas-komunitas imajiner yang berproses dan mendeklarasikan diri menjadi sebuah negara, yang dalam pasang surut perjuangannya untuk membentuk diri menjadi sebuah negara kesatuan, komunitas yang membentuk diri berasal dari berbagai suku bangsa yang terbentang luas di Nusantara. Setiap mereka yang kala itu bersepakat dan terikat dalam negara yang terbentuk maka ada hak dan kewajiban yang harus di patuhi, maju mundurnya pembangunan negara tersebut bergantung pada perwujudan hak dan kewajiban orang atau individu yang merupakan bagian dari negara.

Maju mundurnya pembangunan negara jika menjadi beban rakyat maka dibutuhkan instrument yang mampu membentuk karakter rakyat guna turut bertanggung jawab membangun negaranya karena itu pendidikan kewiraan atau kewarganegaraan sangat dibutuhkan sebagai doktrin bagi rakyat untuk pembentukan karakter kecintaan terhadap negara.

Kewiraan merupakan doktrin guna pembentukan karakter maka sebenarnya bukanlah sebuah pengetahuan karena jika mengkategorikan pendidikan kewiraan masuk dalam pengetahuan ilmiah maka harus memenuhi syarat-syarat keilmuan seperti memiliki sifat-sifat keilmuan, bersistem dan bermetode. Sedangkan kewiraan sebenarnaya sebuah pemahaman yang disusun berdasarkan pemahaman keilmuan yang setengah dipaksakan bagi rakyat atau anak bangsa untuk membangun pemahaman hak dan kewajiban sebagai bagian dari negara.

Kewiraan merupakan kebutuhan yang fundamental bagi setiap warga negara karena kewiraan atau kewarganegaraan tidak hanya menyangkut hak dan kewajiban tetapi lebih dari pada dua hal itu yakni bagaimana warga negara mengaktualisasikan diri tetapi bagaimana setiap warga negara mengejewantahkan diri dalam masyarakat atau negara dengan memberikan perhatian atau sumbangsih pemikiran sehingga semua warga negara yang ada dapat menikmati kesejahteraan tanpa ada kesenjangan kehidupan, atau hidup di bawah ancaman atau tekanan dari luar maupun dalan negara sendiri.

Pendidikan Kewiraan sebanarnya memiliki dua tema besar yakni ”ketahanan nasional dan wawasan nusantara” (necel.wordpress.com), dua hal ini menjadi penekanan yakni Ketahanan Nasional bertujuan untuk membentuk keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, tantangan dan hambatan dan gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam negeri demi menjamin kelangsungan hidup dan mengembangkan kehidupan nasional bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasional. Wawasan Nusantara yakni cara pandang bangsa Indonesia tentang dirinya berdasarkan pancasila dan UUD 1945 dengan memperhatikan sejarah dan budaya serta dengan memanfaatkan kondisi serta konstelasi geografis dalam upaya mewujudkan aspirasi bangsa dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasional (Perilaku Politik Organisasi Keagamanan dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Nasional – necel.wordpress.com)

Ketahanan Nasional lebih pada membangun kekuatan nasional dalam menghadapi ancaman, tantangan dan hambatan yang dapat mengancam integrasi bangsa, ancaman tersebut bisa dari luar dan dari dalam negara sendiri, sedangkan Wawasan Nusantara yakni bagaimana melihat diri Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan melihat sejarah, budaya, dan letak geografis negara ini yang beragam dari Sabang sampai Merauke - dari Miangas sampai Rote disana beranekaragam budaya, agama, suku, bahasa namun menjadi satu dalam NKRI sehingga pendidikan kewiraan diharapkan mampu membentuk karakter manusia Indonesia sehingga dalam melakukan pembangunan dalam segala aspek selalu dilmahami oleh ketahanan nasional dan wawasan nusantara.

Pembangunan yang dilakukan insan Indonesia dalam profesi dan karya dan kehidupan kesehariannya diharapkan mencerminkan ketahanan nasional di mana tidak memecah belah kesatuan bangsa dan pembangunan itu juga harus berkontribusi dalam mempertahankan NKRI dari ancaman dari luar negara, dan berwawasan nasional yakni menghargai sejarah perjuangan bangsa ini, budaya yang beragama sehingga pembangunan itu memenuhi tujuan nasional yakni terciptanya kesejaheraan yang adil dan makmur.

Indonesia hari ini dalam konteks dan realitas menghadirkan pertanyaan besar bahwa, Apakah pembangunan nasional fisik dan non fisik masih di ilhami oleh pendidikan kewiraan atau kewarganegaraan itu ? sepertinya kondisi dan realitas hari ini memberikan jawaban yang pesimis akan pengaruh dari pendidikan kewiraan atau kewarganegaraan itu sendiri. Pembangunan fisik hanya berpusat di Ibu kota negara dan beberapa kota besar, dan mengabaikan daerah yang berbatasan sehingga di caplok oleh negara lain seperti Sipadan dan Ligitan di kuasai Malaysia, Pulau Pasir yang merupakan tempat persinggahan nelayan NTT dimana adanya bukti kuburan-kuburan nenek Moyang para nelayan NTT tetapi kini di kuasai Australia.

Tanggung jawab warga negara sangat besar demi keutuhan negara sehingga menurut Will Kymlicka dan Wayne Norman yang mengulas tentang Teori Kewarganegaraan menawarkan pemahaman bahwa kewarganegaraan merupakan bentuk turunan dari “demokrasi dan keadilan” artinya warga negara adalah seseorang yang memiliki hak-hak demokratis dan klaim atas keadilan (Kewarganegaraan Demokratis – Ledalero – 2009).

Sesuatu dianggap sebagai Ancaman atau ganguan dari luar apabila melanggar atau mengabaikan hak-hak demokratis dan klaim atas keadilan dimana warga negara merasa kedua usnur tersebut tidak ada, kelihatannya nilai ketahanan nasional dalam diri warga negara Indonesia cukup kuat hal ini dapat dibuktikan dengan insiden tanggal 13 Agustus 2010 (penangkapan tiga petugas patroli laut Indonesia hampir seluruh komponen bangsa menyuarakan “ganyang Malaysia” atau melakukan konfrontasi fisik (senjata) dengan Malaysia. Namun masalah ini dapat diselesaikan karena masalah bilateral antara Indonesia dan Malaysia serta peran organisasi regional seperti ASEAN dan juga organisasi lainnya, ancaman terhadap negara tidak akan sampai meleburkan NKRI namun lebih pada pertimbangan harkat dan martabat bangsa.

Ganguan atau ancaman terbesar yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan hancur atau leburnya negara apabila ancaman atau ganguan itu datang dari dalam negara itu sendiri, apalagi latar belakang NKRI terbentuk dari keanekaragamaan atau kebhinekaan atau multikuluralisme dan ini merupakan budaya dan realitas yang tidak dapat di pungkiri, dan tidak ada budaya yang tunggal yang mendominasi karena NKRI terbentuk dari berbagai budaya yang bersepakat bersama untuk menyatukan diri. Sehingga pembangunan non- fisik yang diharapkan untuk mampu menjawab tujuan nasional yakni terciptanya kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur dapat terwujud.
Pembangunan non – fisik yakni pembangunan sosial budaya yang membentuk akhlak dan moral yakni dilakukan melalu peran keagamaan dimana di jamin dalam UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara yang menjamin akan kehidupan keagamaan. Kenyataannya masih ada pembatasan kegiatan keagamaan bagi kelompok agama atau kegiatan keagamaan tertentu, seperti rencana pembubaran Ahmadiah oleh Menteri Agama Suryadarma Ali dengan salah satu alasan bahwa hal ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap pokok ajaran Islam (Majalah Tempo Edisi 13-19 September 2010). Pelarangan beribadah bagi Jemaat HKBP Pondok Indah Timur di Bekasi dan pencabutan IMB (Ijin Membangun Bangunan) rumah ibadah, dan masih banyak model dan cara pembatasan beribadah yang semakin hari semakin meluas baik yang dilakukan secara fisik (kekerasan) bahkan secara non-fisik (kebijakan) yang diramu dalam aturan hukum tertentu seperti PERDA (Peraturan Daerah), apakah karena era otonomi daerah sehingga mengesampingkan pendidikan kewiraan yang lebih menekankan ketahanan nasional dan wawasan nusantara saja.

Merosotnya nilai ketahanan nasional dan wawasan nusantara menyebabkan warga negara terfragmentasi dalam kelompok-kelompok yang membelah diri untuk membela dan mempertahankan keyakinan keagamaan masing-masing serta mengabaikan akan sejarah berdirinya bangsa ini yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama dari berbagai keberagaman, hal ini dapat menyebabkan ancaman dan ganguan bagi keutuhan NKRI.

Peranan Pendidikan Kewiraan sangat dibutuhkan karena dapat mewujudkan demokrasi yang substansial dimana keberadaaan negara yang dibentuk dari, oleh dan untuk rakyat oleh semua elemen yang multicultural, sejatinya diberi kesempatan dan kebebasan turut berpartisipasi dalam negara, serta mendapatkan keadilan yang seadiladilnya yakni kesempatan bersama untuk menikmati dan berperan aktif dalam membangun negara.

Pendidikan Kewiraan sangat dibutuhkan oleh para trias politik (ekskutif, legislative dan yudikatif) dimana dalam menjalankan semangat otonomi daerah sepertinya ada kebebasan yang seluasnya untuk menjalankannya sesuai corak dan budaya daerahnya sehingga produk-produk hukum sebagai instrument untuk menjalankan pemerintahan seperti-nya membatasi atau mengekang bahkan tidak mengakui akan keberagamaan yang ada.
Produk Hukum yang dihasilkan dari euphoria reformasi dan penerapan pemerintahan otonomi daerah yang berbasiskan desentralisasi, produk hukum seperti Perda bahkan SKB dua menteri yakni Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, SK Gub atau SK Walikota/Bupati sepertinya meniadakan demokrasi dan keadilan sebagi “ruh” dari kewarganegaraan menjadi punah. Padahal ada aturan tidak formal bagi pejabat publik untuk mengkuti pendidikan khusus LEMHANAS dimana pendidikan kewiraan atau kewarganegaraan menjadi syarat mutlak dalam pendidikan di lembaga ini.

Pendidikan Kewiraan bukan hanya bagi pejabat publik melalui Lemhanas tetapi lebih luas, hal ini diharuskan bagi setiap warga negara yang bertujuan untuk membentuk “caracter building” bagi warga negara sehingga berperan sebagai “civil society” untuk melakukan evaluasi control akan setiap kebijakan publik yang dihasilkan tidak mencerminkan ruh dari kewiraan yakni; ketahanan nasional yakni kebijakan itu menimbulkan ancaman atau ganguan bagi terpecahnya NKRI, serta wawasan nusantara dimana kebijakan tersebut tidak memperhatikan sejarah dan budaya dan konstelasi geografi nusantara yang membentuk NKRI yang beragam maka warga negara tersebut berhak melakukan protes bahkan “class action” karena kebijakan tersebut menimbulkan ancaman atau gangguan bagi keutuhan NKRI….

*Penulis Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

Senin, 13 September 2010

"TUMPULNYA INDRA SBY"

“TUMPULNYA INDRA SBY”
(Sebuah Kritik Kepemimpinan)
*Yoyarib Mau

Pemimpin yang baik akan peka dan cekatan dalam memahami dan tanggap dalam menanggapi segala persoalan yang terjadi atas masyarakat, orang atau rakyat yang dipimpinnya tanpa harus memihak dan memilah, apabila lemah dan lamban hal itu disebabkan oleh organ tubuh yang tidak sehat, rusak atau tidak berfungsinya indra tubuh secara optimal.

Padahal salah satu syarat yang cukup ketat seseorang diajukan menjadi pemimpin adalah sehat jasmani dan rohani, hal ini merupakan salah satu syarat yang telah dipenuhi oleh pasangan SBY-Boediono sehingga layak untuk turut serta dalam pemilu president tahun 2009 dan terpilih sebagai pemenang dalam pemilu tersebut dengan presentasi yang cukup signifikan.

Pada pemilu president 2004 karena gangguan kesehatan maka Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang ingin turut serta sebagai salah satu kontestan dengan mengandeng Marwah Daud Ibrahim sebagai pasangannya gagal karena dianggap tidak memenuhi syarat kesehatan. Syarat kesehatan rohani dan jasmani merupakan hal yang mutlak karena diatur dalam UU Pemilu President, hal ini diperuntukan bagi ke-efektifan dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya yakni mengamati kondisi aktual yang meresahkan atau menyenangkan, serta dapat menyaksikan realitas ideal dan yang tidak ideal dalam masyarakat.

Mengawali kepemimpinannya, SBY pada periode Kabinet Indonesia Bersatu I (KIB I) karena keterbatasan dirinya untuk mengamati kondisi dan realitas di seluruh pelosok tanah air maka dibuatlah Po Box 9949 untuk menghimpun pengaduan masyarakat masyarakat, dimana angka 9949 merupakan angka tanggal, bulan dan tahun kelahiran sang empunya Po Box dan tidak hanya itu tetapi ada cara lain lagi yakni nomor SMS pengadua, tidak cukup hanya alat teknologi terkini yang di gunakan bahkan pembentukan sejumlah lembaga pendukung sepeti Satgas, Staf Khusus Kepresidenan, bahkan Dewan Penasihat President namun semuanya itu hanya berjalan di tempat hanyalah euforia awal kepemimpinan yang ingin mendengarkan dan merespon apa yang diinginkan rakyat. Sepertinya setiap keluhan tidak di baca oleh SBY tetapi di jawab oleh tim kerja yang di bentuk sebagai operator dari mesin penjawab dengan jawaban yang standard dan terpola guna memberikan harapan bagi rakyat.

Apabila ada isu atau realitas yang menyedot energi karena pro dan kontra dalam masyarakat maka SBY akan berkomentar seperti terakhir kasus video mesum Ariel – Luna Maya dan Ariel – Cut Tari, president menyempatkan waktu untuk berkomentar. sedangkan penantian publik bagaimana sikap SBY menanggapi insiden 13 Agustus 2010 tentang masalah perbatasan, banyak yang kecewa ditambah dengan pidato SBY pada 01 – September 2010 yang memposisikan Indonesia pada posisi tawar di bawah Malaysia hanya karena alasan banyaknya TKI di Malaysia dan besarnya investasi Malaysia di Indonesia. Pidato ini sepertinya hanyalah jalan kompromi sedangkan yang dibutuhkan rakyat adalah sikap tegas dalam bentuk kebijakan politik luar negeri, sikap ini membuat banyak kalangan kecewa, muak dan berani melawan arus yakni Kolonel (Pnb) Adjie Suradji yang membuat opni (Kompas 6/9/2010) mengkritisi kebijakan SBY.

Kasus Malaysia yang nyata-nyata mengancam harga diri dan kedaulatan bangsa SBY melunak sedangkan isu yang dicuatkan di AS (Amerika Serikat) oleh Pastor Terry Jones yang berencana ingin membakar Al Quran sebagai peringatan sembilan tahun serangan teroris di menara WTC SBY meledak dan langsung mengutuk, bahkan melakukan pidato kenegaraan pada malam takbiran (09/09/2010) dengan menghadirkan sejumlah petinggi Agama di negeri ini
Daya tanggap dan proses indrawi SBY kelihatannya seperti gelombang kadang meninggi terkadang melemah bahkan terkadang sepertinya tidak ada riak gelombang, seperti dalam pidato kenegaraan jelang perayaan HUT RI ke - 65 Tahun, tidak menyinggung tentang kehidupan keberagamaan di Indonesia padahal dua hari sebelumnya (Minggu 15/08/2010) dilakukan demonstrasi menuntut hak sebagai warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 dengan melakukan kebaktian bersama di depan Istana terkait kekerasan yang dilakukan terhadap umat Kristiani saat beribadat di HKBP Pondok Timur Indah - Bekasi.

Kekerasan kembali terulang yang menimpa pimpinan umat dari gereja yang sama yakni Pdt. Luspida Simanjuntak yang akan menjalankan tugas keagamaan (ibadah minggu) ditempat yang sama (Minggu 12/09/2010) dihadang dan mengalami penganiayaan bersama dengan ”Sintua” Sihombing (diaken), namun aparat kepolisian mengatakan bahwa hal ini adalah kriminal murni, padahal jika melihat runtutan peristiwa maka ada keterkaitan dan korelasi dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya namun sayangnya SBY tetap diam dan membisu.

Kebisuan SBY menghadirkan tanya, masih layak kah SBY sebagai president apabila dirinya sedang mengalami gangguan indrawi ? padahal masalah keagamaan menjadi masalah yang sensitif dan seharusnya menjadi perhatian President dalam membangun NKRI yang pluralitas.

Andrias Harefa yang di kenal sebagai ”manusia pembelajar” menulis bahwa ”seorang pemimpin ibarat pemimpin orkestra yang memulai pertunjukan dengan memberi aba-aba kepada kelompok pemusik yang satu, lalu mengundang kelompok pemusik yang lainnya,dan seterusnya, sampai sebuah simfoni yang indah bergema menjangkau audiens yang menonton pertunjukannya” (Mengasah Indra Pemimpin – 2003).

Proses menanggapi hal yang aktual dan potensial seyogianya harus di perhatikan oleh SBY sebagai ”pemegang amanah” rakyat yang dimana amanah itu di berikan oleh rakyat yang terdiri dari berbagai etnies, agama, suku dan bahasa, sehingga di harapkan kemampuan indrawi SBY untuk mampu menyikapi persoalan yang terjdai tanpa harus memilah, sebagai pemimpin harus mampu mengelola dan menangani setiap permasalahan dengan cermat dan tanpa membedakan. Kelihatannya SBY sibuk memoles diri untuk tampil di depaan publik bahkan lebih cekatan peduli dengan persoalan Internasional dari pada mengurus ”perut nasi” yang ada dalam negara sendiri.

Apabila SBY ingin mendapatkan pemujaan sebagai pemimpin dunia maka SBY harus mampu mengelola kelompok – kelompok, komunitas – komunitas yang beragam dalam negara ini, jika tidaka maka SBY akan di ibaratkan penganut pepatah kuno, ”semut di seberang lautan kelihatan tapi gajah di pelupuk mata tidak terlihat”, kelompok orkestra yang beragam alat musiknya dan suara paduan suara yang melantunkan simfoni yang indah sehingga bergema indah di dunia Internasional sehingga ketika SBY memberikan tekanan atau pernyataan bagi negara lain didengar mendapatkan pengakuan Internasianal serta mendapatkan tepuk tangan bahkan dimungkinkan untuk meraih Nobel Perdamaian

Peristiwa aktual yang tejadi pada kehidupan beragama di tanah air terutama terkait kasus di HKBP Pondok Timur Indah Bekasi sebagai proses penajamaan indrawi SBY yang mulai tumpul karena hanya sibuk mengurus pencitraan diri, bekerjanya indra President apabila di kritik apalagi jika kritikan itu merujuk pada dirinya, sepertinya kritik dapat dijadikan sebagai mesin pemanas bagi dirinya.

Pejabat publik seyogianya mengaudit dirinya sejauhmana pelayanan yang merata dan adil kepada seluruh rakyat tanpa harus membedakan tetapi bersedia melihat, mendengarkan, mencium, meraba/membelai dan merasakan apa yang dialami oleh rakyat, bukan menunggu jatuhnya korban baru berespon, seandainya jika diri peka dan mengoptimalkan indranya dengan tidak membiasakan sikap bisu dan diam sebagai gaya hidup maka rasa empati yang dihadirkan oleh proses indrawi manusia menelurkan ide dan keberanian dalam bersikap serta dalam kebijakan, sehingga akan meminimalisir korban dan terciptanya pluralitas yang harmonis.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI