Selasa, 23 November 2010

"LOGIKA TERBALIK HUKUM DI INDONESIA"

“LOGIKA TERBALIK HUKUM DI INDONESIA”
*Yoyarib Mau

Setiap Warga Negara Indonesia sebenarnya memiliki kesamaan yang sama didepan hukum, tanpa adanya pembedaan karena memiliki hak yang sama, dan juga memiliki kewajiaban yang sama tanpa adanya pembedaan. Warga Negara memiliki kesempatan untuk menikmati hak namun juga di tuntut untuk melakukan kewajibannya.

Negara Indonesia adalah negara hukum dimana hokum menjadi ujung tombak dalam menjalankan sebuah pemerintahan atau yang sering di kenal dengan istilah “rule of law”, hukum ada untuk mengatur warga negara agar tidak liar, sebagaimana pemikiran Hobbes “homo homini lupus” manusia adalah serigala untuk manusia lainnya, keadaan alamiah masyarakat ini sepertinya belum ada hukum normal yang mengatur manusia karena manusia masih hidup alamiah siapa yang kuat dia yang akan berkuasa.

Kondisi alamiah ini tidak bisa di biarkan terus berlanjut karena akan memunahkan manusia lain kondisi ini yang kemudian adanya contrac social yang dihadirkan oleh Hobbes dimana kelompok – kelompok manusia bersepakat untuk membentuk “institusi” dimana menyerahkan sebagian hak mereka kepada penguasa untuk menjalankan institusi tersebut. Institusi yang kemudian hari disebut negara.

Sehingga memiliki legalitas untuk mengatur kehidupan bersama berdasarkan elemen hukum dimana adanya unsur kesetaraan, idealnya hukum memberikan perlakuan yang sama bagi semua warga negara guna memenuhi perasaan keadilan yang dibutuhkan oleh warga negara.

Hak warga negara mendapatkan perlindungan hukum; berhak atas pekerjaaan dan penghidupan yang layak; memiliki kedudukan yang sama di mata hukum; bebas memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-maning; berhak memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; wajib mempertahankan NKRI dari serangan musuh; serta memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk berkumpul dan berserikat serta mengeluarkan pendapat.

Hak – hak yang disebutkan diatas hampir kesemuanya tercantum dalam UUD 1945 dan juga dalam sejumlah UU lainnya, namun warga negara saja tidak hanya diberikan hak tetapi warga negara juga dituntut untuk melakukan kewajiabannya sejumlah kewajiban yang harus dijalankan oleh seorang warga negara yakni memiliki kewajiban membela dan mempertahankan kedaulatan negara, membayar pajak dan retribusi di tingkat daerah dan pusat, menjunjung tinggi dasar negara, hukum serta berkewajiban tunduk dan taat dan patuh terhadap segala macam peraturan yang berlaku di negara ini.

Presiden dalam sambutan pelantikannya salah satu aspek yang menjadi prioritas dalam menjalankan pemerintahan sejak Periode SBY- JK kemudian periode kedua SBY – Boediono komitmentnya untuk melakukan “supremasi hukum” sangat kuat hal ini untuk menghadirkan rasa keadilan bagi warga negara serta memperlakukan semua warga negara sama di mata hukum. Komitment ini tidak hanya janji pepesan belaka tetapi SBY mewujudkannya dengan membentuk lembaga – lembaga yang lain walaupun sudah ada kementrian Hukum dan HAM, ada Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian, MK, MA, KPK, tetapi kenyataannya hukum tidak dapat di tegakan sehingga SBY harus membentuk lagi lembaga hukum yang namanya SATGAS (Satuan Tugas) Pemberantasan Mafia Hukum yang dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto.

Begitu banyaknya lembaga hukum di tanah air ini tetapi mengapa hukum di Indonesia masih mengalami kepincangan atau berat sebelah ? Banyak permasalahan hukum di tanah air yang tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat proses hukum dan sanksi hukum tidak berlaku sama bagi semua warga ada perlakuan khusus. Hans Kelsen menungkapkan bahwa suatu badan hukum adalah sekelompok orang yang oleh hukum diperlakukan sebagai suatu kesatuan, yaitu sebagai suatu pribadi (person) yang mempunyai hak dan kewajiban (Miriam Budiardjo – Gramedia – 2008).

Tugas badan hukum yakni bagaimana menjamin agar setiap pribadi dapat menikmati hak dan menjalankan kewajiabannya. Sebagaimana kondisi bangsa saat ini banyak orang yang melakukan kewajibannya tetapi tidak menikmati haknya. Semua rakyat diharapkan agar mendapatkan perlakuan yang sama dimata hukum kenyataannya yang menjalani hukuman penjara atau yang menjalankan hukum hanyalah rakyat jelata yang hanya bisa menerima putusan pengadilan.

Hukum yang Elastis

Badan hukum yang diharapkan berperan untuk menumbuhkan rasa keadilan malah membuat hukum menjadi elastis`di tangan para penegak hukum, hukumana hanya berlaku bagi mereka yang tidak memiliki akses politik maupun yang tidak sanggup menyuap atau membayar, Kasus cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Miranda Gultom yang melibatkan istri seorang anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera yang konon katanya partai bersih termasuk bersih dari korupsi hanya dengan alasan sakit lupa ingatan dirinya bebas dari jeratan hukum.

Panda Nababan yang sudah terbukti terlibat masih saja melakukan pengaduan terhadap hakim konstitusi untuk mengulur waktu dan membuat kasus ini menguap, mengulur perkara dengan melakukan gugatan balik merupakan sebagaimana juga kasus korupsi yang melibatkan Yusril Ihza Mahendra melakukan uji materil ke MK untuk memperlambat bahkan mencari kelemahan kajian hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum, padahal sudah status tersangka tetapi tidak di tahan di rumah tahanan.

Kasus bank century yang menggemparkan karena menghabiskan uang negara sebesar 6,7 triliun namun menguap begitu saja, karena diduga melibatkan penguasa sehingga hanya negosiasi politik dan kasus ini menguap begitu saja tanpa ada yang terjerat hukum, namun anehnya salah satu Politisi yang bersuara lantang saat penyelesaian kasus century di DPR dari Partai Keadlian Sejahtera yang getol dalam tim Sembilan (9) dalam mengajukan hak angket Bank Century di DPR, untuk menyelesaikan kasus ini malah harus menerima pil pahit yakni vonis penjara satu (1)tahun penjara kareana dituduh memalsukan dokumen L/C saat menjadi Komisaris PT Selalang, malah yang memakai uang senilai 6.7 triliun tidak dapat mempertangngunjawabkannya malah negosiasi politik yang terjadi dimana Sri Mulyani yang harus menerima resiko tesebut dengan melepaskan jabatan menteri.

Kasus mafia pajak dalam Gayus Tambunan yang melibatkan jaksa Cirus Sinaga, Cirus Sinaga disangka menghilankgan pasal korupsi kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan, Gayus terbukti korupsi tetapi Cirus Sinaga hanya di copot dan menerima sanksi administrative tetapi tidak ditahan sebagai tersangka melakukan pelanggaran hukum sebagi sanksi hokum, namun hendak dicalonkan menjadi Jaksa Agung menggantikan Hendarman Supanji.

Pengecualian Hukum

Gayus Halomoan Tambunan yang ditahan Rutan Brimob Kelapa Dua tetapi malah mendapatkan kesempatan meninggalkan rutan untuk menonton commonwealth bank tournament of champions di Bali. Alasan Gayus ke Bali hanya karena ingin menyaksikan petenis idolanya Maria Sharapova petenis cantik asal Rusia. Proses dan sanksi hokum sedang dijalani tetapi para penegak hukum dapat ditundukan dengan kekuasaan uang dan jaringan politik yang dimiliki Gayus.

Mereka yang terlibat dalam pemberian keleluaasan bagi seorang tahanan untuk pergi adalah sebuah pelanggaran hukum yang di lakukan oleh Kepala Rumah Tahanan Iwan Siswanto dan anak buahnya hanya di berkan sanksi padahal hal ini sudah termasuk persekongkolan dan menerima suap hal ini juga telah melakukan pelanggran hukum dan sudah seharusnya ditahan sebagai tersangka dan bukan hanya diberi sanksi administrasi agar mewujudakn prinsip kesamaan di depan hukum.

Kasus sudah di tahan sebagai mafia kasus pajak tetapi obyek pajak yang memakai Gayus sebagai Klien untuk memanipulasi data pajak, hingga hari ini tidak diusut. Energy terkuras untuk penyelesaian kasus Gayus saja, padahal perusahaan yang memakai atau memanfaatkan Gayus pun tidak dibiarkan karena maslah ini memiliki sebab akibat.

Bukan karena perusahaan yang di bantu Gayus milik para konglomerat yang memiliki sumber-sumber kekuasaan dan menguasai penguasa sehingga tidak diproses ke meja hijau, ketegasan hukum yakni harus diselesaikan secara komprehensif antara pemberi dan penerima, karena penegakan sanksi hukum tidak hanya berlaku bagi mereka yang kedapatan atau terbukti. Hukum juga seharusnya menyentuh mereka yang turut berkontribusi, memfasilitasi, bahkan memuluskan niat busuk pelaku sehingga dapat membrikan efek jera bagi semua pihak.

Hukum sepertinya hanay berlaku bagi sipil tetapi tidak berlaku bagi mereka yang berpakian aparat penegak hukum. Para penegak hukum yang didaulat untuk menegakan hukum tidak saja melakukan haknya sebagai penegak hukum tetapi bukan berarti kebal hukum bahkan tidak tersentuh hukum hanya karena dirinya sebagai alat negara untuk menjatuhkan vonis hukum, padahal penegak hukumpun seyogianya memiliki kewajiban yang sama untuk menjungjung hukum tanpa pengecualian.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP – UI

Selasa, 16 November 2010

"GELAR PAHLAWAN BUKAN SEKEDAR NAMA BESAR"

“GELAR PAHLAWAN BUKAN SEKEDAR NAMA BESAR”
*Yoyarib Mau

Jangan sekali-kali melupakan Sejarah, ungkapan ini merupakan penggalan kata yang sering di utarakan oleh Soekarno, Presiden Republik Indonesia I dalam kesempatan-kesempatan orasinya, yang kemudian di frasekan dengan kependekan kata “Jasmerah” ungkapan inilah yang membuat perjalanan bangsa selalu menghargai para pendahulu bangsa dengan memberikan gelar sebagai pahlwan, Indonesia tercatat sebagai negara yang mampu dan memiliki perbedaan dengan sebagain negara di dunia dalam pemberian gelar kepahlawanan.

Pemberian gelar sebagai pahlawan merupakan hak pemerintahan yang berkuasa untuk memberikan gelar kepahlawanan bagi tokoh nasional yang telah berjasa bagi bangsa dan negara, untuk memenuhi syarat berjasa atau tidak, bukanlah hal mudah untuk mensahkan seseorang yang telah berjasa mendapatkan anugerah sebagai pahlawan.

Melalui tahapan-tahapan yang disyaratkan untuk dapat diajukan sebagai seorang pahlwanan yang kemudian di seleksi oleh kementrian sosial dan kemudian di gelar itu dikukuhkan oleh President sebagai kepala negara. Pemberian gelar kepahlawanan datang dari masyarakat atau komunitas yang merasa ada sesuatu yang dikorbankan dan diwariskan oleh sang tokoh yang pernah hadir dalam sejarah bahkan bagian dari pelaku sejarah.

Penganugerahkan gelar berdasarkan bukti dan fakta yang dibuktikan dengan penggalian sejarah, pengumpulan data serta informasi-informasi yang akurat dan dapat di percayai yang diajukan oleh kelompok atau masyarakat, karena telah melihat dan bahkan membuktikan secara actual bahwa sang tokoh memiliki kelayakan untuk mendapatkan gelar kepahlawanan.

Gelar itu akan diumumkan pada hari pahlawan setiap tanggal (10) sepuluh Novemver pada setiap tahun, sebagaimana pada 10 November 2010 yang lalu pemerin tah memberikan penganugerahan gelar kepahlawanan kepada 2 tokoh utama yang diaanggap memiliki sumbangsi real dalam perjuangnnya bagi bangsa Indonesia yakni Dr. Johanes Leimena (1905-1977) yang Abraham Dimara (1916-2000) kedua tokoh ini berasal dari wilayah Timur Indonesia.

Pemberian gelar kepada dua tokoh ini telah melalui sejumlah seleksi yang cukup ketat dan persaingan dari 10 tokoh yang didominasikan untuk mendapatkan gelar kepahlawanan, dari sepuluh nama yang diajukan untuk menerima gelar kepahlawanannya termasuk didalamnya dua mantan presiden Indonesia yakni Soeharto dan Gus Dur. Penentuan dua nama yang dianggap layak mendapatkan gelar pahlawan nasional ini menghadirkan pertanyaan yang sangat mengherankan bagi sebagian masyarakat, apa yang menjadi dasar bagi penentuan dua nama tersebut sebagai pahlawan ? atau timbul dalam benak kebanyakan orang kedua nama tersebut tidak terkenal ? bukan pula pejuang yang mati di medan perang atau medan laga ? tidak lah dicatatkan dalam kurikulum buku sejarah pendidikan Indonesia ?

Sejumlah pertanyaan diatas menunjukan bahwa gelar pahlawan nasional bukanlah tafsir tunggal, dimana memiliki nama besar, mati dimedan laga, pernah menjabat sebagai pejabat negara, atau namanya tercatat dalam buku sejarah, namun pemberian gelar nama ini jauh dari tafsir tersebut.

Menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas tidaklah salah jika petanyaan-pertanyaan itu hadir karena sudah menjadi pemahaman umum bahwa mereka yang telah berjuang di medan perang dan pernah menjabat sebagai pejabat negaralah yang memiliki hak untuk mendapatkan gelar tersebut, masyarakat bertanya mengapa harus Leimena yang biasa di sapa Om Jo, nama ini mungkin familiar bagi komunitas mahasiswa Kristen, karena beliau berjasa bagi pendirian organisasi ekstra kampus yakni Gerakan Mahasiswa Kriten Indonesia (GMKI) pada tahun 1950, yang kemudian hari mendirikan Parkindo (Partai Kristen Indonesia) dan menjadi salah satu tokoh muda dari Ambon - Maluku yang berperan dalam deklarasi Kongres Sumpah Pemuda tahun 1928.

Dalam pemerintahan NKRI beliau pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri dan menjabat sebagai Penjabat President jika Bung Karno berkunjung ke luar negeri. Namun bagi masyarakat luas tidak mengenal begitu jauh tentang tokoh ini karena terbatsanya literature yang menuliskan tentang tokoh ini, namun bagi komunitas Kristen dan masyarakat Maluku mengenal Leimena sebagai tokoh yang gigih membela Pancasila, Leimena menganggap Pancasila memberikan ketenangan untuk berbakti dan berdedikasi.

Kekristenan dianggab sebagai warisan penjajah sehingga nasionalismenya diragukan, tetapi premis ini digugurkan oleh Leimena dengan partisipasinya dalam politik, bagi Leimena peran umat Kristen sangat penting bagi kemerdekaan bangsa Indonesia, sehingga menurut beliau Politik sebagai etika untuk melayani. Sedangkan Abraham Dimara merupakan tokoh Papua gigih memperjuangakan Papua sebagai bagian dari Republik Indonesia, sehingga akibat perjuangan untuk menegaskan kepada pihak Belanda bahwa Papua adalah bagian dari Republik Indonesia.

Penetapan dua nama ini menyebabkan dua mantan presiden yakni Soeharto dan Abdurahman Wahid belum mendapatkan kesempatan untuk dikenang sebagai Pahlawan Nasional, dari nilai perjuangan yang diwariskan oleh kedua tokoh diatas memberikan indikasi bahwa ada nilai dan semangat nasionalisme yang dimiliki oleh kedua tokoh tersebut untuk nusa dan bangsa, Johanes Leimena merepresentasikan bahwa penganut Kristen di Indonesia juga turut berperan dalam kemerdekaan dan kedaulatan NKRI dan bukan antek-antek Belanda serta memiliki sumbangsi nyata bagi kemajuan negara ini dan kemudian Johanes Abraham Dimara merepresentasikan bahwa perjuangan untuk menjaga dan menegakan NKRI bukan hanya didominasi atau hanya mereka yang berada di Ibu kota negara, tetapi kelompok masyarakat Papua pun memiliki sumbangsi real bagi keutuhan NKRI.

Dengan demikian semangat dan spirit nasionalisme harus dilihat secara utuh bukan berdasarkan tafsir tunggal saja, tetapi ada nilai yang diwariskan dan bukan hanya nama besar yang sempat direkam dan dicatat dalam otobiografi ataupun bibliografi. Soeharto memiliki nama besar sebagai mantan president Republik Indonesia, dikenal sebagai Bapak Pembangunan Nasional karena perannya dalam membangun swasembada pangan, namun penetapan gelar pahlawan Soeharto ditangguhkan karena Soeharto tidak memenuhi syarat nilai karena dianggab sebagai sosok yang kontroversial dalam pelanggaran HAM dan tindak kekerasan, serta korupsi.

Nama besar yang disandang karena jabatan tidak menjadi ukuran untuk digelari pahlawan nasional tetapi ada semangat dan nilai yang diwariskan bagi orang lain yang dianggab memenuhi semangat nasionalisme. Peran tokoh tidak dipandang bahwa dirinya datang dari masyarakat yang tersisih karena perdaban dan juga keberadaannya dari segi jumlah atau kuota dan stigma miring tetapi keterlibatan dan semangat kerja dan kejujuran hati yang didedikasikan bagi keberadaan Republik Indonesia menjadi dasar untuk mewujudkan pepatah kuno “gajah mati meninggalkan gading – manusia mati meninggalkan nama” nama bukanlah sekedar nama tetapi nama dikenang karena nilai dan spirit nasionalisme yang di dedikasikan secara tulus.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Politik Indonesia – FISIP – UI (Tulisan ini sebagai reflektif atas penganugerah gelar pahlawan bagi Dr. Johanes Leimena sebagai pendiri GMKI dan menuju Kongres GMKI di Makasar pada tanggal 25 - 29 November 2010)

Minggu, 14 November 2010

"PILKADA ITU BENCANA ATAU ANUGERAH"

“PILKADA ITU ANUGERAH ATAU BENCANA”
*Yoyarib Mau

Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) atau Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) adalah sebutan yang kerap kali terdengar pada saat dilakukannya pergantian kepemimpinan didaerah, baik itu ditingkat Provinsi yakni pemilihan Gubernur maupun di Kota/Kabupaten dalam pemilihan Walikota/Bupati.

Transfers kekuasaan dimana salah satunya dilakukan melalui pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia merupakan implementasi dari demokrasi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Henry B. Mayo mengenai nilai-nilai demokrasi tersebut salah satunya adalah penyelenggaraan pergantian pimpinan secara teratur (Miriam Budiardjo – Gramedia – 2008), yang kemudian pergantian kepemimpinan diatur secara berkala yakni jabatan kepemimpinan selama lima (5) tahunan.

Penyelenggaaan pergantian kepemimpinan secara demokratis di Indonesia dapat terwujud dengan baik yakni setelah reformasi dimana pemerintahan yang dulunya bersifat sentralistik telah berakhir, pemerintahan yang sentralistik dimana selalu berpusat di Ibukota Negara dan di kawasan barat Indonesia, pajak daerah, serta pendapat asli daerah pun sebagian besar harus dilakoasikan ke Pusat hal ini menyebabkan kesenjangan yang cukup tinggi di sebagaian daerah, terutama daerah kawasan timur Indonesia.

Keadaan demikian menyebabkan pembangunan hanya di lakukan di Ibu Kota Negara dan sekitarnya sehingga pasca reformasi politik tahun 1998 menghasilkan sebuah perubahan yang cukup signifikan yakni diwujudkannya pemerintahan yang bersifat desentralisasi, yang menurut HAW. Widjaja desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat (HAW. Widjaja – Rajawali Pers – 2008).

Penyerahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat yakni dalam bidang politik yakni menyelengarakan pergantian pemipin di tingkat daerah melalui pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat dengan memberikan hak bagi rakyat untuk menentukan pilihannya tanpa harus mengalami penekanan bahkan hak tesebut tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, setiap individu yang memenuhi syarat mendapatkan kesempatan “one man one vote”.

Penyelenggaran Pilkada di Indonesia menghasilkan sebagai krisis politik baru menghasilkan perosoalan – persoalan baru yakni meningkatnya nafsu kekuasaan dari para elite lokal sehingga meningkatnya money politik (politik uang) yakni menjelang suksesi kepemimpinan di tingkat perebuatan pimpinan partai poltik di tingakt lokal maupun perebutan kendaraan politik untuk diajukan sebagai calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik, tidak hanya itu tetapi di tingkap KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) tidak hanya mensyaratkan kelengkapan dokumen tetapi ada syarat tambahan yakni setoran “doku”.

Terciptanya kekerasan pasca pilkada diantara kelompok-kelompok pendukung para kandidat terjadi konflik horizontal, karena terbaginya dukungan politik terhadap kandidat peserta pilkada yang terbentuk melalui jaringan kekerabatan, marga, suku bahkan agama. Para kandidat peserta Pilkada mengalami putus asa karena seluruh harta benda dijual bahkan digadai dan berujung pada upaya bunuh diri karena kalah dalam suksesi pilkada

Bahkan kondisi ini diperparah dengan menguatnya ekloitasi partai politik dengan melakukan pendekatan- pendekatan dukungan secara feodal yakni menarik dukungan politik dari kesultanan-kesultanan lokal atau raja-raja kecil di daerah, atau para bangsawan sehingga dapat saja terjadi pertikain dalam masyarakat yang melibatkan identitas kesukuan atau kerajaan bahkan bisa saja menjurus ke pertikaian agama, dan mengancam akan keutuhan dan integritas bangsa seperti yang terjadi pada periode lalu seperti di Maluku Utara pertikaian antar pendukung Abdul Gafur – Abdul Rachim Fabanyo Vs pendukung Thaib Armain – Abdul Gani Kasuba, tidak hanya di Maluku Utara tetapi seperti Berebes, pembakaran Kantor KPUD dan sejumlah fasilitas negara karena kecewa atas putusan KPUD seperti yang terjadi di NTB. Apabila Penyanyi Pop Ebiet G. Ade dalam lirik lagunya berbunyi “…Anugerah dan Bencana adalah kehendak- Nya (TUHAN)”, Jika lagu ini ada yang bertanggungjawab atas suatu kondisi namun dalam topik pembahsan ini, Pilkada itu Anugerah atau Bencana itu kehendak siapa ?

Pelaksanaan Pilkada di Indonesia dianggap menelan biaya yang cukup tinggi baik itu yang dianggarkan dari APBN/D tetapi juga yang harus disiapkan oleh kandidat atau calon peserta pilkada tersebut, pasca pilkada pun banyak fasilitas harus di perbaiki karena dirusak oleh masa yang kecewa dengan putusan KPUD yang memenangkan pasangan tertentu karena dianggab adanya penggelembungan suara bagi calon tertentu.

Kondisi yang terjadi saat ini di Indonesia dapat dilakukan kajian dengan menerapkan konsep “collapse state”, Gregorius Sahdan menjelaskan bahwa, collapse state didefenisikan sebagai negara yang tidak lagi memiliki performa yang baik, ketika fungsi-fungsi negara diperlukan untuk membawa negara dari berbagai kebobrokan internal. Dengan kata lain negara gagal menjalankan fungsi-fungsi dasarnya, terutama ketika masyarakat membutuhkan negara dalam situasi dimana masyarakat sangat memerlukan kehadiran negara. kemudian Gregoirus Sahdan menambahkan dan memberikan pemetaan terhadap penyelenggaraan pilkada di Indonesia menjadi : Pertama, Strong state – negara kuat yang ditandai oleh peran pemerintah yang sangat dominan, masyarakat sipil yang lemah, control terhadap masyarakat yang berlebihan berorientasi pada penyediaan public goods semata-mata dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, munculnya gejala soft state – negara yang lembek. Soft state ditandai oleh ketidaktegasan pemerintah dalam menyelesaikan konflik, public goods yang kurang terjamin, pertumbuhan ekonomi yang lamban dan tidak terarah, dan stabilitas keamanan yang kurang terjamin. Ketiga, pilkada juga menghadirkan weak state – negara yang lemah, ditandai oleh : kapasitas pemerintah yang lemah dalam menyediakan public goods, perekonomian yang tidak tertangani dengan baik, kepercayan masyarakat yang rendah terhadap pemerintah dan sebagainya. Keempat, pilkada juga menghadirkan fenomena failed state – negara yang gagal seperti yang ditandai oleh : penurunan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, tatanan pemerintah yang sebelum pilkada dikelola dengan sangat baik, berubah menjadi bad governance, public goods yang merosot dan tidak berkualitas. Kelima, pilkada di sejumlah daerah yang menghadirkan collapsed state – negara yang roboh dan tidak kunjung hidup, ditunjukan adanya konflik berkepanjangan – perang suku yang terjadi terus menerus, perekonomian dan kesejahteraan masyarakat yang terus menerus menurun, tidak adanya jaminan kesehatan, akses terhadap pendidikan yang sulit (Analisis CSIS Vol. 37, No. 2 Juni 2008).

Dari kelima pemetaan tersebut semua hampir menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pemerintahan saat ini sehingga tidak salah jika Gregorius Sahdan bahwa pelaksaanaan pilkada saat ini memetakan Indonesia ada pada tahapan collapse state, tentu pemetan ini beralasan berdasarkan realitas politik yang saat ini dialami dalam sejumlah pelaksanaan pilkada di tanah air.
Pilkada dilakukan untuk mewujudkan sebuah negara yang demokratis namun dalam kenyataannya jauh dari harapan mungkin benar apa yang dikatakan plato bahwa apabila ingin sebuah negara maju maka sebaiknya kekuasaan itu dikendalikan oleh orang pintar dimana pemerintahan dengan sistim aristokrasi sehingga bukan demokrasi yang berakhir dengan kekerasan.

Kekerasan selalu dilatarbelakangi oleh penyebab sebagaimana pemetaan yang di lakukan Gregorius Sahdan yakni kebebasan sipil yang tak terkontrol liar akibat kekuasaan dan tekanan oleh yang dilakukan oleh orde baru sehingga ketika kebebasan yang diperoleh sepertinya liar karena tanpa kemampuan serta pemahaman yang memadai untuk menjalankan kebebasan yang diperoleh, karena menganggap bahwa adanya kebebasan untuk menyampaikan pendapat tetapi tak memiliki kamampuan untuk menggunakan alat atau media yang tepat untuk menyampaikan pendapatnya. Contohnya ketidak kepuaasan karena calon yang diusung mengalami kekalahan maka jalur untuk menyampaikan gugutan dapat lakukan melalui mahkamah konstitusi, membangun opini untuk mendapatkan dukungan melalui diskusi atau seminar dan sebagainya.

Kekerasan dapat saja terjadi karena lemahnya perekonomian atau terbatsanya lapangan pekerjaan yang tersedia sehingga menyebabkan kekekacauan dapat terjadi, idealnya ketika orang yang memiliki kecukupan pangan maka ia akan diam, atau karena “masa bayaran” dalam pilkada sering terjadi para pendukung dalam memberikan dukungannya di beri sejumlah uang, sehingga disaat pendukung ini di beri uang yang cukup untuk melakukan protes maka sejumlah orang akan hadir dalam aksi tuntutan untuk mendapatkan uang, akibat masa yang terkonsentrasi banyak dan di profokasi maka akan timbul anarkis.

Birokrasi Barter istilah ini yang saat ini terjadi di daerah yang menggantungkan nasibnya hanya pada birokrasi pemerintahan, sehingga apabila calon yang didukung menjanjikan sejumlah kuota untuk menjadi pegawai negeri sipil PNS, demi tujuan tersebut maka mereka akan rela melakukan apa saja untuk membela sang calon dengan harapan tujuan untuk mendapatkan pekerjan itu dapat tercapai.

Penegakan hukum yang tidak mencerminkan rasa keadilan dan putusan hukum hanya berdasarkan transaksi keuangan, dimana sebuah perkara dapat diselesaikan, atau kemenangan hanya berpihak pada mereka yang berani membayar. Kenyataan ini menghadirkan krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah karena sia-sialah perjuangan mereka, jika yang berani membayar para penegak hukumlah yang akan memenangkan salah satu calon yang bersengketa. Kondisi inilah yang membuat rakyat tidak lagi mempercayai lembaga hukum untuk menyelesaikan perkara sehingga pilihan kekerasan merupakan jalan solusi. Rakyat mengangap jika hukum tidak dapat memberikan kepastian maka “hukum alam’ atau “hukum rimba” yang berlaku siapa kuat dia yang akan mendaptkan kekuasaan.

Kesulitan ekonomi dan rendahnya kepedulian negara bagi pemenuhan kebutuhan hidup, ketidak kepastian hokum menyebabkan penyebab timbulnya kekecewaan rakyat yang berujung pada tindak kekerasan. Permasalahan ini tidak dapat dilemparkan kepada mereka yang melakukan tindak kekerasan karena lalainya negara dalam memainkan perannya, pendidikan politik yang harus di jalankan oleh partai politik tidak berjalan dengan baik karena alasan pendanaan. Padahal dalam pemilu banyaknya biaya yang dikeluarkan baik perorangn maupun isntitusi partai di keluarkan untk mencetak atau menerbiktan atribut partai politik dan propaganda yang menghabiskan sejumlah dana. Mengenai sumber biaya yang di peroleh partai politik tidak pernah di ekspos atau dilakukan audit serta aturan yang mengatur tentang laporan keuangan dari partai politik itu sendiri untuk menunjukan transparansi, dan mempertangungjawabkan bantuan yang diberikan oleh negara.

Partai politik hanya akan beraktifitas dalam melakukan kegiatan maupun pendidkan politik yang dipahami sebatas bantuan sosial maupun kegiatan seremonial keagamaan hanya di lakukan jelang 1 atau 2 tahun menjelang pemilu atau pilkada. Kurikulum sekolah tentang demokrasi yang mengatur atau muatannya tentang demokratisasi melalui kegiatan sekolah atau kegiatan organisaasi ataupun kegiatan ekstra kurikuler sudah seharusnya diterapkan di sekolah di mana telah melatih siswa yang nantinya akan menjadi bagian dari pemilih, untuk sudah siap berkompetisi dan juga siap untuk menang, serta juga siap untuk menerima kekalahan.

Negara dala hal ini KPUD sebagai penyelengga pesta demokrasi bukan jabatan hasil kompromi politik incumbent atau mereka yang memiliki sejumlah uang untuk membeli partai politik untuk memilih dirinya menjadi anggota KPU dan KPUD atau anggotaKPU/D yang meruapak utusan atau kader partai yang di tempatkan di KPU/D sehingga dalam kinerjanya selalu untuk partai politik. Kinerja KPUD juga diharapkan untuk memiliki kemampuan dalam menerjemahkan hokum, serta memahami regulasi, karena akibat kekeliruan dan kesalahan dalam menerjemahkan dan memahami sebuah regulasi akan menimbulkan konflik.

Lembaga Konstitusi yang dapat dipercaya seperti Mahkamah Konstitusi sebagai tempat pengaduan perkara atau sengketa pilkada harus bebas dari suap dan dapat memberikan rasa keadilan sehingga konflik tidak akan terjadi karena adanya kepercayaan masyarakat terhadap negara yakni Mahkamah Konstitusi. Keputusan Mahkamah Konstitusi juga harus bebas dari intervensi kepentingan penguasa, namun apabila dalam perjalanan waktu Mahkamah Konstitusi juga mencederai hukum maka rakyat akan melakukan pengadilan rakyat jika MK saja tidak lagi menegakan keadilan.

Perubahan hanya akan di capai untuk mencegah negara mengalami collapse state dalam setiap konflik Pilkada, kondisi perlu ada ketegasan dalam proses perekrutan dan pemilihan KPU/D serta dalam pemberian bantuan bagi partai politik untuk melakukan pendidikan politik, Perhatian pemerintah dibutuhkan dalam ketegasan sikap yang tidak kompromistis, namun apabila ada pengabaian dan tidak diperhatikan maka yang bertangung jawab atas kekerasan dan rasa kekecewaaan masyarakat yang berujung dengan anarkis adalah negara. Negara tidak dapat melarikan diri dari kewajiban ini.

Proses perekrutan yang akuntabilitas serta transparansi dalam perekrutan KPU/D akan sangat menentukan kwalitas demokrasi. Kesejahteraan rakyat hanya akan tercapai dengan adanya kepemimpinan yang baik dan berkwalitas, proses menuju kesana hanya dicapai melalui pilkada yang diatus dalam konstitusi, namun jika proses pilkada yang dilakukan akan terancam gagal dan berujung dengan kekerasan jika negara tidak mampu menyiapkan infrastruktur demokratisasi dengan baik yakni pendidikan politik bagi rakyat serta institusi penyelenggara pilkada yang dapat di percayai maka niscaya anugerah kesejahteraan akan diperoleh dari Pilkada.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP – UI

BIAYA TAK TERDUGA UNTUK BENCANA DALAM APBN/D

“BIAYA TAK TERDUGA KHUSUS BENCANA ALAM DALAM APBN/D”
*Yoyarib Mau


Bencana alam serasa sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, sejak bencana tsunami aceh yang menelan korban jiwa dan harta yang tak terkira, bahkan menyisahkan kenangan traumatis yang berkepanjangan. Bencana alam yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi hampir menyeluruh di berbagai belahan bumi, seperti badai katharina yang menerpa negara bagian Florida di Amerika Serikat pada beberapa tahun lalu, Banjir di Pakistan, Gempa Bumi yag menghancurkan berbagai gedung dan pusat Ibukota di negara kepulauan Fiji dan bencan alam lainnya di berbagai negara.

Kondisi Indonesia sangat beragam bencananya baik itu tsunami akibat gempa gumi dengan skala yang cukup besar di kedalaman laut, meletusnya gunung merapi, banjir bandang, tanah longsor, dan bencana kekeringan yang menyebabkan gagal panen, serta bentuk bencana yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan materi.

Akibat bencana yang selalu menghadirkan kerugian harta benda, kematian dan kehilangan jiwa manusia, serta kerusakan infrastruktur, membuat manusia mencoba melakukan berbagai kesimpulan ada yang menafsirkan secara “teologis” dimana bencana merupakan bentuk amarah “sang kuasa” (pencipta) atas ketidaksetiaan manusia (dosa), atau bentuk teguran dan berbagai pengertian lainya, namun yang lain memahami bahwa bencana alam ini dalam tradisi kuno yakni marahnya para dewa/dewi karena pemimpin yang tidak becus pemerintahan yang bobrok sehingga para dewa marah, pemahaman kuno bahwa pemimpin negara atau masyarakat adalah titisan dewa yang ada di bumi.

Namun akibat hadirnya ilmu pengetahuan maka pemahaman akan penyebab adanya bencana pun berbeda, yang memahami bencana terjadi karena “human eror” kesalahan manusia. Menurut Mubarig Ahmad dalam teori fisika, perubahan iklim terjadi karena peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi, Konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) meningkat karena bertambahnya kegiatan ekonomi dunia yang menimbulkan emisi GRK, emisi GRK berasal dari dekomposisi biomassa tak terpakai (misalnya, sisa penebangan hutan dan sampah organik), asap pabrik, dan kendaraan bermotor yang mengandung CO2, pertanian lahan basah yang mengeluarkan gas metana, dan berbagai emisi gas lainnya. Penumpukan dan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer menimbulkan efek rumah kaca, yaitu menigkatnya suhu udara permukaan bumi karena terkurungnya pantulan energi, sinar matahari (Prisma – Vol. 29 No. 2 April 2010 – LP3ES).

Permasahalan diatas yang kemudian menghadirkan trend global yakni adanya istilah Warming Global (pemanasan global). Sehingga dapat di simpulkan bahwa alam bergejolak akibat keserakahan dan konsumsi yang berlebihan menyebabkan ketidakseimbangan alam yang menyebabkan adanya bencana. Kondisi merupakan akumulasi dari perilaku berbagai pihak yakni industri, manusia, negara bahkan negara – negara luar pun turut berkontribusi bagi meningkatnya emisi gas rumah kaca. Kondisi ini menyebabkan bencana yang harus di terima atau dialami oleh manusia sebagai kodrat atau suratan takdir yang tak dapat ditolak, kemudian bagaimana cara untuk manusia berperan yang bertujuan mengimbanginya dengan berbagai upaya untuk menyelematkan bumi dan manusia yang ada didalam bumi ? atau membiarkan dan menerima bencana sebagai bagian dari proses “eskatologis” dimana tanda-tanda alam ini dipahami sebgai berakhirnya keberadaan bumi ?

Sejumlah pertanyaan diatas merupakan tugas negara yang didaulat oleh sekelompok manusia di suatu teritorial untuk mengatur kehidupan bersama, karena bagaimanapun negara turut berkontribusi terhadap keadaan ini dan ini terjadi secara global karena merupakan akumulasi dari perilaku pasar dunia, sehingga apa yang dihasilkan gas rumah kaca merupakan akibat perbuatan bersama secara global. Sehingga dibutuhkan sejumlah pembiayaan atau pendanaan untuk menciptakan keseimbangan alam sehingga sejumlah negara bersepakat bersama dalam lembaga global yakni UNFCCC untuk menangani isu perubahan iklim.

UNFCC dalam upaya penanganan isu perubahan iklim bersepakat untuk menangani perubahan iklim duni yakni menyepakati Porotokol Kyoto yang mewajibkan negara-negara maju mengurangi emisi kolektif gas rumah kaca, namun kesepakatan ini ada cheks and balance antara negara maju sebagai penghasil karbon terbesar karena dalam industry skala besar sudah tentu menggunakana teknologi yang menghasilkan karbon yang cukup tinggi jika di bandingkan dengan negara berkembang. Karena negara maju sebagai penghasil karbon terbesar maka mereka perlu memberikan kompensasi bagi negara berkembang, dengan memberi sejumlah dana sebagai upaya menciptkan kembali hutan (reforestation).

Namun dana kompensasi ini untuk penanganan perbaikan alam untuk jangka panjang namun bagaimana dengan keberadaan korban akibat perubahan iklim yang hadir melalui bencana, karena menimbulkan resiko ekonomi sehingga proses penyelesaianpun harus dalam kerangka kebijakan ekonomi. Kebijakan ekonomi untuk penanganan bencana, sehingga ada kebijakan ekonomi negara dalam APBN/D sudah seharusnya memikirkan akan pengalokasian anggaran atau dalam pembukuan sederhana biasanya ada pos biaya tak terduga, karena bencana merupakan suatu keadaan yang sulit untuk diduga kapan tejadinya sehingga alokasi biaya tak terduga dikhususkan untuk proses penanganan.

Biaya tak terduga bagi negara haruslah di anggarkan khusus setiap tahun, untuk proses penanganan bencana alam, sehingga ketika bencana terjadi pemerintah tidak perlu melakukan utang luar negeri, atau mengharapkan bantuan dari negara-negara anggota UNFCC untuk memberikan bagi proses penanganan bencana, karena hal ini dapat berakibat buruk yakni sejumlah tuntunan bahkan intervensi negara lain karena telah memberikan bantuan terus mengajukan sejumlah tuntutan yang harus dipenuhi.

Penyediaan anggaran ini perlu diperhatikan bahwa dana ini tidak harus dihabiskan dalam tahun anggaran berjalan sehingga harus dihabiskan, apabila tidak ada bencana maka dana itu dikembalikan kepada negara, untuk diakumulasikan ke dalam biaya tak terduga untuk tahun yang akan datang. Karena bencana merupakan peristiwa yang tak dapat di duga sebelumnya atau melalui rancangan pembiayaan sehingga tidak bisa dilakukan penghabisan biaya tak terduga bagi bencana dalam setahun, karena bencana bisa saja dalam setahun beruntun, korban serta jumlah kerugian pun berbeda-beda tidak dapat diprediksi sehingga dana atau biaya yang tidak terpakai pada tahun sebelumnya dapat diakumulasikan untuk tahun berikutnya.

Manajemen pengelolaan dana penanganan bencana sudah harus diwujudkan jika tidak maka negara akan kebingungan ketika bencana tiba atau datang menghampiri negara tidak kebingungan serta lambat dalam melakukan penangganan, jangan hanya karena alasan menunggu perintah dan koordinasi dari berbagai instansi untuk proses penanganan, sering terjadi tarik menarik untuk mengkategorikan bencana ini penanganannnya oleh kementrian sosial atau kementrian kesejahteraan social atau kementrian lainnya. Tarik – menarik antar kementrian menyebabkan banyaknya jatuh korban akibat saling melempar tanggung jawab penanganan.

Seandainya ketersediaan biaya atau anggaran yang dapat di beri nama “biaya tak terduga” sebagaimana lazimnya dalam pembukuan akuntansi biaya ini untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang tidak diduga sebelumnya, biaya tak terduga sudah tersedia dengan harapan tidak ada kesulitan dalam proses penanganan, serta dapat meminimalisir bertambahnya korban akibat lambatnya pertolongan. Contoh kasus ketika bencana tsunami di Mentawai akibat medan bencana yang sulit terjangkau karena gelombang laut yang tinggi, tidak harus menjalani alasan untuk mengirim relawan dan tim medis dalam melakukan pertolongan terhadap jiwa manusia yang dapat terselamatkan nyawanya lewat penyediaan atau penyewaan transportasi udara seperti helicopter dan pesawat kecillainnya.

Kemungkianan hadir pertanyaan bagaimana mendapatkan sumber dana yang cukup untuk dialokasikan bagi pos “biaya tak terduga”, bahasa standar yang selalu dilontarkan oleh pemerintah karena keterbatasan kreatifitas. Membangun solidaritas kesetikawanan sosial dapat dibangun jauh sebelum bencana terjadi, dan bukan tercipta saat bencana terjadi dengan melakukan proses pegumpulan bantuan disejumlah perempatan atau pertigaan lampu merah atau melakukan pembukaan posko peduli atau mendadak membuka rekening / dompet bencana. Apabila kesetikawanan social di lakukan seperti srimultan maka akan menimbulkan anggapan buruk yakni adanya penyalagunaan untuk kepentingan pribaadi dengan mengeksploitasi akan keberadaan korban bencana.

Bencana alam yang terjadi karena kondisi ketidakseimbangan alam akibat gas rumah kaca sudah tidak menentu ini, seyogiannya negara sudah seharusnya memikirkan upaya – upaya pencarian dana atau kepeduliaan masyarakat melalui berbagai upaya yakni menghimbau sejumlah korporasi untuk menyisihkan sejumlah dana bagi perbaikan alam, atau melakukan kerjasama dengan sejumlah bank dengan meminta persetujuan nasabah untuk setiap bulannya dapat mendonasikan sebagian rupiah uang dari tabungannya, pihak bank dapat memotong sejumlah nilai rupiah bagi konservasi alam dan bantuan bagi korban bencana sebagai bentuk investasi kepedulian bencana.

Pemotongan yang dilakukan mungkin saja dalam angka yang sangat kecil tetapi dari sejumlah nasabah ataupun korporasi maka setiap tahun nya sudah ada alokasi dana yang cukup untuk proses penanganan bencana, bukan ketika bencana terjadi masyarakat sepertinya baru tegugah dan sejumlah propaganda dimainkan melalui bahasa puitis dan melankolis untuk menggugah perasaan masyarakat untuk peduli, padahal kesetiakawanan sosial sudah terpatri di lubuk manusia sebagai makhluk social sejak manusia lahir.


Tantangan pendanaan tidak menjadi alasan yang menyebabkan banyaknya korban jiwa harus berjatuhan dan proses penanggulangan yang lamban serta proses rekonstruksi habitat yang yang berkepanjangan bagi para pengungsi, tetapi jika ketersediaan biaya tak terduga yang tersedia maka tidaklah membuat kita takut dengan bencana tetapi siap menghadapi bencana akibat ulah manusia atau konsekwensi dari pemanfaatan alam yang tidak terkontrol.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI.