Sabtu, 05 Februari 2011

"BANALITAS KEKERASAN DITAMBALI GONG PERDAMAIAN"

“BANALITAS KEKERASAN DITAMBALI GONG PERDAMAIAN”
*Yoyarib Mau

Apalah artinya gong perdamaian jika tidak didahului dengan pengakuan dosa, ungkapan ini mengacu pada pemikiran Uskup Desmond Tutu dalam upaya penyelesaian dan mengakhiri konflik Apartheid di Afrika Selatan, sebagaimana ungkapan tersebut berbunyi “tanpa pengampunan, tidak ada masa depan” kalimat ini digemakan ke seluruh dunia guna membangun perdamaian dunia.

Dari ungkapan Desmond Tutu ini menimbulkan sebuah pemikiran baru yang dilandasi pada hubungan sebab akibat, dimana pengampunan dilakukan apabila ada obyek yang akan diampuni, obyek dapat dijadikan bukti materil sebagai dasar adanya pengampunan. Obyek yang akan diampuni akan ada apabila adanya kerelaan untuk mengaku bersalah atau pengakuan dosa.

Seandainya logika sebab akibat diatas dapat terwujud maka akan tercipta pedamaian abadi, gong perdamaian adalah program dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk menggalang pedamaian antar bangsa agar bisa hidup damai. Program gong perdamaian yang diprogramkan PBB di Indonesia diwujudkan dalam dua tingkatan yakni Gong Perdamaian Dunia dan Gong Perdamaian Nusantara, Gong Perdamaian Dunia untuk saat ini di tempatkan di Kota Ambon yang disinyalir menghabiskan anggaran Rp. 3,5 miliar, penempatan GPD di tempatkan di Ambon dengan pilihan bahwa keberadaan GPD ini sebagai peringatan akan konflik horizontal yang berlangsung di daerah ini cukup lama serta merusak tatanan sosial, budaya, pertahanan keamanan serta ekonomi.

Keberadaan GPD memang memiliki nilai makna guna membangun kulutur hidup damai di daerah yang pernah berkonflik agar tidak terulang kembali, animo pengadaan Gong Perdamian tidak saja menjadi monumen peringatan di daerah konflik tetapi juga menjadi kebutuhan kota dan propinsi lain di Indonesia, dimana kemudian diadakan Gong Perdamiaan Nusantara (GPN) yang konon katanya juga menjadi program dari PBB. Sehingga sudah sekian kota yang menempatkan GPN di kotanya seperti di Yogyakarta, Bali dan Kal- Tim di Kutai Kartanegara, dan kini di lakukan di NTT tepatnya di Kota Kupang dengan menganggarkan dana dari APBD sebesar Rp. 3 miliar, GPN ini akan akan ditempatkan di tengah-tengah taman nostalgia sebagai tempat wisata dan di area tempat GPN juga akan diabadikan tapak-tapak kaki dari Gubernur dan para bupati/walikota se NTT.

Perdamaian akan bermakna jika tidak ada lagi kekerasan yang terus menerus menghantui bahkan menyiksa rakyat kekerasan-kekerasan yang di alami tidak selamanya dalam bentuk benturan fisik tetapi pemahaman kekerasan pun memiliki makna ganda, kekerasan sering terjadi antar kelompok masyarakat namun yang lebih menyakitkan jika kekerasan itu dilakukan oleh negara dalam hal ini mereka yang didaulat untuk menjalankan negara (pemerintah).

Menurut Hannah Arendt, negara menciptakan kejahatan menjadi menjadi sesuatu yang yang dianggap lumrah. Dengan kepatuhan warga negara yang diperoleh melalui propaganda dan teror, kekerasan yang dilakukan negara dapat membuat orang menjadi enggan berpikir dan tidak mampu lagi menilai secara kritis (Rieke Diah Pitaloka- Penerbit Koekoesan – 2010).

Kekerasan negara yakni melakukan kebijakan – kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat, rakyat yang hanya melakukan pelanggaran hukum karena terpaksa melakukan kejahatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya menjalani putusan hukuman yang tidak sebanding dengan mereka yang melakukan korupsi maupun penyuapan sebagaimana Arthalita dengan mudah mendapatkan remisi padahal terlibat penyuapan terhdapa penyuapan Jaksa Urip. Hal sama yang dialami oleh seorang pedagang kaki lima bernama Muhammad Bouazizi yang tinggal di Gubernuran Sidi Bouzid - Tunisia yang mengalami kesulitan lapangan pekerjaan kemudian memilih untuk berjualan dengan gerobak namun gerobaknya pun diambil oleh aparat keamanan jika di Indonesia dilakukan oleh Polia Pamong Praja, buntut kekecewaannya ia membakar dirinya sendiri sebagai protes dari tindakan represi pemerintah.

Pemerintah sering melakukan kekerasan yang dilakukan tidak dalam bentuk kekerasan terbuka seperti benturan fisik tetapi melakukan kekerasan secara tertutup dimana bentuknya sangat sistemik yang menyebabkan rakyat mengalami kesulitan, tekanan hidup, sulit mendapatkan pendidikan yang layak dan pelayanan kesehatan yang layak, yang diakibatkan oleh kebohongan kebijakan negara yang dimana uang negara yang disalahgunakan atau dikorupsi untuk kepentingan diri dan kelompok serta partai politiknya.

Kondisi ini yang memicu para tokoh lintas agama mengungkapkan kobohongan –kebohongan pemerintahan SBY yakni 9 kebohongan lama dan 9 kebohongan baru antara lain (politik.vivanews.com) kobohongan lama yakni; menyangkut angka kemiskinan yang semakin meningkat, kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi, ketahanan pangan dan energy yang gagal total, anggaran pendidikan yang terus menurun, pemberantasan teroris yang belum maksimal, penegakan HAM yang tidak ada tindak lanjut hukumnya, kasus lapindo yang penyelesaiannya belum jelas, kasus Newmont yang nyatanya terus saja membuang limbah tailing ke laut Teluk Senunu, sebanyak 120 ribu ton, dan tidak adanya renegosiasi kontrak dengan Freeport.

Sedangkan 9 kebohongan baru yakni, tidak adannya transparansi dalam menjalankan pemerintahan terkait mundurnya Sri Mulyani dari posisi menkeu, kebebasan beragama dan persatuan bangsa seperti yang dicanangkan pemerintahan SBY dianggap angin lalu karena masih terjadi 33 kali penyerangan fisik yang mengatasnamakan agama, tidak adanya kebebasan pers yang terlihat dari 66 kasus fisik dan non fisik yang dialami insane pers, kasus pelecehan dan kekerasan terhadap para TKI di luar negeri, tidak adanya reaksi atas masalah kedaulatan NKRI saat tiga petugas Kementrian Kelautan dan Perikanan ditangkap polisi Malaysia, menyangkut penegakan hukum, kasus rekening gendut polisi, intimidasi terhadap aktivis anti korupsi dan kasus lawatan Gayus Tambunan ke sejumlah kota.

Hal-hal diatas merupakan sejumlah kejahatan negara (baca : presiden) terhadap seluruh rakyat Indonesia karena hampir semuanya disampaikan di depan publik dan dipublikasikan langsung oleh media, banyak hal yang sebenarnya juga tidak secara umum menjadi konsumsi nasional seperti penyelesaian tumpahan minyak di laut Timor yang sampai hari ini belum terselesaikan. Presiden terkesan lamban dan tidak berani mengambil sikap dalam setiap persoalan bangsa terkesan adanya kompromi politik dimana lebih memihak kepada partai politik, lingkaran keluarga sebagaiman bebasnya Aulia Pohan karena remizi, memihak pada partai pendukung dan tidak memihak kepada rakyat.

Kondisi demikian menhadirkan berbagai pertanyaan bahwa, layakkah Gong Perdamaian di tempatkan di nusantara namun kejahatan negara terjadi dimana-mana ? apakah gong perdamaian merupakan jawaban bagi banalitas kejahatan negara yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan symbol gong perdamaian sudahkah memberikan jawaban bagi rakyat, yakni adanya kepastian hukum di negara ini ?

Hannah Arendt seorang filsuf perempuan dalam pemaparannya mengungkapkan bahwa fungsi polis dalam masyarakat kuno, atau res publica dalam masyarakat Romawi Kuno, menjamin suatu kehidupan bersama dan mencegah kesia-siaan yang dihasilkan dalam kehidupan individualistik, menciptakan sebuah ruang yang terlindungi dari kemubaziran hidup sekaligus memlihara ketahanan dari kehidupan itu sendiri (Rieke Diah Pitaloka – Penerbit Koekoesan – 2010).

Pemikiran Arendt mengenai polis dimana kota dimana orang-orang hidup bersama yang kemudian membentuk negara, dengan syarat sebuah negara yang terbentuk dengan adanya 3 hal yakni adanya wilayah geografis, rakyat dan pemerintah. Pemerintah didaulat oleh rakyat untuk mengatur kehidupan bersama dan mencegah kesia-siaan dan menjaga kehidupan bersama itu terhindar dari kemubaziran dan ancaman dari orang lain, namun yang didaulat untuk mengendalikan pemerintahan gagal bahkan melakukan kebohongan yang menjurus kepada pembiaran sehingga terciptanya kekerasan bagi kelompok tertentu maka ketentraman dan kedamaian yang merupakan spirit dari polis tercemar.

Bahkan Bernard Russel mengurai tipikal kekuasaan yang dimiliki seorang dalam memimpin adalah selalu harus memberikan jawaban bagi tujuan dan harapan yang ingin dibangun oleh kelompok dalam hal ini polis sehingga tercipta keadilan dan pemerataan bagi semua masyarakat, namun kenyataannya tidak seperti yang diungkapkan Bernard Russel, kondisi kepemimpinan haru ini lebih mengarah kepada apa yang diungkapkan Thomas Hobbes bahwa masyarakat hidup dengan pola bertahan dan sesekali menyerang sesamanya, hal ini diakibatkan oleh aturan hukum yang lebih fleksibel dan tidak mengikat, yang kuat yang bisa menentukan segala-galanya, sementara yang lemah tak berdaya untuk melawan.

Kondisi inilah yang terjadi aturan telah mengatur bahwa APBD untuk rakyat namun kenyataannya APBD dialokosaikan kurang-lebih 3 miliar untuk penyambutan kedatangan presiden SBY dalam peresmian Gong Perdamaian dengan harapan 3 miliar sebagai modal awal untuk kemudian mendapatkan rezeki berlimpah dari kedatangan SBY, padahal pembangunan daerah sudah ditetapkan anggarannya dalam APBN. tidak saja menghabiskan dana rakyat yang konon Provinsi ini memiliki slogan “anggur merah” yang berarti anggaran untuk kesejahteraan rakyat kenyataannya untuk seremonial para pejabat negara.

Tidak saja menghabiskan APBD tetapi kedatangan SBY ke Kupang untuk meresmikan Gong Perdamaian yang bertujuan untuk menciptakan kedamaian dunia tetapi menciptakan kekacauan bahkan kekerasan, dimana sejumlah pedagang kios (PKL) yang selama ini berjualan disepanjang jalan yang akan dilalui Presiden di bongkar paksa, padahal masyarakat telah berjualan di tempat tersebut sudah sekian tahun, hanya karena alasan kebersihan demi keberadaan President maka mereka harus menderita kerugian.

Sehingga gong perdamaian bukan untuk menciptakan kedamaian tetapi lebih pada memenuhi program PBB dimana menyenangkan dunia Internasional bahwa President SBY mampu menciptakan kedamaian dunia. Kenyataan ini membuktikan bahwa gong perdamaian hanyalah lipstick untuk memoles dan menghiasi citra pemerintahan SBY-Boediono dan bukan semata-mata untuk menjawab kebutuhan kedamaian masyarakat yakni terpenuhinya rasa aman dan damai untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, Pemerintah sebaiknya memainkan perannya dengan baik sebagaimana yang di harapkan Arendt, jika tidak maka pemaknaan terhadap gong perdamaian hanyalah penambal luka borok yang sudah membusuk dan menjalar yang hanya mengulur waktu untuk dilakukkan amputasi.

*Sekretaris Fungsional Bidang Aksi dan Pelayanan Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia masa bakti 2010-2011, Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP - UI