Senin, 14 Maret 2011

"SIAPA YANG DIPERCAYA SBY ATAU WIKILEAKS"

“SIAPA YANG DIPERCAYA WIKILEAKS ATAU SBY”
*Yoyarib Mau

Perang urat saraf antara SBY dan Wikileaks lewat akibat pemberitaan di dua media Australia yakni The Sydney Morning Herald dan The Age seperti menampar pipi SBY melebihi tamparan perlawanan mengajukan hak angket oleh anggota koalisi di sekertariat gabungan. Pemberitaan ini juga bertepatan dengan kunjungan Wapres Boediono ke negeri kanguru tersebut. Globalisasi merupakan tata dunia baru yang membuat dunia dalam gengaman tangan, globalisasi merupakan bagian dari sejarah dunia yang hanya mimpi tetapi dalam perjalan sejarah menjadi nyata dan terwujud. Dunia terasa tidak lagi terbatas oleh bentangan jarak tetapi sat ini telah di perpendek dalam ruang yang sempit dan jaringan teknologi.

Penguasaan akan teknologi maka dengan sendirinya dunia dapat dikendalikan oleh mereka yang memiliki keahlian tersebut, penguasaan teknologi merupakan sebuah kekuatan adidaya baru yg bisa menguntungkan bagi semua pihak namun juga mengancam akan pihak lain. Menguasai dunia menurut Bill Gates, kecepatan merupakan jantung dunia masa kini, yang akan mampu mengangkat manusia kea rah produktifitas dan kualitas hidup yang lebih baik. Akan tetapi, tidk sedikit pemikir yang melihat dominasi kecepatan atas kehidupan (power/speed) ini sebagai sebuah gambaran suram masa depan umat manusia (Yasraf Amir Piliang, Jalasutra –2004).

Kemajuan teknologi dunia menyebabkan kekuatan fisik atau material semakin melemah kekuatannya, klaim Amerika Serikat sebagai negara super power dengan memiliki infrastruktur yang mapan di semua bidang baik itu teknologi, ekonomi,politik dan sains. Kemapanan ini sebagai penentu kemajuan negara AS. Keadaan ini kemudian membuat AS merasa sebagai negara kuat yang tak mungkin terkalahkan dan membuat AS ingin tampil sebagai penguasa dunia atau hegemoni dunia.

Amerika tidak sadar bahwa globalisasi teknologi menunjukan kabaikan tetapi mereka lupa bahwa sepertinya ada dampak buruk dari kecepatan teknologi tersebut sebagaimana yang di ungkapkan oleh Bill Gates di atas, yang tanpa sadar gedung kembar WTC diruntuhkan oleh para teroris membajak pesawat terbang dan menabraknnya dan tidak hanya itu tetapi juga para teroris menyempatkan diri melakukan penyerangan ke ke gedung Pentagon yang di kenal dengan system keamanan yang luar biasa.

Tragedi runtuhnya gedung WTC di AS, merupakan tamparan keras bagi sistem kemanan dan teknologi di Amerika Serikat (AS), tidak cukup dengan itu AS sepertinya kembali dipermalukan dengan pembocoran ratusan ribu dokumen rahasia negara oleh Julian Assange, pendiri sebagai pendiri situs wikileaks. Pembocoran dokumen ini menyebabkan berbagai pihak menyimpiulkan bahwa kemajuan teknologi yang dikemas dalam teknologi dunia maya memiliki kekuatan yang dasyat yang tidak dapat diremehkan oleh kekuatan fisik yakni alustista (alat untuk sistim pertahanan) maupun kekuatan infrastruktur.

Proses penelanjangan yang dilakukan wikileaks merupakan sebuah kenyataan bahkan fakta yang tak terbantahkan bahwa kekuatan teknologi sebagai penentu utama. Akibat penelanjangan yang dilakukan oleh situs wikileaks menghadirkan dikotomi dalam masyarakat dunia yakni adanya kelompok bangsa yang mendukung apa yang dilakukan oleh para aktifis yang mengoperasikan situs ini dan juga ada kelompok bangsa yang sangat membenci para pendiri bahkan pengelola situs ini.

Bahkan akibat kebencian terhadap situs wikileaks maka berbagai upaya dilakukan oleh para negara pendukung untuk mendeskreditkan bahkan menjerat sang pendiri dengan proses hukum, dimana sang pendiri ditangkap di Inggris di London pada 07 Desember 2010, kemudian di ekstradisi ke Swedia tempat dirinya di cari atas tuduhan pelecehan seks (http://metrotvnews.com).

Akibat dari muatan situs wikileaks membuat masyarakat dunia bertanya, di suatu sisi AS sebagai negara terbesar di dunia yang menerapkan sistim demokrasi, bahkan demokrasi di Amerika Serikat menjadi acuan bagi negara-negara di belahan dunia lain. Menurut opini Yasraf Amir Piliang, betapa sistem demokrasi liberal khususnya AS – yang selama ini diagung-agungkan sebagai pembela kebebasan, keterbukaan, kejujuran dan keadilan ternyata tak lebih dari sebuah sistem korup, palsu dan biadab (Kompas, 16 Desember 2010).

Perilaku yang dilakukan oleh AS membuat banyak pertanyaan yang harus di jawab diantaranya, apakah tuntutan globalisai lebih kuat sehingga membuat demokrasi dapat di plintir atau demokrasi diperalat oleh AS untuk meraup keuntungan untuk mempertahankan diri sebagai negara adidaya ? siapakah yang lebih dipercaya dalam era demokratis apakah pihak wikileaks atau SBY ?

Wikileaks adalah non-profit media organisasi yang bermarkas di Swedia, berdedikasi untuk membawa berita penting dan informasi kepad public, Wikileaks adalah media nirlaba yang menyediakan cara yang inovatif, aman dan menjaga kerahasiaan sumber-sumber independen di seluruh dunia yang membocorkan informasi kepada wartawan kami, menerbitkan bahan signifikansi etis, politis dan sejarah sekaligus mempertahankan identitas sumber anonim, dan dengan cara yang universal untuk mengungkapkan ketidakadilan yang di tekan atau di sensor, Wikileaks telah memenangkan beberapa penghargaan, termasuk New Media Award, dari majalah Ekonomist untuk tahun 2008, Pada bulan Juni 2009 wikileaks dan Julian Assange memenangkan UK Media Award dari Amnesty International (kategori New Media) untuk publikasi tahun2008 beroleh Pljudul Kenya: The Cry of Blood – Extra Judicial Killings and Disappearances, sebuah laporan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenya tentang pembunuhan oleh Polisi di Kenya. Pada bulan Mei 2010, New York Daily News menempatkan Wikileaks pada peringkat pertama dalam situs yang benar-benar bisa mengubah berita. Pada Juli 2010 situ ini mengundang kontroversi karena pembocoran dokumen Perang Afganistan, selanjutnya pada Oktober 2010, hampir 400.000 dokumen perang Irak dibocorkan oleh situs ini. Pada November 2010, wikileaks mulai merilis kabel diplomatic Amerika Serikat.

Berbicara globlasisai dan dikaitkan dengan dengan demokrasi maka yang menjadi persoalan dari kedua hal ini ada tiga variabel yang sangat berpengaruh yakni negara (state), pemerintah (governance), pasar (market). Ketiga hal ini merupakan variable penentu dalam globalisasi terutama menyangkut ukuran berhasilnya sebuah negara menjadi negara dengan tingkat ekonomi yang mapan dan maju, sebuah negara yang kuat akan ditentukan oleh pemerintahan yang mampu menetapkan strategi untuk membangun ekonomi negrinya dengan menghasilkan berbagai produk yang dapat di pasarkan ke pasar, namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana menguasai pasar dunia.

Kebergantungan negara-negara besar seperti AS degan negara-negara berkembang sangatlah besar karena sebagai penyedia bahkan memiliki cadangan sumber daya alam yang cukup tinggi untuk dapat dikuasai dan di eksplotasi dan hal yang berikut adalah bagaimana membangun hubungan dengan negara-negar untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan.

Viktor K. Fung dan kawan-kawannya menuliskan bahwa kekuatan politik telah menentukan untuk membuat dunia tetap tidak rata, dengan menetapkan berbagai penghalang baru dan membangun terowongan dan superhighways bagi mitra dagang yang di sukainya(Viktor K. Fung, dkk, Competing In A Flat World, @kademia – 2008).

Kebijakan luar negari AS yang lebih mementingkan kepantingannya sebagai negara adikuasa menyebabkan, AS menerjemahkan tatanan hidup dunia berdasarkan perpespketif dirinya sebagai negara adikuasa dimana semua negara bergantung pada AS sebagai negara sentaral dan negara-negara dunia ketiga berperan sebagai negara peri-peri. Padahal yang sangat disayangkan yakni berperilaku machiavelian, dimana tidak lagi mempertimbangkan nilai-nilai demokratis yang sangat fundamental yakni egalitarian, terbuka, setara dan adil.

Kenyataannya dengan alasan demokrasi, dimana Irak, Afganistan dinyatakan tidak demokratis karena tidak adanya kebebasan dan kesetaraan disana AS melakukan intervensi dan melakukan pendudukan untuk menciptakan demokrasi namun kenyataannya hanyalah demokrasi procedural yang dilakukannya pemilu secara langsung dengan pola “one man one vote” akan tetapi substansi demokrasi yang mengusung nilai-nilai luhur manusia, mereka hanya menafsirkan hanya pada kepentingan ekonomi yakni demokrasi dalam konteks kepentingan ekonomis.

AS sepertinya melakukan pembatasan dan control dengan perpanjangan tanggannnya yakni para diplomat yang di utus ke negara-negara. perilaku AS yang menggunakan kekuatan diplomasi luar negerinya telah di usahakan pasca perang dunia ke II menurut Muhadi Sugiono, Sesudah perang dunia II muncul sebagai produk dari persaingan sengit antara dua orientasi kebijakan yang bertentangan di AS maupun di negara-negara kapitalis utama lainnya: antara orientasi internasionalisme liberal yang menghendaki sebuah perekonomian dunia yang terbuka, di satu pihak, dengan kapitalisme nasional yang menuntut lebih banyak peran aktif negara dalam mencapai tujuan-tujuan sosial, di lain pihak orang-orang Internasionalisme Liberal, yang diwakili oleh Wall Street dan Departemen Luar Negeri di Amerika dan City Of London di Inggris bahwa satu-satunya solusi bagi probel ekonomi dunia liberal terbuka (Muhadi Sugiono, Pustaka Pelajar – 1999).

Pendapat Muhadi Sugiono sebenarnya ingin mengaskan bahwa negara-negara dunia ketiga tidak berdaya atau tidak melakukan “bargaining power” untuk mengakan perekonomian nasional, kekuatan departemen luar negeri AS di manfaatkan sebagai alat penekan melalui kedutaan-kedutaannya di negara- negara berkembang untuk melakukan negosiasi dan penekanaan.

Wikileaks sebagai lembaga sosial menaruh perhatian pada persoalan hegemoni AS dan sekutunya yang ingina mengenguasai perekonomian dunia melihat hal ini maka para inisiatorpembentuk situs wikileaks melakukan investigasi dan mencari informasi untuk mengetahuui apa yang yang dilakukan oleh AS untuk mengusai perekpnomian dunia.
Penguasaan ekonomi dunia dilakukan dengan strategi ekonomi yang cukup baik dimana lembaga-lembaga dunia di manfaatkan oleh AS sebagaimana IMF (International Moneter Financial) dan World Bank, bahkan lembaga-lembaga keuangan dunia lainnya, tawaran kesanggupan AS serikat untuk menyediakan bantuan keuangan dan pinjaman luar negeri dengan proses pengembalian yang mudah serta ada syarat-syarat tertentu yang harus di penuhi.

Pola yang dilakukan AS ini menurut Robert Cox yang dikutip kembali oleh Muhadi bahwa, mengkarakteristiknya menjadi negara neoliberal dimana dicirikan dengan merasuknya peran negara dalam proses akumulasi, ekspansi peran negara untuk menyediakan jarring pengaman bagi mereka yang tidak beruntung dalam mekanisme pasar dan segmentasi pasar ke dalam kosentrasi modal besar pada sector oligopolistic dan bisnis kecil dalam sektor kompetitif.

Perilaku AS inilah yang menurut para pendiri wikileaks sebagai bentuk hegemoni atas negara –negara yang tidak berdaya, dilatar belakangi oleh persoalan ini maka meraka sadar bahwa ada permaslahan dengan demokrasi, demokrasi dijadikan sebagai topeng untuk meraup keuntugan. Para pendiri situs ini adalah pekerja – pekerja sosial yang memiliki komitment untuk memberikan informasi benar dan beredikasi untuk menegakan nilai-nilai demokrasi yang telah di peralat untuk kepentingan negar-negara tertentu.

Situs ini hadir sebagai salah satu pilar demokrasi yakni sebagai alat control jika ada penyimpangan yang dari kekuasaan, situs ini melihat media elektronik dalam hal ini website sebagai sebuah alat yang sesuai dengan kebutuhan global, sehingga proses penyampaian informasi untuk memberikan transparansi bagi dunia tidak dapt di salahkan sehingga, sehingga negara-negara yang memiliki hubungan baik dan bagian dari hegemoni dunia sebagaimana Inggris berperan dalam penangkapan terhadap Julian Assange yang kemudian di ekstradisi ke Swedia.

Menarik dari persoalan penangkapan ini bahwa tuduhan yang diberikan kepada Julian Assange yakni pelecehan seksual hal ini sebagai alasan agar dapat di penjarakan atau dilakukan penghukuman, tetapi apabila di hukum karena menyebarkan rahasia negara atau di tunttut dengan UU Spionase AS maka hal ini tidak relevan bahkan menghadirkan persepsi miring terhadap AS sebagai negara yang demokratis.

Globalisasi bagaikan pisau yang bermata dua yakni tajam dibagian yang menghadap keluar dan juga tajam di bagian dalam, Indonesia bagian dari dunia globalisasi, bahkan Indonesia juga di muat dalam bocoran situs tersebut mengenai masalah penentuan pendapat di Timor Timur dan pemilu presiden 2004.

Memprihatinkan adalah masalah ini tidak dimenjadi agenda pemerintah dalam menegakan wibawanya sebagai negara yang berwibawa dan otonom, permasalahan ini malah di serahkan bagi Kementrian Koordinator Informasi dan Komunikasi, padahal masalah ini persoalan dunia yang mebutuhkan pernyataan sikap resmi dari pemerintah apakah mendukung atau menentang apa yang dilakukan oleh wikileaks, dan melakukan upaya hukum yang bertujuan membuktikan diri apa yang dilakukan wikileaks benar atau salah.

Melakukan permohonan klarifikasi dari pihak kedutaan AS mengenai isu tersebut, apakah benar hal tersbut dilakukan oleh pihak kedutaan atau tidak. Indonesia sebagai salah satu negara yang berhasil menjalankan demokrasi di Asia Tenggara, namun permasalahan ini sebenarnya memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk mempertegas diri apakah Indonesia menjalankan demokrasi substansial atau demokrasi prosedural, penilaian dunia membuat harga diri bangsa tidak direndahkan di mata dunia.

Persoalan demokrasi harus disertai dengan penegakan hukum sebagai jalan terbaik, Presiden SBY jika ingin membuktikan diri bahwa apa yang diungkapkan oleh wikileaks adalah sebuah kebohongan maka President harus menempuh jalur hukum, dengan tujuan tegaknya harkat dan martabat bangsa, apabila proses hukum dijalani maka akan berdampak pada kepercayan rakyat terhadap pribadi Presiden SBY sendiri.

*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia - FISIP - UI

Jumat, 04 Maret 2011

"CAMP PENYANDRAAN ITU BERNAMA SETGAB KOALISI"

“CAMP PENYANDRAAN ITU BERNAMA SETGAB KOALISI”
*Yoyarib Mau

Layaklah Setgab (sekretariat gabungan) koalisi dari partai-partai politik pendukung pemerintahan SBY diantaranya:; Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN, PPP, PKB, PKS di katakan sebagai camp penyandraaan karena partai politik yang fungsinya sebagai perpanjangan tangan dari suara rakyat dibungkam dalam camp ini.

Proses pembumkangan tidak saja hanya cerita legenda dalam sejarah perpolitikan dunia dan politik nasional, sebagaiamana dilakukan oleh NAZI - Jerman, di Buenos Aires berkisar 1977-1998 bagaimana Militer melakukan operasi condor untuk membungkam para aktifis dan mahasiswa yang memprotes kekuasaan junta militer, sebagaiamana masa orde baru hingga reformasi 1998 terjadi penghilangan nyawa secara paksa oleh rezim orde baru karena melakukan protes terhadap rezim.

Dua aktifis yang selamat dari camp penyiksaaan jelang gerakan reformasi 1998 yakni Pius Lustrilanang dan Desmond Mahesa yang kini keduanya menjadi anggota DPR-RI dari Partai Gerindra, kasus ini sepertinya menguap dan camp penyiksaan itu sampai hari ini tidak di temukan dimana camp tesebut berada.

Belum hilang dari ingatan kita proses peralihan kekuasaan yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda serta kekerasan fisik yang dialami mahasiswa disejumlah tempat seperti Semanggi dan Trisakti, serta korban penyiksaan dan penghilangan paksa yang hingga kini tidak di ketahui keberadaannya. Namun masa kekuasaan SBY- Boediono menghadirkan sebuah model camp penyiksaan (baca: penyandraan) yang tidak bersifat represif dan dengan melakukan kekerasan fisik, tetapi lebih pada penyandraan sistem demokrasi yang kita anut, tidak ada kekerasan fisik namun kekerasan bathin.

Pemikiran mengapa setgab itu seperti camp penyiksaaan atau penyandraan karena gerakan reformasi yang memiliki tujuan diantaranya penegakan hukum, pemberantasan KKN, serta mewujudkan kehidupan demokratis dalam struktur ketatanegaraan guna mewujudkan pemerintahan negara yang demokratis sepertinya mengalami pengkerdilan bahkan pemasungan.

Padahal semangat reformasi yang berkeinginan untuk benar-benar mengembalikan kedaulatan itu ketangan rakyat, telah mengalami pergeseran karena kedaulatan sepenuhnya telah dikooptasi oleh sekretariat gabungan (setgab) koalisi partai-partai politik pendukung pemerintahan SBY-Boediono. Kondisi ini sangat jelas dan tergambar dalam keberadaan setgab dengan sepak terjangnya terutama dalam penggunaan hak angket penyelesaian kasus korupsi bank century dan juga hak angket kasus mafia pajak dimana keberadaan wakil – wakil rakyat yang ada di partai –partai politik pendukung disandra dengan berbagai tekanan baik itu ancaman perombakan kabinet terhadap kader partai politik koalisi yang membelot dan juga ancaman recall terhadap anggota DPR dari Partai Koalsi yang membelot.

Ancaman dan tekanan ini merupakan bentuk penyiksaan model baru dalam sistem pemerintahan yang demokratis saat ini, padahal keberadaan dewan perwakilan rakyat adalah mewakili kedaulatan rakyat karena di pilih langsung oleh rakyat melalui pemilu legislative yang diharapkan dapat memperjuangkan kepentingan rakyat sebagaimana agenda gerakan reformasi tahun 1998.

Para anggota DPR ini diberikan mandate oleh rakyat untuk menjadi perpanjangan tangan rakyat karena keterbatasan ruang (space) dimensi mandat menurut A.H. Birch yang mendeskripsikan secara garis besar sebagai berikut (Samsul Wahidin – Pustaka Pelajar - 2011);
a. The concept of delegated repsesentation, Wakil adalah agen /perantara atau juru bicara yang bertindak atas nama yang diwakilinya.
b. The concept of microcosmic representation, Sifat-sifat wakil itu mempunyai kesamaan dengan sifat-sifat golongan atau kelas orang-orang tertentu yang diwakilinya.
c. The concept of symbolic representation, Wakil yang bersangkutan melambangkan identitas / kualitas, golongan/kelas orang-orang tertentu yang diwakilinya.
d. The concept of elective representation, Konsep ini bahwa seorang wakil pada dasarnya bertindak merepresentasikan pada pemilih.
e. The concept of party representation, Para wakil itu tidak lagi merepsentasikan keterwakilan dengan rakyat, mereka cenderung menjadi wakil organisasi politik atau konkretnya adalah wakil dari partai politik.

Dari deskripsi diatas dapat di golongkan bahwa keberadaan wakil rakyat di DPR memiliki dua mandate deskripis pada poin (a-d) ada kecenderungan mewakili rakyat atau golongan tertentu sedangkan pada poin (e) menunjukan bahwa anggota DPR juga dapat mewakili partai politik. Kedua pemikiran ini memiliki kebenaran yang tidak sesederhana mungkin masing-masing memiliki keabsahan, namun kondisi saat ini dalam permasalahan setgab koalisi dan sistem kelembagaan yang ada dalam Indonesia sejatinya memberikan kekuasaan atau mandate itu lebih besar ada pada partai politik.

Dengan demikian keberadaan sistem kelembagaan kita yang memberikan legitimasi lebih kuata ada pada partai politik menyebabkan setgab dibentuk sebagai sebuah upaya untuk membulatkan suara angota partai koalisiagar sepenuhnya memiliki satu suara dalam paduan suara koalisi. Padahal dalam demokrasi langsung adalah bentuk pemerintahan yang paling baik karena semuanya tergantung pada rakyat.

Apabila melihat proses pemilihan legislative keberadaan kertas suara tidak hanya gambar partai tetapi nama dan gambar wakil rakyat pun dicantumkan dalam kertas suara dan pemilihan pun dilakukan dengan mencoblos / mencontreng nama atau gambar wakil rakyat dan bukan partai politik, model ini sebenarnya memberikan legitimasi yang kuat bagi seorang wakil rakyat untuk berpihak pada kepentingan rakyat.

Cheks and Balances

Prinsip cheks and balances merupakan prinsip-prinsip demokrasi sehingga ketika pemerintah yang dalam menjalankan kekuasaan melakukan kesalahan atau diduga melakukan praktek-praktek yang menyebabkan kerugian ada pada negara maka wakil rakyat dalam hal ini anggota DPR memiliki wewenang untuk melakukan tugasnya untuk meminta pertanggung jawaban pemerintah sebagaimana kasus korupsi bank century dan kasus mafia pajak, DPR memiliki hak untuk menentukan sikapnya menolak atau mendukung hak angket.

Keberadaan camp setgab koalisi tidak serta merta harus membatasi fungsi dan hak anggota DPR untuk melakukan prinsip demokrasi cheks and balances, karena jika kekuatan partai politik koalisi di paksa untuk menekan anggota untuk melawan hati nurani dan juga mengkhianati kedaulatan rakyat maka model penyiksaan terhadap sistem demokrasi telah berganti baju dalam bentuk yang lebih tersistem

Penyelesaian kasus mafia pajak menjadi komitment bersama antara eksekutif dan yudikatif, SBY – Boediono dalam masa kampanyenya pada pemilu 2009 yang lalu dengan 15 janji dan salat satu butir janji pada butir ke 12 ada komitment untuk melakukan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi terus di tingkatkan, pemenuhan janji itu SBY mencoba melakukannya walau terkesan tidak penuh hati dalam rapat cabinet terbatas di istana president yang dihadiri lembaga penegak hukum seperti Polri dan dan Kejaksaan dan sejumlah menteri hadir.

Instruksi ini tidak maksimal sehingga wajar jika para wakil rakyat di DPR mengajukan hak angket untuk mewujdukan prinsip cheks and balances namun tidak tercapai. Komitment SBY untuk mewujudkan prinsip demokrasi hanyalah hayalan karena setelah voting hak angket maka partai – partai koalisi dalam setgab yang memilih untuk mendukung dilakukan hak angket atas kasus mafia pajak diancam dengan menggantikan kader partai pendukung hak angket yang ada di cabinet serta recall bagi dua anggota DPR yang berasal dari PKB.

Vicious Circle

Keberadaan setgab koalisi berubah menjadi vicious circle atau lingkaran setan yang terus menerus terjadi, karena partai koalisi seperti Partai Golkar dan PKS yang dipaksa untuk mengundurkan diri dari setgab kemudian menghimpun partai lain seperti PDIP atau Gerindra untuk ada dalam lingkaran setgab, kemungkinan dalam perjalanan jika ada perbedaan kepentingan apalagi menjelang pemilu 2014 setiap partai akan mencoba mencari kesempatan untuk membangun kepercayaan di mata masyarakat maka tidak menutup kemungkinan untuk melakukan manuver-manuver yang berseberangan dengan partai politik lain yang ada di setgab koalisi.

Apabila hal ini terjadi maka akan berdmpak terhadap pergantian cabinet, dimana setiap partai yang berpisah dari setgab sekaligus akan menarik kader partai tersebut dari kabinet sehingga program-program kementrian dari menteri sebelumnya akan berbeda dengan menteri yang baru sehingga menyebabkan ketidaksenambungan dalam implementasinya, dampaknya rakyat akan disiksa karena program yang mubazir dan telah menghabiskan anggaran yang cukup banyak sehingga impian untuk memacu pertumbuhan ekonomi mencapai 7 % hanyalah mimpi di siang bolong.

*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI, Sekertaris Fungsional Aksi dan Pelayanan Pengurus Pusat Gerkan Mahasiswa Kristen Indonesia masa bakti 2010-2012