Minggu, 15 Mei 2011

"DEMOKRASI STIMULUS"

“DEMOKRASI STIMULUS ”
(Studi Komparatif Psikologi Politik dan Teori Politik)
*Yoyarib Mau

Dalam perkembangan politik dewasa ini tidak terlepas dari sebuah proses perkembangan yang panjang, seperti adanya pendekatan atau teori politik modern seperti teori elit, fasisme , demokrasi, pluralitas selain teori ada juga pendekatan seperti Laswell, Easton, dan Almond maka pendekatan yang cukup tua dan di pakai dalam pendekatan politik masa lalu adalah pendekatan tingkalaku.

Menurut Sudarman Danim, bahwa ilmu perilaku hanya terletak pada titik tekanannya, dimana ilmu perilaku (behavioral sciences) memfokuskan diri pada prilaku manusia, meskipun tidak jarang pembedaan itu hanya dapat dilakukan secara gradual (bertahap) saja (Sudarwan Danim, Bumi Aksara, 2007)

Pendekatan perilaku dibutuhkan dalam ilmu politik terutama dalam kebijakan publik namun kebijakan publik ada jika ada problem dalam masyarakat, maka individu menjadi penting sehingga menurut Nevil Johnson yang dikutip kembali oleh Wayne Parsons, individu-individu harus memahami bagaimana tindakan mereka selalu terkait dengan aturan dalam berhubungan dengan orang lain, dan ini terjadi hanya dengan cara melakukan penilaian (judgment). Konsekkuensinya, sebagaian besar karyanya dicurahkan pada analisis penilaian dari sudut pandang yang disebutnya sebagai “perilaku apresiatif” walaupun apresiasi dan penilaian akan memperlihatkan kapasitas individual (Wayne Parsons - Public Policy – Kencana - 2008).

Individu menjadi penting dalam pendekatan perilaku dan menjadi obyek dalam pendekatan perilaku. Sehingga kelemahan-kelemahan menurut SP. Varma; Pertama, bahwa kaum behaviorisme dalam membangun suatu kerangka konseptual pada tingkatan teori benar-benar mengecewakan, mereka sebagian besar hanya berurusan dengan perilaku individual atau dengan tindakan yang terjadi dalam kelompok-kelompok kecil yang saling berhadap-hadapan. Pada dasarnya mereka hanya memusatkan perhatian pada perilaku individu dan kelompok, dan kurang memberikan perhatian pada lembaga (Wayne Parson – Kencana – 2008).

Kedua, Menurut E. L. Thorndike memberikan sebutan “kaidah mengenai akibat” atau teori belajar Secara intuitif manusia mengetahui kaidah ini adalah: jika tindakan seekor hewan (seorang manusia) diikuti oleh sebuah penghargaan, maka si subyek ingin mengulang tindakannya atau kurang-lebih menyempurnakannya untuk mempertahankan, namun tindakan ini tidak akan terus dilakukan jika penghargaan tidak pernah kunjung datang (Anthony Gidens & Jonathan Turner - Pustaka Pelajar – 2008).

Ketiga, Pendekatan Stimulus dan Rangsangan ini juga dikembangkan oleh Byrhus Frederic Skinner yang kemudian dikenal dengan sebutan Teori Skinner mengenai tingkahlaku manusia terutama didasarkan pada konsep penguatan positif, ini berarti semakin anda memuji dan member hadiah seseorang, semakin ia bertingka laku sesuai dengan keinginan anda (Linda Smith & William Raeper – Kanisius – 2000). Namun menurut Antoni Giddens dan Jonathan Turner, Ciri-ciri stimulus yang membuatnya efektif sangat banyak, Beberapa merupakan bawaan, artinya bagian dari warisan genetic subyek, sisanya bergantung pada keefektifannya untuk memampukan subyek menyadari stimulus atau kaitan stimulus dengan penghargaan. Penghargaan itu sendiri sering di sebut stimulus yang menguatkan (stimulus penguat) (Anthony Gidens & Jonathan Turner - Pustaka Pelajar – 2008).

Dari ketiga kelemahan yang dapat diidentifikasi yakni obeservasi atau pengamatan pendekatan perilaku yang penekanan lebih pada individu dari pada kelompok, kemudian adanya teori belajar yang mana ditindakan atau perilaku selalu dihargai dengan penghargaan dan kemudian kelamahan berikut adalah dari pendekatan stimulus atau ransangan ketiga pendekatan diatas menarik untuk di kritisi namun pilihan yang akan di bahas dalam pembahasan ini adalah pendekatan yang lebih menekankan peran individu dan penedekatan stimulus atau rangsangan.

Pendekatan Penghargaan tidak dibahas atau tidak dikritisi dalam pembahasan ini karena pendekatan penghargaan adalah sebuh hal yang wajar. Orang bekerja wajar mendapatkan upah atau penghargaan dengan menerima gaji. Orang mengikuti perlombaan mereka yang menang atau berhasil dalam kompetisi wajib mendapatkan penghargaan.
Mengapa pembahasan ini lebih mendalami pendekatan perilaku individu menjadi sentral observasi dibandingkan kelompok atau institusi ? obyek pengamatan hanya kepada individu sangatlah lemah dan tidak memberikan dampak yang cukup baik dalam ilmu politik karena ilmu politik selalu berhubungan dengan kebijakan maka Charles Lindblom mengatakan bahwa pembuatan kebijakan sesungguhnya sebuah proses yang interaktif dan kompleks, tanpa awal dan tanpa akhir, Lindblom menambahkan bahwa untuk mempelajari proses kebijakan kita harus mempertimbangkan pemilihan umum, birokrasi, partai dan politisi serta kelompok kepentingan((Wayne Parson – Kencana – 2008).

Kelemahan Penekanan Pada Individu

Penekanan pendekatan perilaku pada individu sebagai subyek observasinya yang menyangkut tingka melalui meramal dan mengontrol tingkah laku guna memudahkan. Pendekatan ini mungkin diibaratkan seperti alegori Plato dan Gua, yang bertujuan untuk menjelaskan bahwa; Plato hendak mengetengahkan satu hal. Kadang orang terjebak mengamini apa yang mereka persepsi sebagai “kenyataan sebenarnya”. Sementara faktanya belum tentu — bisa saja apa yang dilihat itu aslinya cuma sebagian kecil (www. zenosphere.wordpress.com).

Gambaran kehidupan komunitas kecil atau sekumpulan tawanan yang merupakan. Perumpamaan Gua versi Plato yang sebenarnya agak panjang; Pertama-tama kita bayangkan sekelompok orang yang ditawan sejak lahir. Orang-orang ini sejak kecil dirantai dalam gua. Tangan, kepala, dan kaki mereka diikat secara ketat, sedemikian hingga seumur hidup cuma bisa menatap dinding di depan mereka. Di belakang mereka terdapat api unggun besar. Apabila ada orang atau binatang lewat, maka bayangannya akan terpantul ke dinding di depan para tawanan. Setiap kali orang atau binatang itu bersuara, suaranya akan bergema sampai ke telinga para tawanan.

Karena seumur hidup cuma melihat pantulan di dinding, para tawanan mengira bayangan dan gema itu sebagai “kenyataan sebenarnya”. Mereka tidak menyadari bahwa semua itu sekadar pantulan dari benda di belakang mereka. Poin utama Plato sampai di sini adalah bahwa manusia menyangka kenyataan berdasarkan apa yang mereka persepsi. Dalam kasus ini, tawanan yang seumur hidup menatap dinding akan terdorong menganggap bayang-bayang — dan suara gema — sebagai sebentuk realitas. Plato mengetengahkan: Akan tetapi, bagaimana kalau kita lepaskan satu orang dari tawanan tersebut? Apabila ia kita seret keluar gua maka ia akan merasa kesakitan. Badannya yang seumur hidup dirantai tak biasa bergerak. Matanya akan perih menatap cahaya terang dunia luar. Orang ini akan mengalami kesakitan yang luar biasa.

Meskipun begitu, setelah beberapa waktu, dia akan beradaptasi. Matanya menyesuaikan diri; demikian pula dengan badannya. Dia menyadari bahwa ada kenyataan yang melampaui bayangan dalam gua. Dalam sekejap pengetahuannya bertambah — ia tidak lagi menjadi “orang gua” yang naif. Ketika melihat kembali ke dalam gua, orang ini akan menyadari bahwa kenyataan yang dipercaya selama ini salah. Semua yang ia lihat dan dengar itu bukan kenyataan sebenarnya — melainkan, sekadar refleksi dari kenyataan yang lebih tinggi (www. zenosphere.wordpress.com).

Kondisi Gua dan para tawanan merupakan bukti dari keterbatasan atau sempitnya pengetahuan yang dimiliki sehingga dalam ilmu politik yang hadir dengan persoalan yang kompleks dimana tidak hanya pada pribadi atau tawanan yang yang memiliki aktifitas dan kegiatan yang terbatas dan menjalani rutinitas tetapi perlu pendekatan yang lain yang tepat untuk memahamai persoalan politik yang di dalamnya menyangkut kebijakan negara.

Sehingga perlu pendekatan yang tidak menjadikan individu atau kelompok kecil yang dijadikan sebagai kajian karena Konsep Easton tentang kehidupan politik adalah sebuah Sistem perilaku yang terbaur dalam suatu lingkungan pada pengaruh – pengaruh yang diungkap oleh sistem politik itu sendiri dan pada gilirannya saling bereaksi. Hal ini berarti di luar dan di balik sistem politik terdapat sistem-sistem lain atau lingkungan (S. P. Varma, Teori Politik Modern, Rajawali Pers – 2007)

Ada banyak organ atau sistem yang diamati atau menjadi bahan pertimbangan, sehingga obyek pengamatan tidak hanya pada individu yang ditawarkan oleh pendekatan behaviorisme. Proses mendapatkan input di terima dalam bentuk aliran lingkungan, dimediasi melalui saluran input (partai, media, birokrasi, kelompok kepentigan) kemudian permintaan di dalam sistem politik dan konversinya menjadi output dan menghasilkan sebuah hasil kebijakan. Proses ini memiliki keakuratan yang dapat dipercaya dan sangat ilmiah karena melalui sebuah kerangka sistem politik yang baku.
Jika dibandingkan dengan hasil wawancara atau pengamatan terhadap individu atau kelompok kecil yang berada di lingkungan yang terbatas maka hasil kebijakan yang dihasilkan pun memiliki kualitas yang diragukan karena terbatas dan tidak sesuai dengan kenyataan dunia yang luas dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Kelemahan Pendekatan Stimulus atau Rangsangan

Menurut Skinner, seorang manusia adalah hewan yang lebih tinggi: “manusia jauh melebihi seekor anjing, tetapi seperti anjing ia berada dalam jangkauan analisis ilmiah. Bahkan Arthur Koestler mengkritik Behaviorisme benar-benar merupakan sejenis pandangan yang rata dengan tanah, menerapkan kemampuan-kemampuan dan perasaan-perasaan manusia pada binatang dengan kesalahan sebaliknya: menyangkal kemampuan manusia yang tidak terdapat pada hewan yang lebih rendah (Linda Smith dan William Raeper – Kanisius- 2000).

Kerumunan masa akan terkonsentrasi disuatu tempat kecelakaan, kecelakaan ini dengan sendirinya akan menarik perhatian manusia tanpa suatu komando atau instruksi, Hal ini akan sama seperti semut yang akan muncul dan berkerumunan secara tiba-tiba ditempat penyimpanan gula yang tidak tertutup rapat. Sehingga kerumunan atau berkumpulnya orang atau hewan selalu dipengaruhi oleh faktor lain, orang atau hewan berkumpul atau tertarik bersama-sama berada di suatu tempat dalam jumlah yang banyak karena ada unsur atau faktor lain yang menjadi stimulan.

Pendekatan Stimulus dan Rangsangan ibarat pendekatan yang bisa saja di pakai dalam kebijakan partai politik pada tataran tertentu atau awal memulai sebuah konsolidasi politik namun ketika menuju pada kedewasan politik maka pendekatan ini bisa menjadi boomerang bagi sebuah era politik terutama bagi salah satu pilar demokrasi yakni partai politik.

Meneropong partai-partai politik Indonesia daalam perkembanganya pada tiga dekade yang berbeda masing-masing memiliki ciri tersendiri bagi berdirinya partai politik. Masa orde lama atau pasca kemerdekaan, partai politik memiliki kecenderungan mengorganisir diri menjadi partai politik berdasarkan aliran-aliran pemikiran yang berkembang dan diperjuangakan bahklan diperdebatkan pada waktu itu yakni, Nasionalisme, Islam, dan Komunisme. Kehadiran Ideologi-ideologi ini menyebabkan adanya multi partai, ideology ini sebagai rangsangan untuk masa pemilih (voter) memilih berdasarkan ikatan ideologi yang ada.

Berbeda dengan masa orde baru dimana kepemimpinan Soeharto dengan membekukan banyaknya partai politik dengan hanya menjadi 3 partai politik namun kebebasan dibatasi dan ditekan untuk penguasa sangat otoriter sehingga penentuan partai politik dan siapa yang menjadi wakil rakyat semua ditentukan oleh penguasa, dan apabila rakyat tidak terlibat partai politik di sebut masa mengambang dan diharuskan untuk memilih Golkar karena jika tidak maka akan dikucilkan bahkan distigmakan sebagai pengikut aliran tertentu yang di haramkan pemerintah orde baru bentuk ancaman yang terstruktur, model ancaman ini dapat dilihat sebagai bentuk rangsangan atau stimulasi politik untuk mendapatkan dukungan dari rakyat.

Tahapan reformasi yang diharapkan untuk menegakan demokrasi yang substansial malah terjebak dalam euphoria demokrasi dimana karena tujuan kekuasaan maka keberadaan rakyat dijadikan sebagai target, dimana partai politik melakukan pola pendektan stimulus atau rangsangan. Dimana siapa yang membayar atau menyumbang bagi komunitas atau desanya maka partai tersebut yang di pilih atau diikutin. Arif Priyadi dalam kajian politiknya, bahwa di dalam tubuh partai politik mengalir kuat arus semangat pragmatisme politik, dan oportunisme. Bahkan, pragmatisme dan oportunisme ini telah tereduksi menjadi prevalence, atau kelaziman individu elite partai. Artinya politik dilihat hanya sebagai pertarungan kepentingan, bukan sesuatu yang beradab (Analisis CSIS Vol. 35, No. 1 Maret 2006).

Korupsi sebagai Bentuk Demokrasi Stimulus atau Rangsangan

Menjadi lazim bahwa ketika pemilih akan memilih orang atau figure tertentu berdasarkan besarnya stimulan atau rangsangan yang diberikan bukan lagi memilih karena pertimbangan ideologi atau program partai politik tersebut ataupun pertimbangan rasional figure atau pasangan kandidat dalam kompetisi pemilu.

Pertimbangan ideologi harus menjadi utama pemilih harus mengetahui partai politik ini dan gambran umum tentang keberadaan partai politik tersebut, manusia tidaklah seperti anjing yang langsung menyambar makanan atau daging yang dilemparkan bagi dirinya, padahal yang di lemparkan kepadanya telah dicampuri oleh racun atu potas.

M. Djadijono menuliskan kembali pemikiran Arbi Sanit bahwa, Ideologi dapat di pahami sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita dan nilai-nilai dasar dan keyakinan-keyakinan yang dijadikan pedoman normative kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, sedangkan ideologi politik diartikan sebagai sistem kepercayaan yang memberikan penjelasan-penjelasan pembenaran mengenai pentingnya keteraturan politik bagi masyarakat guna mengefektifkan pencapaian tujuan yang diinginkan, tidak saja itu tetapi beliau menambahkan apa yang menjadi pikiran Robert L. Cord bahwa Ideologi memiliki aneka macam fungsi, antara lain sebagai basis legitimasi politik, penuntunan-penuntunan kebijakan dan tingkalaku politik (Analisis CSIS Vol. 35, No.1 Maret 2006).

Korupsi yang membudaya yang dilakukan hampir dalam seluruh struktur negara, baik itu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif membuat tingkat kepercayaan masyarakat kepada negara menjadi lemah. Sehingga untuk memperbaiki kepercayaan kepada negara maka negara membentuk KPK, bukti konkrit telah menjalankan tugasnya dengan menahan sejumlah legislative. Sejumlah anggota DPR RI yang melakukan korupsi secara berjemaah pada periode 2004 – 2009 dalam proses pemilihan Deputi Gubernur Indonesia, anggota DPR RI lainnya juga ditahan dengan persoalan kasus suap berbagai proyek dalam negara diantaranya, Suap alih fungsi Hutan mangrove untuk Pelabuhan Tanjung Api-api, Kasus Suap yang terakhir yang sangat menghebohkan yakni suap proyek Wisma Atlet untuk Sea Games yang Santer beritanya karena melibatkan Partai Penguasa yakni Muhamad Nazarudin Bendahara Umum dan Anggelina Sondakh Wakil Bendahara.

Di tingkat Eksekutif ada Walikota Minahasa yang Jeferson J. Rumayar yang walau terpilih untuk kedua kalinya namun terjerat korupsi, Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo yang melakukan korupsi APBD sehingga di vonis Penjara, Gubernur Bengkulu Agusrin Maryono Najamuddin, ada juga petinggi Polri yang menyalah gunakan kekuasaan yakni Mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Susno terbukti bersalah dalam kasus dalam korupsi penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari dan dana pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008.

Level Yudikatif ada Jaksajaksa Urip Tri Gunawan, terdakwa penerima suap dari pengusaha Artalyta Suryani dalam penyelsaian masalah BLBI, divonis 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta atau hukuman pengganti selama delapan bulan penjara. Jaksa nonaktif Cirus Sinaga didakwa terkait kasus mafia hukum dalam kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan. Dan sejumlah petinggi dan rakyat yang terlibat suap –menyauap dan korupsi.

Tindakan Korupsi dilakukan secara pribadi atau individu tetapi bukan karena murni individu yang mendorong untuk melakukan suap-menyuap atau tindakan korupsi, melainkan ada faktor struktural yang sistematis setengah memaksa agar para individu ini melakukan korupsi, proses politik yang dihadirkan oleh budaya partai politik dan birokrasi menjadi dorongan bagi para individu ini untuk melakukan korupsi.
Anggota –anggota legislative sebagai sumber penghasilan bagi kas partai politik, karena partai politik yang tidak mandiri, tidak memiliki usaha tetap, serta sumbangan anggota partai bagi kas partai politik. Persoalan lain adalah para individu legislatif dalam proses panjang menjadi anggota legislatife karena tidak memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai sehingga harus mempunyai financial yang cukup untuk membeli suara dari rakyat atau dukungan kepala desa, kepala suku atau paguyuban serta ormas-ormas pendukung untuk mendukung bahkan memberikan suara dukungan dalam pemilu.

Pada tingkatan birokrasi untuk mencapai jabatan structural jabatan tertentu individu harus menyetor sejumlah dana untuk dapat menduduki posisi tertentu, atau mengarahkan para bawahan dari instansi yang dipimpinnya untuk memobilisasi dukungan bagi calon tertentu. Posisi atau jabatan strategis dalam struktur birokrasi yang diperoleh dengan membayar sejumlah dana membuat proses penyelesaian kasus atau hukum, dimana para penegak hukum harus memeras terdakwa atau tersangka untuk memenuhi dana yang akan disetor untuk mendapatkan jabatan strategis tersebut.

Pemilu sebagai salah satu proses demokrasi menghasilkan bentuk demokrasi yang lain yakni “demokrasi stimulus atau rangsan”. Tindakan individu tidak terjadi dengan sendiri tetapi faktor lingkungan, partai politik bahkan birokrasi mendorong individu / pejabat untuk melakukan tindakan stimulus dan rangsan untuk mendapatkan jabatan. Perilaku ini kemudian menjadi lingkaran setan yang terus menerus berputar.

Manusia melebihi kemampuan binatang, jika binatang melihat bentuk daging atau roti yang sering di konsumsi tidak akan lagi memakai nalar atau logika yang merupakan idelogi manusia untuk memahami barang atau pilihan partai politik yang di tawarkan.

Manusia memiliki perbedaan jauh darti binatang dalam konteks tertentu manusia memiliki pluralitas yang merupakan kondisi sebagai tambahan bagi manusia untuk berada di bumi, sehingga manusia secara konstan dan spontan akan menciptakan kondisi melalui nalar dan pemikirannya untuk menanggapi apa yang ditawarkan pada dirinya.

Partai Politik yang ingin melakukan politik uang atau tawaran uang agar rakyat memilih partai politik tertentu atau calon kepala daerah, dapat dilihat sebagai pendekatan stimulus atau rangsangan untuk memilih. Persoalan ini membuat Parti politik atau birokrasi tersebut menjadikan pemilih atau rakyat ibarat binatang yang ditawarkan roti dan juga sebaliknya sapi perahan yang diperah susunya.

Pengabaian terhadap diri manusia yang dibekali nalar untuk melakukan pertimbangan tertentu sebelum melakukan pemilihan. Nalar menjadi lemah karena kondisi ekonomi menjadi alasan orang menerima uang serta menjual suaranya kepada partai politik maka tepatlah kualitas demokrasi kita adalah demokrasi behaviorisme stimulus atau rangsangan.

Pemikiran Politik sebaiknya memahamai manusia adalah makhluk berpikir dan hidup bersama dalam kelompok-kelompok memandang politik itu sebagai ikhtiar untuk hidup bersama dalam rangka mencapai “yang baik”. Dalam mencapai kehidupan yang baik itu maka manusia di harapkan untuk mengambil peran, proses mengambil peran ini tidak dilakukan berdasarkan rangsangan atau stimulasi yang dipengaruhi oleh orang lain.

Partisipasi politik hari ini di Indonesia, menjadi pertanyaan besar apakah sudah mewujudkan demokrasi yang substansial ? rakyat yang memberikan suaranya bukan di dasari oleh kesadaran nalar untuk memilih partai politik. Akan tetapi pemilu dilakukan dengan stimulasi atau rangsangan maka jawabannya adalah rakyat dipaksa untuk menjalani demokrasi stimulus.

*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP - UI

Kamis, 05 Mei 2011

"FROZEN DEMOCRACY MYANMAR"

“FROZEN DEMOCRACY MYANMAR”
*Yoyarib Mau


Perwujudan Demokrasi di Myanmar atau Burma tidak semudah yang di bayangkan di negara Asean lainnya, militer memiliki peranan yang cukup kuat, yang membedakan dengan Thailand adalah kudeta di Thailand sering terjadi dalam selang beberapa tahun saja pasca pemilu dan kesamaannya adalah dilakukan oleh sesama militer.

Myanmar merupakan bekas jajahan Inggris di mana Inggris merupakan negara cikal bakal hadirnya Demokrasi namun substansi demokrasi tidak bertumbuh dengan semestinya di negara bekas jajahannya. Demokrasi terjadi pada abad 18-19 yang dianggap sebagai masa kebangkitan demokrasi, demokrasi berawal dari kerajaan Inggris dengan pergerakan sosialnya berlangsung cepat, karena Inggris sebagai negara yang maju dari segi jurnalisme. Kolonialisasi yang dilakukan Inggris seharusnya secara tidak langsung memberikan dampak bagi wilayah jajahannya dalam hal transformasi nilai-nilai demokrasi, yang dapat disebar di seluruh dunia termasuk kepada Myanmar sebagai salah satu jajahan Kerajaan Inggris dahulu.

Akan tetapi meskipun Myanmar adalah jajahan Inggris, belum tentu nilai-nilai demokrasi Inggris dianut oleh masyarakat Myanmar, hal ini terbukti dengan rezim otoriter yang masih berkuasa di Myanmar dan membatasi peran aktor politik lain dalam hal ini sipil yang akan mewujudkan demokrasi di Myanmar, khususnya Aung San Suu Kyi ( Suu Kyi ) yang pernah menerima penghargaan nobel Perdamaian bahkan memenangi pemilu tetapi tidak diakui kemenangan yang diraih, padahal Myanmar merupakan tanah kelahirananya.

Budaya Kudeta yang dilakukan di Myanmar oleh para petinggi militer merupakan salah satu faktor mandeknya perwujudan demokrasi di Myanmar atau Burma. Kudeta terhadap pemerintahan Myanmar untuk menguatkan posisi pemerintahan maka sangat dibutuhkan sebuah sistem pemerintahan yang dapat menjamin keberlangsungan pemerintahan itu dengan baik.

Sistem pemerintahan yang dianut merupakan sebuah strategi kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan menurut pengamat Politik ; M. Alfan Alfian, Sejarah Myanmar dapat dilihat sejak awal kemerdekaan, 4 Januari 1948, sebagai republik independen Union of Burma, dengan Sao Shwe Thaik sebagai Presiden dan U Nu sebagai Perdana Menteri. Demokrasi di Myanmar terhenti pada 1962, ketika Jenderal Ne Win melancarkan kudeta dan sempat mengendalikan pemerintahan selama 26 tahun. Junta militer yang otoriter memperkokoh cengkeraman kekuasannya melalui kudeta dan membatasi ruang gerak kaum oposisi pro-demokrasi. Demonstrasi-demonstrasi pro-demokrasi seperti yang telah terjadi pada 1974, 1988 dan 2007 ini, selalu dihadapi dengan kekerasan militer. Pada 1988 Jenderal Saw Maung melakukan kudeta dan membentuk pemerintahan yang dikenal sebagai State Law and Order Restoration Council (SLORC). Pada 1989, SLORC mengumumkan keadaan darurat untuk memukul para demonstran pro-demokrasi. Pada 1989 rezim SLORC mengubah nama Burma menjadi Myanmar (alfanalfian.multiply.com)

Pemerintahan yang di kenal dengan SLORC atau Dewan Pemulihan Hukum dan Peraturan, lembaga yang bersifat kolektif yang diduduki oleh sejumlah petinggi militer merupakan sebuah strategi agar bagaimana pemerintahan dapat dikendalikan, bentuk pemerintahan ini dipakai sebagai kekuatan hukum atau sebagai sebuah upaya konstitusional dalam menjalankan pemerintahan, awal keberadaan SLORC bertujuan menekankan bahwa SLORC dalam pemerintahannya akan memperjuangkan transisi dari militer ke sipil, dimana menyiapkan kebutuhan pemerintahan sipil yang demokratis berdasarkan hasil pemilu.

Keberadaan SLORC sebagai lembaga pemerintahan transisional untuk menyiapkan pemilu yang demokratis dan menyiapkan kepemimpinan sipil namun persoalannya ketika Pemilu1990 junta militer tidak mengakui kemenangan NLD, padahal hasil pemilu menunjukkan kemenangan NLD, kali ini kemenangan yang sarat dengan kecurangan dan rekayasa junta militer tidak diakui oleh NLD. NLD didirikan pada 27 September 1988, dan Aung San Suu Kyi adalah warga sipil Myanmar yang merupakan pemimpin partai NLD.
Pertanyaan pembahasan kita yakni, Apa yang menyebabkan Pemerintahan Junta Militer yang membentuk diri dalam SLORC tidak menyerahkan tambuk kekuasaan ke tangan sipil tetapi merekaya konstitusi untuk menghambat berkuasanya sipil ? Artikel ini akan membahas secara teoritis mengapa junta militer begitu kuatnya di Myanmar sehingga tidak menyerahkan kekuasan ini ke tangan sipil, dari sudut pandang Pretorianisme Samuel Huntington.

Menurut Samuel P. Huntington dalam bukunya Tertib Politik menjelaskan bahwa, di dalam Oligarki Pretorian perjuangan untuk memperoleh kekuasaan seringkali dibarengi dengan kudeta tetapi aksinya hanya merupakan “revolusi istana” ketika satu anggota oligarki mengganti kedudukan anggota lain tanpa menumpahkan darah. Kepemimpinan puncak memang mengalami perubahan, tetapi di dalam ruang lingkup wewenang pemerintahan atau partisipasi tidak terjadi perubahan yang berarti dan landasan legitimasi sebagaimana halnya kerajaan mulai berakhir dan slogan serta program baru revolusi dan pembangunan nasional mulai disebarluaskan (Samuel P. Huntington - Rajawali Pers – 2004)

Sedangkan menurut Saurip Kadi mengungkapkan bahwa, Kondisi masyarakat pretorian inilah yang mendorong militer untuk terlibat dalam politik karena masyarakatnya berupaya masuk ke dalam politik untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan meskipun bangunan politiknya belum mapan (Saurip Kadi – PARRHESIA - 2006)

Kondisi inilah yang mendorong militer Burma atau Myanmar untuk menguasai kekuasaan karena keadaan politik yang belum mapan. Penguasaan militer terhadap pemerintahan Myanmar memiliki kesamaan dengan apa yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru dimana tentara Myanmar adalah para pejuang untuk memperjuangkan kemerdekaan Burma/Myanmar dari kolonialisme Inggris.

Dalam perkembangan masyarakat pretorian diperhadapkan dengan kemajuan peradaban dimana pemikiran pemerintahan yang semakin mengalami perkembangan dengan hadirnya bentuk-bentuk model pemerintahan seperti demokrasi, yang walaupun peranan militer dibutuhkan untuk turut campur tangan di bidang politik untuk mengatasi mala petaka atau kekacauan politik dalam sebuah negara sehingga terciptanya stabilitas dan integrasi bangsa.

Namun semangat demokrasi memiliki nilai-nilai yang dapat diterima digalang memenuhi seantero masyarakat dunia, yang mana esensi nurani demokrasi yang menekankan bahwa para anggota militer pada kesempatan yang sama harus menyerahkan kembali kekuasaan kepada pemerintahan sipil melalui pemilihan umum.

Keberadaan Militer yang kuat di Myanmar yang cukup mengakar dengan membuat konstruksi bangunan konstitusi untuk mendukung keberadaan mereka semakin membuat demokrasi hanyalah wacana dan tidak mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya dimana kekuasaan di tangan sipil.

Di Awal abad ke 18, Myanmar menjadi bagian dari wilayah jajahan Inggris ( Indian Empire ). Merdeka di tahun 1948 Myanmar mengalami instabilitas politik karena perpecahan dalam partai yang berkuasa ( AFPL ). Myanmar menganut politik multi partai dan mengakui adanya 10 partai. Pemerintahan SPDC ( State Peace and Development / Dewan Ketentraman dan Pembangunan Negara ) masih merupakan pemerintahan sementara menunggu terbentuknya konstitusi baruyalah akal-akalan junta militer untuk memperpanjang kekuasaanya, Dalam kurun waktu yang cukup panjang Myanmar merdeka namun dalam perkembangannya tidaklah se-stabil negara lain yang ada di Asia Tenggara, karena gejolak pemerintahan dimana pemerintahannya berada dalam masyarakat pretorian.

Sebelum terbentuknya SPDC atau Dewan Ketentraman dan Pembangunan Negara lebih didahului dengan SLORC atau Dewan Pemulihan Hukum dan Peraturan, karena pada masa pemerintahan sekitar tahun 1988 menuju 1999 saat SLORC berdiri, keberadaannya lebih pada usaha untuk memulihkan keadaan darurat dalam negeri karena perpecahan dan kudeta yang terus melanda negeri ini.

Keberadaan SLORC mengalami tekanan dari berbagai pihak baik itu ‘bhiksu’ sebagai simbol masyarakat Myanmar yang jujur dan memiliki moral yang dapat di pertanggungjawabkan melakukan protes, karena merebaknya korupsi oleh para petinggi militer, kondisi Myanmar waktu itu menunjukan keadaan yang mencerminkan benar-benar masyarakat pretorian sebagaimana yang di ungkapkan oleh Samuel P. Huntington; Ciri khas yang menandai masyarakat praetorian adalah kalau daerah pedesaaan pasif dan masa pedesaan disingkirkan dari gelangang politik, dalam masyarakat pretorian tercipta kelompok menengah yang berani melawan dan berhadap-hadapan, kelompok yang khas dalam masyarakat pretorian ialah golongan terpelajar terutama mahasiswa di satu pihak dan kalangan militer dilain pihak dan kedua kelompok ini merupakan ciri khas masyarakat Pretorian.

Suku-suku kecil seperti “Karen” suku lainya tidak dilibatkan dalam proses bernegara, hanyalah suku Burma yang mayoritas mendapatkan peluang untuk terlibat dalam politik bahkan suku-suku lain bergerilya untuk memperjuangkan keberadaan komunitasnya dengan mengangkat senjata.

Di Myanmar kelompok menengah yang melakukan perlawanan terhadap militer tidak saja di lakukan oleh mahasiswa tetapi di lakukan oleh para ‘bhiksu’, akhirnya junta militer melakukan pengawasan terhadap gerak-gerik para bhiksu, dan demonstrasi mahasiswa besar-besar pada bulan maret-juni 1988 yang berujung mahasiswa ditembaki dan markas mereka di tutup oleh militer dan Universitas pun di tutup sementara untuk mematahkan kekuatan mahasiswa. Menurut M. Alfan Alfian bahwa dalam peristiwa itu Korban bergelimpangan. Itulah potret pendekatan militer dalam memberangus tuntutan demokrasi dan kebebasan publik. Penembakan oleh tentara yang antara lain menewaskan wartawan Jepang Kenji Nagai itu mengingatkan peristiwa-peristiwa sebelumnya, dimana demonstrasi damai dihadapi dengan kekerasan militer (alfanalfian.multiply.com)

Karena kesenjangan sosial antara masyarakat pedesaan dan kota dimana masyarakat kotayang hanya ingin mendapatkan suasana yang aman maka warga kota akan memilih untuk mengikuti saja apa yang diinginkan oleh junta militer dan memberlakukan keadaan darurat sebagaimana bagian dari SLORC dan kemudian dipoles lagi dengan sebutan SPDC.

Kondisi inilah yang memicu hadirnya gerakan demokrasi yang di perjuangkan oleh NLD, organisasi ini didirikan pada 27 September 1988 dan Aung San Suu Kyi yang saat itu baru tiba dari Oxford, bergabung dengan NLD hingga menjadi ketuanya.

NLD adalah partai prodemokrasi yang mendukung gerakan non-kekerasan terhadap demokrasi multi-partai di Burma. Partai ini juga mendukung hak asasi manusia (termasuk kebebasan berpidato dimuka umum), aturan hukum, dan rekonsiliasi nasional. Sejak pemerintah junta militer mencengkeram Burma, banyak sekali terjadi pelanggaran hak asasi manusia oleh junta militer. Tidak ada pengadilan yang independen dan junta militer menekan aktivitas politik oposisi. Diberitakan, pemerintah juga membatasi akses internet, termasuk memblokir dari Google, Gmail, Yahoo, dan Hotmail (www.tribunnews.com)

Kondisi masyarakat Myanmar yang mengharapkan demokrasi tidak dapat terwujud padahal awalnya keberadaan SLORC menekankan bahwa pemerintahannya merupakan transisi dari militer ke sipil; bahwa ada kebutuhan pemerintahan sipil yang demokratis hasil pemilu.

Alasan inilah yang mendorong Aung San Suu Kyi tetap bertekad untuk memperjuangkan demokrasi di Burma dan menegaskan akan melakukan revolusi yang ia sebut sebagai revolusi damai. Dengan kendaraan politik NLD, yang ibarat pepatah ‘ada tapi seperti tidak ada’, yakni ada tapi tak diakui pemerintah, mampukah Aung San Suu Kyi mewujudkan revolusi damainya dan membuat perubahan fundamental di Burma menjadi demokratis?

Perjuangannya sangat gigih sehingga NLD dapat hadir sebagai salah satu partai peserta pemilu Perkembangan politik terjadi pada bulan Mei 1990, tatkala pemerintah menggelar pemilu pertama kali sejak yang sejak 30 tahun sebelumnya.

Partai National League for Democracy (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, berhasil memenangkan 392 dari total 489 kursi yang diperebutkan. Namun SLORC membatalkan hasil pemilu tesebut. Ketua NLD Aung San Suu Kyi harus menerima hukuman sebagai tahanan rumah. Pemberangusan sipil untuk hadir dalam ruang publik dalam mewujudkan demokrasi menjadi tekad junta hanyalah bualan belaka. demokrasi substansial sepertinya hanyalah menghalau angin tanpa menuai hasil karena kekuatan junta yang cukup kuat.

Pemilu Burma 2010 ini sesungguhnya hanya pertarungan antara sesama partai yang didukung oleh junta militer, yakni USDP dan NUP. Karena pemilu kali ini tidak diikuti oleh partai oposisi prodemokrasi, NLD (National League for Democracy), yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, anak salah satu founding fathers Burma, Aung San. KPU Burma pada September lalu secara resmi menghapus NLD dari daftar partai peserta pemilu.

Memecah Frozen Demokrasi

Partai Politik sebagai salah satu pilar demokrasi ada sebagai salah syarat demokrasi untuk membuktikan matangnya demokrasi disebuah negara, hal inilah yang mendorong Aung San Suu Kyi berjuang untuk mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya. Menurut Reni Panuju bahwa; partai politik konon pertama kali lahir di Eropa Barat dengan latar belakang pemikiran bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, selanjutnya apapun latar belakangnya partai politik merupakan saluran rasional untuk menampung dan memproses partisipasi politik masyarakat (Redi Panuju - Bhuana Ilmu Populer – 2011).

Namun semangat demokrasi yang dibangun oleh junta militer hanyalah untuk memenuhi standar demokrasi yakni adanya pemilu yang dilakukan secara bertahap, kemudian ada peserta partai politik yang walaupun partai peserta pemilu adalah partai bentukan junta militer yang di dalamnya peran SLORC, partai tersebut ada pada 2006, banyak anggota mengundurkan diri dari NLD, akibat tekanan dari Tatmadaw (Angkatan Bersenjata), dan Union Solidarity and Development Association (ASDA) yang dibentuk oleh junta militer pada 15 September 1993 sebelum kemudian pada 29 Maret 2009 dibentuk USDP sebagai wadah baru untuk ikut pemilu 2010. Semua anggota ASDA masuk USDP (www.tribunnews.com › Tribunners › Kolom Jurnalis).

Demokrasi yang telah di abaikan menyebabkan pelanggran HAM menjadi hal biasa dan lumrah di Myanmar, akhirnya peran sipil hanyalah sebagai penonton dan tidak terlibat untuk menciptakan demokrasi partisipatoris ataupun dan demokrasi deliberative, karena demokrasi dapat terwujud dengan baik jika kedaulatan di tangan rakyat dan bukan di tangan junta militer.

Larry Diamond dan Marc F. Plattner dalam buku yang mereka tulis bahwa; Peran rakyat dalam hal ini sipil merupakan tuntutan global kata sipil disini yakni bebasnya intervensi militer dalam politik, demokrasi harus menempatkan militer di bawah orotitas sipil sekaligus memberikan ruang yang cukup bagi militer untuk menjalankan pertimbangan professional dan kegiatan yang menjadi bidang mereka dalam batas-batas parameter kebijakan yang ditetapkan oleh sipil.

Mereka (militer) melakukan intervensi ke dalam politik (apakah itu dengan kudeta atau dengan ekspansi kekuasaan dan hak prerogative secara gradual) ketika Politisi sipil dan partai politik lemah dan terpecah, dan ketika pemerintahan yang tidak utuh dan memanifestasikan kegagalan telah melahirkan kevakuman kekuasaan (Larry Diamond & Marc F. Plattner - Rajawali Pers – 2000).

Kwalitas demokrasi sebuah negara dapat diukur apabila memiliki nilai yang berarti melalui keberadaan sipil dalam suatu negara dapat berpartisipasi dengan baik, politisi sipil tidak lemah dan kuat, serta memiliki tujuan yakni mampu mensejahterakan rakyat. Cita-cita ini akan terwujud dengan adanya keberadaan partai politik sebagai variabel yang memfasilitasi sipil untuk berperan aktif dalam pembangunan nasional dan perekonomian bangsa.

Peran sipil yang ideal harus mampu meramu kebijakan bagi militer agar keberadaan militer dapat berperan secara professional, dan tidak terjadi reorientasi misi militer, Supremasi sipil akan terwujud sebagai penentu terhadap keberadaan militer jika sipil mampu meramunya dalam konstitusi yang mengikat.

Demokrasi di Myanmar merumakan demokrasi yang mengalami kebekuan dimana ada penerapan demokrasi tetapi demokrasinya di kekang atau di bonsai semangat demokrasi yang seharusnya memberikan kebebasan serta peran utama kepada sipil tidak ada ruang yang tersedia.

Junta militer yag mengambil alih kekuasaan mendominasi bahkan menendalikan semua system pemerintahan dengan membentuk Dewan Peneguhan Hukum dan Peraturan (SLORC) dan kemudian berubah menjadi Dewan Ketentramann dan Pembangunan Negara hadir dengan nama yang soft namun dalam pelaksanaannya jauh dari harapan perilaku yang otoritarian serta melanggar Hak Azasi Manusia.

Sipil yang berupaya untuk mewujudkan supremasi sipil mengalami penekanan yang sangat luar biasa, pemilu di lakukan tetapi partai politik peserta pemilu adalah Partai Politik bentukan junta militer untuk mempertahankan kekuasaan. Sehingga model demokrasi nya dilakukan hanyalah memnuhi syarat bahwa ada proses demokratisasi namun nilai-nilai demokrasi tidaklah tampak atau terlihat di sana.

Peran Negara luar dalam hal in ASEAN, PBB sangat lemah guna membantu perwujudan demokrasi di Myanmar, karena ruang untuk melakukan intervensi diatur dalam kerjasama Negara-negara ASEAN, jalan satu-satunya untuk mencairkan demokrasi yang beku di Myanmar adalah peran sipil sendiri dimana perlunya peningkatan kapasitas sipil (civil society) untuk mewujudkan supremasi sipil melalui konsolidasi yang kuat dan menyiapkan pemimpin untuk menjalankan roda pemerintahan. Karena pemimpin yang kuat dan kharismatislah mampu mengembalikan junta militer sebagai militer yang profesional, dan militer yang di kendalikan oleh sipil melalui kebijakan-kebijakan.

*Penulis Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP - UI