Minggu, 30 Desember 2012

"DILEMA POLITIK DAN HUKUM DI TAHUN 2003


“DILEMA POLITIK DAN HUKUM DI TAHUN 2013”
*Yoyarib Mau

            Wajah politik dan hukum dalam perjalanan bangsa Indonesia selalu dijalankan dengan spirit demokrasi, Soekarno dengan demokrasi terpimpin yang lebih menekankan kepemimpinan yang kuat tetapi mengabaikan pembangunan ekonomi. Soeharto menjalankan Demokrasi Pancasila dengan dalih meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945 yang dilakukan oleh Orde Lama, namun dalam perjalanan kepemimpinan Soeharto, demokrasi Pancasila mengalami distorsi dimana peranan presiden yang semakin  besar akibat dan lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan yang berlebihan ditangan presiden yang pada dasarnya mampu menciptakan pembangunan ekonomi yang baik hingga Indonesia mampu mencapai swasembada beras, akan tetapi di bidang politik Soeharto membentuk diri menjadi penguasa mutlak dan tidak ada kekuatan lembaga atau institusi apapun yang mampu mencegahnya sehingga melakukan penyelewengan kekuasaan (abuse of power).

            Akibat penyelewengan kekuasaan maka kekuatan rakyat menyatu dan menggulingkan rezim Soeharto untuk sebuah tujuan yakni reformasi sistem pemerintahan, yang dijalankan dengan demokrasi. Akan tetapi tidak mampu memberikan proses demokratisasi yang ideal. Demokratisasi yang diharapkan memberikan kebebasan politik bagi rakyat untuk berperan aktif dengan tujuan menghadirkan sistem pemerintahan yang mensejahterakan rakyat. Kondisi reformasi hari ini memberikan signal bahwa kinerja demokrasi dalam peranannya menegakan hukum dan politik  belum mencapai yang diharapkan.

            Atas nama demokrasi maka hadirlah partai politik dan memainkan perannya dalam setiap proses demokratisasi yakni pemilu presiden, pemilu legislatif, akan tetapi ketika terselamatkan menjadi wakil rakyat yang terhormat mengkhianati rakyat, partai politik melakukan koalisi kepartaian dengan partai politik yang tidak sejalan dengan ideologi atau platform partai di saat melakukan kampanye kepada rakyat. Wakil Rakyat ketika sudah terpilih merasa memiliki kekuasaan yang kuat sehingga membangun dinasti politik keluarga (trah politik). Pemerintahan yang kong-kalikong antara legislatif dan eksekutif serta melibatkan swasta dalam menggerogoti APBN dan APBD dengan motif bahwa demi membiayai partai politik dalam demokrasi yang didalamnya pemilihan langsung berbiaya tinggi.    

            Kondisi ini menghadirkan pertanyaan bagaimana demorkasi dipraktikan dan bagaimana rakyat memberikan penilaian ? Kinerja Demokrasi yang dijalankan pasca reformasi mengalami sebuah proses yang belum menjawab kebutuhan demokrasi. kondisi demokrasi yang dijalankan saat ini pada tataran menjalankan kedaulatan rakyat yang di terjemahkan dengan perolehan suara terbanyak atau suara mayoritas. 

            Hendra Nurtjahjo memberikan sebuah kesimpulan atas berbagai teori demokrasi mengandung tiga fenomena yakni fenomena politik (kekuasaan), fenomena etika (ajaran moral) dan fenomena hukum (Hendra Nurtjahjo – 2006). Ketiga hal ini seharusnya menjadi tiga alat ukur dalam mengevaluasi bahkan kontrol dalam menjalankan demokrasi. Proses politik berjalan tidak harus mengabaikan etika, dan ketika etika memberikan penilaian terhadap proses politik yang salah maka hukum harus tegas dijalankan.

Dilema Politik

            Kondisi Politik Indonesia saat ini dapat dikatakan bahwa semua dapat diselesaikan dengan upaya transaksional, sejujurnya semua proses aktifitas atau proses politik semua mengandung unsur transaksional, saya beri contohnya : diplomasi juga adalah transaksi anda ngasih apa saya kasih apa, termasuk juga di dalam DPR kita terjadi juga transaksi-transaksi politik. Salah satu keberhasilan transaksional Politik dalam perpolitikan di Indonesia adalah kasus Bank Century. 

            Pada prinsipnya tidak ada yang salah pada proses transaksional yang dilakukan akan tetapi aksi transasksional itu harus memenuhi asas-asas etika yakni apa yang baik dan buruk melalui nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku umum. transaksi  akan menjadi benar jika azas kebaikan dijunjung tinggi. Dalam proses politik yang dijalankan melalui kinerja demokrasi maka kebaikan yang diharapkan adalah keberpihakan pada rakyat, akan menjawab kebutuhan dan mengakomodir aspirasi yang berkembang di tengah-tengah rakyat.

            Proses politik harus dilakukan secara terbuka dan diamati secara langsung oleh masyarakat, akan tetapi dalam perjalanan politik Indonesia hingga akhir tahun semua kebijakan politik banyak dilakukan di “bawah tangan” dan mengabaikan nilai dan norma yang diharapkan sebagai alat kontrol. Politik Indonesai mengarah pada nilai angka yang disepakati untuk semua proses kesepakatan.  
       
            Proses transaksional yang diharapkan mendatangkan kebaikan bagi keseluruhan rakyat dibajak oleh partai politik, kedaulatan rakyat yang ada dalam prinsip demokrasi diterjemahkan bahwa telah diserahkan kepada partai politik melalui wakil rakyat yang diusung, sehingga rakyat telah kehilangan kedaulatan, kesejahteraan yang dimaksudkan bagi rakyatpun, diterjemahkan menjadi kesejahteraan partai politik dimana uang rakyat digerogoti dari APBN/APBD, melalui proses tender proyek yang di mark up sebelumnya. Pundi-pundi partai politik ini dianggap sebagai titipan bagi rakyat yang akan di cairkan pada musim pemilu nanti.

Dilema Hukum

            Etika sudah dilanggar dalam proses politik, namun salah satu pintu terakhir agar demokrasi menjadi awet dan dapat dinikmati oleh rakyat, seandainya hukum menjadi pintu terakhir bagi penegakan politik, yang dijalankan dengan sistem demokrasi. Etika sudah memberikan signal bahwa pelanggaran nilai dan norma dalam menjalankan demokrasi. Sehingga hukum harus tegas dalam menegakan keputusan  demi menjamin kualitas bagi demokrasi.

            Pesimistis akan menjadi watak khas rakyat Indonesia seperti ketidakpercayaan, skeptis dan sangsi akan keberadaan demokrasi, apabila hukum tidak ditegakan. Hukum pada dirinya hadir untuk mengawal proses politik yang menjalankannya dengan alat yang namanya demokrasi. tetapi proses pengawalanpun memihak dan berat sebelah. Hukum memihak kepada kekuatan politik atau penguasa yang menginginkan hukum itu berpihak kepada mereka.    

            Tak asing bagi kita ketika vonis hukum bagi para koruptor lebih ringan dibandingkan dengan seorang maling, para koruptor mendapatkan fasilitas mewah di penjara. Proses hukum mengabaikan etika dan memihak kepada politik kotor yang di mainkan oleh wakil rakyat. Dominasi Hukum seharusnya kuat untuk membelah dan menentukan sikap yang tegas, tetapi kenyataannya hukum ditunggangi oleh kepentingan politik untuk mengamankan kepentingan kekuasaan menjadi alat pembenaran bagi korupsi dan kekerasan (memakai terorisme dan penutupan gereja sebagai alat pengalihan isu korupsi).

            Harapan politik masa depan kedepan terletak pada bagaimana etika dijadikan alat kontrol bagi politik, politik masih bermartabat apabila etika harus dijadikan alat kontrol utama. Keberadaan etika membuat politik itu otonom dengan kekuatan kekuasaan yang beraliran ekonomi materialis (dimana kekuasaan hanya berorientasi pada pengumpulan keuntungan), akan tetapi ketika etika tidak lagi dijadikan sebagai alat kontrol maka kecenderungan politik untuk berkompromi dengan hukum sangat terbuka lebar.

            Tahun 2013 adalah tolak ukur bagi arah politik Indonesia dalam pemilu 2014 nanti. Politik Indonesia dengan memilih alatnya demokrasi bertujuan mensejahterakan rakyat. Wajah demokrasi yang bertujuan serbagai alat untuk mensejahterakan rakyat, akan tercermin dari keberadaan partai politik yang memiliki wakilnya ada di parlemen. Perilaku mereka harus mampu menjamin etika dan tidak memanfaatkan keberadaannya sebagai wakil rakyat bukti representatif kedaulatan rakyat dalam mengendalikan kedaulatan hukum.

            Suram dan cerahnya politik Indonesia terletak pada patuh perilaku politik pada etika dan hukum. Etika dan hukum menjadi alat penjamin bagi arah politik yang cerah. Rakyat menjadikan etika dalam menilai politik, sehingga rekomendasi rakyat harus ditanggapi ketika aktifitas politik melanggar etika maka proses hukum harus segera dilakukan. Suramnya Politik Indonesia apabila rakyat dan politisi, sama-sama mengabaikan etika, dengan lebih memilih berapa jumlah angka yang disepakati dalam setiap proses politik. Maka mimpi bangsa Indonesia akan kehadiran demokrasi yang mensejahterakan hanyalah pepesan kosong, sehingga tidak dapat disalahkan ketika sekelompok kekuatan bangkit dan mendorong adanya revolusi yang radikal melampaui reformasi yang belum tuntas.

*Pengamat Politik Muda  NTT