Minggu, 28 April 2013

“DCS 2013 HASIL REKAYASA SISTEM PERWAKILAN POLITIK”


DCS 2013 HASIL REKAYASA SISTEM PERWAKILAN POLITIK
*Yoyarib Mau

            Jelang pemilu legislatif 2014, partai politik yang diloloskan KPU sebagai peserta pemilu 2014 sebanyak 15 partai politik tiga antaranya adalah partai lokal di Provinsi Aceh sedangkan 12 partai lainnya adalah partai yang berkedudukan di Ibu Kota negara dan memiliki kepengurusan disetiap provinsi dan kabupaten diseluruh tanah air. Sebelum masuk pada hajatan pemilu legislatif tersebut ada sebuah tahapan awal yakni pengajuan Daftar Calon Sementara (DCS), dimana setiap partai politik mengajukan nama calon legislatif yang akan dijagokan untuk bertarung sebagai kontestan pada pemilu legislatif.

            Dalam proses rekruitman yang dilakukan oleh berbagai partai politik, banyak   pola yang dipakai untuk merekrut calon anggota legislatif, ada yang melakukan rekruitman dari internal kader, ada yang merekrut calon dengan memberikan kesempatan bagi masyarakat luas untuk mendaftar sebagai caleg melalui iklan di media massa, ada partai politik sebagai penampung anggota legislatif dari partai kecil yang tidak lolos seleksi sebagai peserta pemilu, ada partai politik yang melakukan pengusungan calon legislatif dari lingkaran oligarki (sekelompok orang yang membangun ikatan emosional yang saling menguntungkan), adanya partai politik yang mengusung caleg bermodal dompet tebal, atau mencalonkan caleg yang berdasarkan pertimbangan gender dan pertimbangkan lainnnya.

            Realitas rekruitmen caleg  yang terlihat dalam pengacuan DCS yang baru saja dilakukan terlihat pola perekrutan hampir pada semua tingkatan perekrutan untuk DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota mampir menjalankan pola yang sama. Kita menengok bersama dengan pola perekrutan yang dilakukan beberapa partai politik di level nasional yang merekrut caleg DPR RI yang terkesan ada pola perekrutan berdasarkan pertimbangan tertentu, pola ini kemudian berlaku ke level Provinsi dan Kabupaten/Kota.

            Rekrutmen caleg yang menjalankan pendekatan kekeluargaan sebagaimana yang dilakukan oleh Partai Demokrat dalam menetapkan DCS di Dapil NTT 2 menempatkan dua keluarga bermarga Gah dalam satu partai yakni Anitha Jacoba Gah dan Maria Susana Mesang Gah, persoalan lain di Partai Demokrat yakni mengalokasikan kursi Caleg bagi pengurus partai tanpa mempertimbangkan latar belakang sosio-cultur  yakni mengusung caleg yang tidak merepresentasikan keterwakilan gender tapi mengabaikan sosio-cultur seperti mengusung  Nurita Sinaga di Dapil NTT 1 dan Sri Damayanti Manulang di Dapil NTT 2, yang dari nama saja tidak merepresentasikan NTT. Ada juga nama  Nelson Daniel Boling dari Partai Demokrat di Dapil NTT 1 yang adalah orang dekat Syariefudin Hasan Menteri Koperasi, kedekatan ini karena selalu memberikan jasa pengamanan. Juga pola perekrutan standar ganda  yakni kembali mengusung Benny K Harman di dapil NTT 1 akibatnya salah satu kader partai ini Agustinus Tamo Mbapa harus terlempar ke Dapil NTT 2, pola ini secara langsung mematikan kader lain karena tidak terakomodir dalam DCS. Karena keterbatasan penerapan quota DCS 100%  tidak seperti pemilu 2004 yang memberikan quota DCS 120%.  

            Di Partai Golkar para caleg adalah pemain lama yang terus bercokol semisal di Dapil NTT 2 ada Setya Novanto dan Charles Mesang yang sudah hampir 4 (empat) periode berturut-turut menjadi anggota DPR RI, ada juga pola rekruitmen dengan pola standar ganda seperti; Emanuel Melkiades Lakalena di Dapil NTT 1, yang juga adalah calon wakil gubernur yang diusung Partai Golkar dalam Pilkada Gubernur NTT yang lalu. sedangkan di Dapil NTT 2 ada nama Imanuel E. Blegur yang juga Bakal Calon Bupati Alor. Sedangkan rekruitmen caleg gender ada Sylvia Asih Angraeni di Dapil NTT 2 juga sepertinya alokasi titipan pusat untuk memenuhi quota semata.

            Pola rekruitmen yang menarik dan menjadi perhatian publik di tubuh PDIP terutama di Dapil NTT 2 yakni alokasi DCS 7 orang dengan pertimbangan quota perempuan 30% maka seharusnya  di Dapil NTT 2 PDIP cukup mengusung 2 orang perempuan tetapi kenyataannya 4 orang perempuan diusung oleh PDIP yakni; Jeane Cythia Lay (istri dari Cornelis Lay mantan pakar ahli Megawati), Ruth Nina Kedang (mantan anggota DPR RI 2004-2009 Fraksi PDS Dapil NTT), Vianey Feoh dan Martha Unu. Strategi mengusung perempuan lebih dari quota sepertinya dilakukan untuk menggugurkan caleg laki-laki lain yang bisa menjadi ancaman bagi caleg yang bermodalkan dompet tebal dan juga caleg incumbent.

            Sekelumit persoalan rekrutmen caleg yang dilakukan oleh 3 partai besar diatas hampir sama juga terjadi di beberapa partai nasional lainnnya, dari persoalan DCS diatas menghadirkan pertanyaan, Apakah Daftar Caleg Sementara yang diusung partai politik sudah mencerminkan sistem perwakilan politik yang sesungguhnya atau hanya memanfaatkan suara rakyat untuk kepentingan segelintir orang atau partai semata ?   

            Ini persoalan politik yang perlu dicermati dalam khasanah keilmuan politik, sehingga tulisan ini hendak disampaikan tidak untuk mendeskreditkan orang, pribadi atau partai tertentu tetapi hendak menjelaskan persoalan dan permasalahan politik Indonesia. Sebagaimana Herbert Feith melihat “permasalahan perwakilan Politik di Indonesia dari dua fihak: Pertama, pemikiran atau ide tentang perwakilan politik yang disinyalir tidak dikembangkan dalam pemikiran politik Indonesia. Kedua, mekanisme perwakilan politik yang tidak dapat ditumbuhkan karena konsepsi kepentingan dan pertentangan (konflik) tidak diterima sebagai mekanisme hubungan sosial-politik” (Arbi Sanit – Perwakilan Politik Di Indonesia).

            Persoalan Perwakilan Politik hari ini tidak mencerminkan akan keterwakilan karena keberadaan partai politik yang diharapkan menjadi sarana perjuangan ideologi  tidak lagi menjadi ukuran, Partai Islam yang jelas memiliki ideologi perjuangan syariah keagamaan tetapi karena penerapan ideologi dalam partai politik sangat cair sifatnya, akibat pertimbangan keselamatan menembus aturan “parliament treshold maka ideologi tidak lagi menjadi pertimbangan atau ukuran, maka dalam DCS 2013 partai politik dengan ideology tertentu membuka diri secara luas kepada para bakal caleg yang di coret di partai tertentu terakomodir.

            Melihat fenomena akut penentuan DCS maka apa yang diungkapkan oleh Herbert Feith bahwa mekanisme perwakilan politik tidak berjalan karena kepentingan dan pertentangan (konflik) sangat dominan dalam penetapan DCS ini. Untuk menyelamatkan diri dan kepentingannya maka yang diakomodir dalam caleg adalah orang yang tidak berpotensi melebihi keberadaan anggota legislatif incumbent atau caleg yang diakomodir terutama untuk memenuhi quota perempuan, berasal dari daerah lain atau kerabat sendiri agar tidak mengganggu, dan juga hanya sebagai pengumpul suara bagi caleg dompet tebal karena caleg ini dapat bermanufer dengan rakyat jelang pemilu serta KPU/KPUD.

            Kepentingan untuk terus berkuasa membuat regenerasi serta representasi mengalami kebuntuan, pengabaian terhadap sistem perwakilan antara wakil dan terwakil. Perwakilan Politik hendaknya perlu ada pertalian sosio-cultural atau yang di sebut dengan sebutan “linkage” (sarana pertalian) hal ini sangat penting karena wakil harus memahami dan mengerti corak pertalian wakil dengan terwakil. Tidak mungkin seorang dari Pulau Jawa atau Sumatera datang dan menjadi wakil bagi orang NTT, corak pertalian tidak hanya hadir memakai pakian adat/suku NTT kemudian merasa sudah menjadi bagian dari NTT atau dengan membawa sejumlah uang dan memberikan bantuan kemudian merasa sudah menjadi NTT.

            Corak pertalian wakil dan terwakili harus mendalam dimana ada ikatan bathin-emosional yang kuat untuk menjadi wakil dari yang terwakili, dalam ikatan bathin yang kuat itulah letak seorang wakil mengerti persoalan. Jika pengabaian ini dilakukan maka mandat rakyat NTT yang mengharapkan perubahan yang diberikan kepada wakil rakyat hanyalah pepesan kosong, dan keberadaan wakil rakyat hanyalah hasil pembelian dibawah tangan (black market).

*Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP -UI