Rabu, 31 Juli 2013

"KOLHUA DIBAWAH BAYANG-BAYANG PENJAJAHAN MODERN"

“Kolhua Dibawah Bayang-Bayang Penjajahan Modern”
*Yoyarib Mau

Bulan Agustus pada tahun 2013 ini bertepatan ada dua perayaan kemenangan, pertama pada tanggal 8 Agustus 2013 Hari Idulfitri bagi pemeluk agama Islam yang merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Seminggu kemudian 17 Agustus 2013 segenap rakyat Indonesia merayakan hari kemerdekaan yang  ke 68. Berbeda di Kota Kupang semua warga bersiap menyongsong perayaan tujuh belasan, tetapi bagi warga Kolhua yang berada dalam ketidakpastian akibat rencana pembangunan bendungan Kolhua dengan APBN senilai 485 miliar, dengan membutuhkan lahan seluas ±100 ha membuat warga Kolhua harus dipindahkan dari lokasi ini, rencana ini membuat warga Kolhua harus hidup dalam keseharian mereka dengan penuh waspada karena sewaktu-waktu akan hadir Pemkot dengan kekuatan fisik untuk melakukan pembebasan area. 

Walikota Kupang yang adalah penguasa lokal yang berkepentingan untuk mengamankan dana  APBN sebesar Rp. 485 miliar agar bisa diperuntukan bagi Kota Kupang. Kepentingan lain yang tidak kalah penting yakni harapan ekonomis, dimana Jonas Salean sebagai Walikota Kupang bermimpi setelah pembangunan bendungan Kolhua maka akan disertai dengan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), pusat perikanan dan daerah pengembangan wisata. 

Rasionalisasi ekonomis atas nama kebutuhan warga kota, maka Pemkot berkeras untuk tetap melakukan pembebasan lahan guna pembangunan bendungan ini dilakukan. Walaupun ketidaksepakatan warga Kolhua dengan melakukan penolakan tetap saja diabaikan. Keadaan ini menghadirkan pertanyaan, Apakah warga Kolhua tidak memiliki kemerdekaan untuk mempertahankan modal dan hak pribadi mereka ?

Senjata ampuh yang digunakan oleh Pemkot dalam hal ini Walikota Jonas Salean yakni PP 38 Tahun 2011 tentang Sungai, dimana melarang ada aktivitas di bantaran sungai.  Keberadaan warga Kolhua diwilayah ini jauh melampaui sebelum adanya PP 38 Tahun 2011, warga Kolhua hampir keseluruhan warganya adalah etnies Helong yang merupakan sisa dari legenda kota Kupang, selalu hidup dan bermukim berkelompok serta memilih untuk tinggal dekat mata air atau sumber mata air sehingga ada sejumlah tempat dimana disebut dengan sebutan dalam bahasa Helong “Ui” berarti “air” yang kemudian bermetamorfosis dengan bahasa dawan menjadi “Oe” sehingga di Kupang dapat kita ketahui bersama ada sejumlah tempat dengan sebutan yang didahului dengan kata “Oe” semisal Oepura, Oetona, Oesapa dan lainnya di kota Kupang, sedangkan tempat lainnya tersebar di Kab. Kupang seperti Oekabiti, Oesain, Oehani, Oeletsala, Oesao dan tempat lainnya. Jangan karena masyarakat helong di Kolhua yang tinggal di dekat bantaran sungai kemudian nama tempatnya tidak memakai sebutan Oe atau Ui sehingga dianggab  tidak memiliki legenda bagi kota Kupang. 

Marthin Bulmer mengemukakan, etnik atau yang selalu disebut kelompok etnik adalah satu kelompok kolektif manusia dalam penduduk yang luas, memiliki kenyataan atau cerita asal-usul yang sama, mempunyai kenangan terhadap masa lalu, yang terfokus pada satu unsur simbolik atau lebih yang mendefenisikan indentitas kelompok (Alo Liliweri – Prasangka dan Konflik)

            Warga Kolhua memenuhi syarat sebagai kelompok etnik karena memiliki identitas kelompok, ada cerita asal-usul yang sama, memiliki kekerabatan yang kolektif. Sejatinya tersisanya suku helong yang masih hidup berkelompok yang ada di kota Kupang adalah masyarakat Kolhua. Sehingga kebijakan pembangunan Bendungaan Kolhua tidak hanya memperhatikan aspek ekonomis bagi kebutuhan air warga kota tetapi harus menghargai etnik asli (indigenous ethnic) dimana pemkot harus mengakui hak-hak khusus kepada “first peoples” sebagai penduduk pertama penghuni kota. 

            Kesadaran warga Kolhua akan nilai budaya dan norma sangat tinggi hal ini ditandai dengan penamaan tempat-tempat kehidupan mereka dengan sebutan yang ada kaitannya dengan alam, bahkan di wilayah tersebut ada tempat pemakaman para leluhur dari warga Kolhua. Tanah bagi masyarakat etnik merupakan ikatan mereka dengan segala hal. 

Tanah atau bumi dimana kaki berpijak adalah “mama atau Ibu” yang melahirkan sehingga ada sebutan Ibu Pertiwi, karena dianggap tanah tersebut yang melahirkan, memberi makan, memelihara, mendidik bahkan bagaimana beradaptasi untuk tetap survive, pemahaman ini tidak juga dengan mudah, dengan atas nama kebutuhan orang lain di luar kelompok etnik ini, kemudian mengharuskan mereka harus mengkhianati norma dan budaya mereka, naifnya kelompok etnik di Kolhua hendak diputus mata rantai kehidupan nilai dan moral mereka dengan dipaksa pindah dari hak ulayat mereka. Kompensasi Jonas Salean Walikota Kupang bertolak belakang dengan keseharian mereka dengan ditawarkan menata kios-kios di sekitar bendungan.  

Pembangunan tidak harus melihat nilai modal yang ditawarkan oleh APBN yang bernilai miliaran kemudian menusuk peradaban manusia dengan mengkhianati sejarah, nilai, bahkan budaya masyarakat. sepertinya kekuatan kekuasaan mencoba menjajah ikon kota, simbol kota yakni etnik helong yang masih tersisa di Kolhua ini. Pemerintah dalam hal ini pemkot sepertinya terjebak pada soal angka yang besar, dimana perhitungan nilai besaran proyek dan banyaknya orang yang dihitung membutuhkan air, pertimbangan tersebut tidak kemudian mengharuskan pemkot menyandara warga Kolhua untuk mengabaikan sejarah, nilai dan budayannya.

Pembangunan dengan meninggalkan sejumlah proyek bangunan dan gedung  seperti rencana pembanugnan bendungan Kolhua tidak semata-mata menjadi tolak ukur keberhasilan seorang pemimpin. Pembangunan tidak hanya mempertimbangkan tujuan ekonomis akan tetapi harus menjungjung tinggi masalah demokrasi dengan hak-hak azasi manusia. Jonas Salean Walikota Kupang perlu mengingat kembali apa yang dikatakan oleh Goulet (1977) mengungkapkan bahwa falsafah dan etika pembangunan menjadi acuan dimana proses pembangunan harus menghasilkan “solidaritas baru” yang mendorong pembangunan yang berakar dari bawah (grassroots oreinted), memelihara keberagamaan budaya dan lingkungan, dan menjunjung tinggi martabat serta kebebasan bagi manusia dan masyarakat (Dampak Otonomi Daerah di Indonesia – Obor – 2013)

Dengan demikian maka rencana pembangunan bendungan Kolhua tidak berakar dari bawah yakni usulan rakyat dan kesepakatan warga, ini lebih pada kepentingan para wakil rakyat yang bersekongkol untuk mendapatkan keuntungan (fee project) serta tidak menghargai martabat masyarakat Kolhua. Ada kecenderungan pemkot melakukan hegemoni dengan menggunakan kepemimpinan politik dan pengarahan kekuatan aparat, dan masyarakat yang mendukung, guna kepentingan mereka semata. Dengan jalan mencoba menekan kelompok etnik yang jumlahnya kecil, yang juga adalah warisan sejarah, atau bagian dari peradaban yang perlu mendapatkan apresiasi bukan penggusuran karena sama-sama di jamin di mata hukum termasuk hukum adat, walau kelompok etnik ini memiliki hak adat tetapi dengan senjata APBN dan sejumlah peraturan maka penguasa melakukan penetrasi agar nafsu penjajahannya tersalurkan. 

*Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP - UI