Jumat, 20 September 2013

"REKRUTMENT CPNS TANPA MENGABAIKAN PROTAGORAS”



                           “REKRUTMENT CPNS TANPA MENGABAIKAN PROTAGORAS”
                                                                         *Yoyarib Mau

            Setelah dicabutnya moratorium penerimaan CPNS, yang diberlakukan pada beberapa tahun yang lalu, tahun ini pemerintah membuka hampir serentak di 30 instansi kementerian serta lembaga-lembaga Negara yang diberi kesempatan yang sama unuk melakukan perekrutan. 

            Azwar Abubakar, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengemukakan bahwa untuk total jumlah kursi yang diperuntukan bagi CPNS yang telah disediakan oleh pemerintah pusat telah mencapai angka 60 ribu kursi. Dari sekian banyak jumlah tersebut diantaranya terdiri dari 20 ribu kursi yang diperuntukan bagi instansi pusat serta sisanya 40 ribu kursi diperuntukan bagi instansi daerah.

            Proses penerimaan CPNS dari golongan tenaga honorer hanya dapat diikuti oleh tenaga honorer K2 yang memang mereka telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Jumlah tenaga honorer K2 yang telah siap untuk mengikuti seleksi tes ujian CPNS berjumlah 611 ribu orang. Padahal untuk jatah alokasi CPNS baru yang diperuntukan bagi tenaga honorer K2 jumlahnya hanya sepertiga dari jumlah tenaga honorer yang saat ini ada.

            Sekretaris Daerah (Sekda) NTT, Frans Salem, pada 29 Juli 2013 mengatakan bahwa  pemerintah provinsi NTT mengusulkan formasi CPNS ke pemerintah pusat sebanyak 300 formasi, namun yang diesetujui pemerintah pusat hanya 192 formasi. Dari 192 formasi ini yang sangat dibutuhkan adalah tenaga kesehatan sebanyak 60% dan sisanya akuntansi dan tenaga teknis lainnya.

            Quota yang dialokasikan ini sangatlah sedikit dibandingkan dengan tenaga honorer yang telah mengikuti ujian dan tercatat sebagai honorer dengan tingkatan K2, yang menanti untuk diangkat sebagai PNS, untuk NTT dari 192 formasi tersebut harus dialkoasikan lagi bagi Prov. NTT, Kab. Manggarai Barat, Manggarai Timur, Sabu Raijua, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, Ende, Flores Timur, Manggarai, Nagakeo, Rote Ndao, Sikka dan Timor Tengah Utara.

            Quota sedikit, peminat banyak. Dalam hukum ekonomi, permintaan (demand) banyak (banyak tenaga honorer dan juga pelamar), persediaan (suplly)  barang sedikit (quota CPNS terbatas), menyebabkan harga tinggi. Harga satu formasi kursi PNS menjadi mahal. Kondisi ini menghadirkan pertanyaan, bagaimana pola perekrutan dan apa kriteria umum yang digunakan dalam rekrutment CPNS 2013 di lingkup Provinsi dan sejumlah Kabupaten/Kota di NTT ?

            Filsuf Yunani Protagoras dalam pemikirannya terhadap manusia, manusia adalah ukuran untuk segala-galanya: lebih lanjut Protagoras mengatakan negara diadakan oleh manusia, tujuan pembentukan sebuah Negara adalah supaya manusia dapat terlepas dari ketidakamanan dan kesulitan hidup di alam yang buas, hidup bersama manusia lain itu tidak muda, manusia diberikan oleh dewa dua hal untuk dapat hidup bersama yakni keinsafan akan keadilan (dike) dan hormat terhadap orang lain (aidos).


Rekrutment Sebagai Bentuk Balas Budi

            Ukuran perekrutan CPNS tentunya ukuran diletakan pada manusia yakni, Sumber Daya Manusia (SDM) apakah memenuhi syarat atau tidak, namun kenyataan yang terjadi saat ini, proses rekrutment honorer dalam era otonomi daerah mengalami pergeseran. Para pegawai honorer diijinkan honor sebagai bentuk barter politik, para pegawai honorer adalah anak-anak para tiem sukses yang telah bekerja memobilisasi dukungan bagi kepala daerah terpilih. Tidak saja kepala daerah tetapi anggota DPRD juga bisa menitipkan pegawai honorer dari basis dapilnya, belum lagi kepala dinas juga menitipkan keluarganya untuk turut honor.

            Quota yang sedikit dalam penerimaan CPNS pada tahun 2013 ini. Proses perekrutan ditingkat daerah dilakukan di daerah, kemungkinan tidak ada asas keinsafan akan keadilan (dike) tidak berlaku, dan hormat kepada orang lain (aidos) yang berkompeten tidaklah menjadi ukuran rekrutment, karena hak dan kekuasaan ada di tangan penguasa lokal, untuk menentukan siap yang akan di rekrut. Hanyalah upaya balas budi paska pilkada.  Analisa bahwa rekrutment hanya untuk balas budi, jelas bisa dilakukan karena data pegawai honorer atau yang direkrut disiapkan oleh BKD, kemudian dikirimkan ke Pusat (Kemenpan), BKD adalah pilihan kepala daerah terpilih, sehingga peluang nepotisme terbuka lebar. Berbeda jika rekrutment dilakukan untuk pegawai tingkat pusat atau kementerian karena tidak bergantung pada dukungan politik.        
 
            Kualitas birokrasi akan menjadi baik jika diawali dengan rekrutment CPNS dengan tepat, sesuai kebutuhan atau formasi yang di butuhkan. Apabila tidak, akan menyebabkan kualitas birokrasi menjadi buruk dan hanya menghabiskan anggaran belanja. Padahal dana dapat dialihkan untuk pembangunan infrastruktur yang bisa di rasakan oleh lebih dari satu orang.   

Harapan perubahan status bagi para pegawai honorer untuk diangkat menjadi PNS defenitif, tidak mungkin diwujudkan tahun ini, dikarenakan quota terbatas. Salah satu provinsi di Indonesia  dengan pegawai honorer terbesar adalah NTT,  karena data APBD tahun 2012 menunjukkan, untuk Pemerintah Provinsi terdapat total belanja pegawai dan APBD NTT sebesar 50,78%, posisi NTT berada pada “minus growth” dimana jumlah pegawai berlebihan dan rasio belanja pegawai terhadap APBD diatas 30% (http://setagu.net/penerimaan-cpns-20130).  


Mengatasi Beban Pembangunan

            Kepala daerah harus kreatif dalam membangun, tidak harus menjadikan birokrasi sebagai indikator pertumbuhan ekonomi masyarakat. karena akan menimbulkan stgnasi pembangunan karena adanya pengurasan APBD  untuk belanja pegawai, anggaran untuk infrastruktur pembangunan  tidak cukup. 

            Lapangan kerja baru di NTT sangatlah terbatas sehingga orientasi mendapatkan kerja bagi masyarakat NTT adalah PNS, sehingga solusi jangka pendek yang selalu dilakukan mendaftar CPNS atau dengan menjadi tenaga honorer. Data tamatan sarjana pada tahun ini saja sangat menumpuk, februari 2013 Undana  mewisuda wisudawan mencapai 1.014 orang, September 2013 Universitas PGRI - Kupang mewisuda wisudawan berjumlah 1.053 orang. Jumlah ini belum di tambahkan dengan Universitas Katolik Widya Mandira, Universitas Kristen Artha Wacana, beberapa Sekolah Tinggi di Kota Kupang, serta Perguruan Tinggi lainnya yang tersebar di sejumlah kabupaten.

            Jumlah wisudawan tentu lebih besar jumlahnya dari quota CPNS yang disediakan. Andai pola pikir untuk survive di NTT adalah berburu peluang CPNS dan pegawai honorer ada dalam pemikiran masyarakat. Maka proses seleksi yang mengutamakan kompetensi dan kualitas dijadikan standar tetap, pola penerimaan pegawai honorer harus segera diakhiri. Jika pola ini diterapkan maka akan memacu masyarakat untuk meningkatkan kompetensi diri melalui pendidikan yang berkualitas.

            Pemerintah daerah dan Perguruan Tinggi harus melakuakan kerja sama terutama pembukaan Fakultas dan Program Studi di perguruan tinggi harus sesuai kebutuhan dan pergumulan daerah, ijin pendidikan yang diberikan bagi perguruan tinggi yang akreditasnya tidak memenuhi standar untuk ditiadakan karena akan memberikan hasil pendidikan yang meragukan kualitasnya. 

            Karena kualitas pendidikan akan berdampak pada perilaku sebagai kaum intelektual yang akan hadir di masyarakat dan alam yang buas. Pemikiran diatas bukan meragukan kualitas pendidikan tinggi, akan tetapi melihat fenomena mahasiswa yang memilih dukun untuk menyelesaikan persoalan hidupnya adalah bukti bahwa pendidikan tinggi gagal membentuk karakter manusia.


Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP - UI
             
           

           
           

Rabu, 11 September 2013

"OTOKRASI WALIKOTA DALAM SPIRIT OTONOMI DAERAH"


“OTOKRASI WALIKOTA, DALAM SPIRIT OTONOMI DAERAH”
*Yoyarib Mau

            Keterpilihan Jonas Salean seiring dengan masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memilih kepala daerahnya melalui jalur Pemilukada (Pemilihan Langsung Kepala Daerah), Jonas Salean yang memilih jalur independent untuk menggapai jabatan walikota dikarenakan kebosanan warga terhadap partai politik yang bermental korup dan sangat oligarkis.

            Keterpilihan Jonas Salean yang berpasangan dengan Herman Man menjadi tumpuan bagi masyarakat Kota Kupang untuk mendapatkan pelayanan yang mensejahterakan, karena menganggap Jonas Salean sebagai korban yang tersalimi pada pemilukada sebelumnya yang dimenangi oleh Pasangan Daniel Adoe dan Daniel Hurek. Keadaan tersalimi ini kemudian di manfaatkan oleh Jonas Salean bukan untuk membalas dendam dengan menebar kebencian atau kampanye hitam (black campaign).

            Jonas Salean melakukan politik silturahmi dengan mengunjungi sejumlah masyarakat yang melakukan hajatan pernikahan atau mengalami kematian, melakukan kunjungan dan membangun komitment serta kesepakatan dengan paguyupan etnies seperti Persatuan Atoin Meto (POT) dan etnies lainnya, yang juga dikunjungi adalah mereka yang tercancam dan terpinggirkan dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya. Seperti yang dilakukan Jonas Salean dengan warga Kolhua dimana sebelum terpilih Jonas berjanji dan menjamin bahwa bendungan Kolhua  tidak akan di bangun.

            Kemampuan konsolidasi kekuatan dan isu kampanye yang baik akhirnya kemenangan diraih oleh pasangan Jonas Saelan - Herman Man. Konsolidasi membangun kekuatan dukungan tentunya tidak mudah karena jalur independent selalu mengalami kesulitan yang sangat besar yakni tidak memiliki infrastruktur partai dan juga tidak memiliki pendanaan yang cukup untuk membiayai kampanye serta permintaan-permintaan jangka pendek yang insidentil ketika silaturahmi itu dilakukan seperti perbaikan jalan lingkungan, perbaikan rumah ibadah, bingkisan dan bantuan seadannya bagi korban kecelakan atau keluarga yang berduka.

            Keadaan Paket Jonas-Herman secara kasat mata tidak akan mungkin melawan pasangan calon lain seperti Jaffray Riwu Kore, Paul Liyanto dan yang lainnya, yang memiliki kemampuan financial yang kuat. Modal sosial yakni Kesederhanaan dan setingan performance rendah hati yang digunakan mampu memukau warga kota untuk memilih pasangan Jonas-Herman.

            Ketika saat ini dalam posisi jabatan sebagai walikota Kupang, dalam menjalankan manajemen pemerintahan berupa produktivitas dan daya kerja pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Modal sosial yang menjadi modal kemenangan Jonas yakni kesederhanaan dan rendah hati sepertinya, ibarat  jarum jam yang berputar terbalik melawan arah, yang terkesan arogan dan memaksa.  Hal ini terlihat sejak rencana pembangunan bendungan Kolhua,  dimana masyarakat Kolhua yang menolak rencana pembangunan tersebut mendapatkan ancaman bahwa Jonas akan menggunakan pendekatan kekerasan untuk mewujudkan pembangunan  bendungan Kolhua. Pada kasus yang berbeda menyangkut PDAM Jonas Salean berkeras dan akan menggunakan kekerasan untuk mengambil alih pengelolaan PDAM yang saat ini dikelola oleh Pemkab Kupang.

            Perilaku yang dilakukan oleh  Jonas Salean saat konsolidasi dan kampanye sangat berbeda dengan apa yang dilakukan saat ini ketika menjalankan manajemen pemerintahannya. Sehingga hadir pernyataan untuk diteropong, Apakah gaya kepemimpinan seseorang akan berubah ketika ada dalam kekuasaan, serta apa faktor penyebab berubahnya gaya kepemimpinan itu ?


Otokrasi Orde Baru

            Sikap yang dilakukan oleh Jonas Salean terlihat sebagai budaya orde baru dalam menjalankan pemerintahan, dimana pola indoktrinasi yang dilakukan oleh rezim Soeharto bahwa pendapat yang benar adalah adalah pendapat resmi pemerintah, setiap perbedaan dari pikiran resmi, apalagi bertentangan, adalah penyelewengan yang harus di tumpas sampai ke akar-akarnya  (Ajib Rosidi – Pustaka Jaya – 2006). Resmi yang di pahami disini adalah apa yang dikehendaki oleh pemimpin, yang biasanya di kenal dengan sebutan otokrasi yakni pemerintahan yang di dalamnya seluruh kekuasaan politik yang sepenuhnya dikendalikan oleh satu orang dengan tidak mengindahkan pengawasan publik.

            Jika model ini yang dilakukan oleh Jonas Salean maka ada kecenderungan kuat bahwa Jonas Salean adalah sisa rezim orde baru yang memiliki kecenderungan kuat untuk menjalankan ideologi Thatcherisme dimana dalam kebijakannya selalu di perkuat dengan polisi dan pol pp-nya. Ideologi Thatcherisme dan doktrin rezim orde baru telah tumbang oleh reformasi 1998 dimana spirit demokrasi yang mewarnai semua sistem pemerintahan dimana adanya keterbukaan pengelolaan kekuasaan dan keterlibatan publik pengambilan keputusan.


Otonomi Daerah Berdimensi Merata

            Dimensi otonomi daerah tidak semata-mata adalah meningkatkan ekonomi masyarakat yang mengakibatkan minimnya kerja sama dan komunikasi antar daerah -pemerintahan lokal, sebagaimana yang dialami oleh Kota Kupang dan Kab.Kupang soal PDAM, dan soal usul solusi pemindahan pembangunan bendungan Kolhua ke kabupaten lain agar APBN itu dapat terserap di NTT. Memang otonomi daerah membuat setiap kabupaten harus bertanggung jawab atas daerahnya sendiri, akan tetapi tidak semua daerah punya kemampuan untuk menanggung sendiri kebutuhan di kawasannya.

            Kondisi lain yang harus di pertimbangkan oleh Kota Kupang dan Kabupaten Kupang yang apabila di hubungkan dengan teori Alfred Wallace yang kita kenal dengan sebutan “garis Wallace (Wallace Line)” yang memisahkan flora dan fauna di NTT dimana ada wilayah yang subur Asia dan ada yang memiliki kemiripan daaerah kering  seperti Australia, dimana kekekeringan dan kemarau sering merusak hasil pertanian di wilayah tertentu sehingga  perlu ada subsidi kepada daerah lain yang surplus kepada daerah yang minus. Kerjasama yang baik antar daerah otonom, ada daerah yang berperan sebagai otonom daerah penyangga, apalagi sejarah keberadaan Kabupaten  Kupang dan Kota Kupang memiliki keterkaitan historis yang tidak dapat dihilangkan begitu saja.

            Gaya kepemimpinan yang dibutuhkan dalam era otonomi daerah, seperti di NTT membutuhkan model yang tepat dan bukan semata-mata perburuan kekuasaan untuk mendapatkan pengakuan status sosial. Upaya balas dendam karena tersalimi dan motif-motif lain yang terselubung. Kesejahteraan hanyala ilusi jika ada pergeseran spirit otonomi daerah yang hanya memburu keuntungan ekonomi tanpa mempertimbangkan adanya pemerataan kesejahteraan.

            Rakyat dikibuli dengan kata-kata belas kasihan, namun kemudian ketika mendapatkan kekuasaan berbalik arah dan melakukan kebijakan yang berlainan. Sang pemimpin terecoki dengan mempertimbangkan besarnya APBN yang di alokasikan, sehingga mengabaikan esensi otonomi daerah yang demokratis. Mengabaikan kepemimpinan yang berdampak bagi semua wilayah, jangan hanya ingin memburu rente dan kepentingan para pemodal maka menggunakan sikap represif dengan kekerasan yang memanfaatkan sistem, demi kepentingan segelintir kroni. Keberadaan rakyat tidaklah penting dalam lingkaran elit, rakyat dikesampingkan hanya di butuhkan ketika jelang pilkada. Dimana dukungan rakyat dianggap sebagai “vox argentum” atau suara recehan, dimana dengan selembar mata uang  maka mata rakyat membiru dan dengan muda memberikan suaranya.

*Mahasiswa ilmu Politik – FISIP - UI