Jumat, 18 Oktober 2013

"YABES JANGAN DIKOOPTASI OLEH POLITISI"



“YABES JANGAN DIKOOPTASI POLITISI”
*Yoyarib Mau
Prestasi Tim Nasional Indonesia usia di bawah 19 tahun menetapkan sebanyak 23 orang pemain inti untuk berlaga di kejuaraan Piala AFF U-19 di Sidoarjo dan Gresik, Jawa Timur, pada 9-22 September 2013. Kemudian menjelang final pertandingan di pindahkan di Gelora Bung Karno, pemindahan tempat ini memberikan angin segar bagi kemenangan Team Indonesia meraih kemenangan sebagai juara Group G.
Garuda Muda memastikan lolos ke putaran final piala AFC U-19 di Myanmar pada bulan Oktober 2014 mendatang dicapai melalui poin sempurna yakni sembilan, pasca mengalahkan Juara bertahan Piala Asia Korea Selatan dengan skor 3-2. Kemenangan ini tak luput dari sang pelatih bertangan dingin Indra Sjafri yang berinisiatif mencari pemain-pemain berbakat di seluruh penjuru Indonesia. Dalam pengakuan Indra Safri  bahwa proses seleksi pemain dilakukan selama tujuh (7) bulan tanpa di bayar.
Perjuangan berat Indra Safri dan seluruh skuad tim Garuda Muda U-19 tahun, mendapatkan apresiasi dari semua pihak di seluruh tanah air. Apresiasi yang tak kalah menariknya datang dari warga Flobamora di semua tempat. Ungkapan apresiasi dan kebanggaan dilakukan oleh warga Flobamora dikarenakan seorang Putra Flobamora dari kampung Moru Kab. Alor-NTT terpilih dalam skuad tim Garuda Muda.
Yabes Roni Malaifani menjadi kebanggaan warga NTT ketika malam itu pelatih Indra Sjafri, menurunkan pemain 18 tahun itu di pertandingan melawan Filipina U-19 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (10/10/2013). Yabes masuk menggantikan Dinan Yahdian pada pertengahan babak kedua, dia membuktikan kelasnya sebagai pemain berpotensi. Pada menit ke-82, Yabes mencetak gol setelah melakukan kerjasama apik dengan Paulo Sitanggang. Gol itu menggandakan kedudukan Indonesia U-19 menjadi 2-0 dari Filipina U-19.

Malam itu nama Yabes Roni Malaifani menjadi kebanggan dan topik pembicaraan bagi seluruh warga Flobamora yang berada di seluruh pelosok nusantara bahkan di mancanegara. Sejarah baru bagi persepakbolaan tanah air, dimana ada sosok pemain yang hanya bertanding dipertandingan antar kampung tanpa melalui sekolah sepakbola sebagaimana lazimnya para pemain nasional, tetapi memiliki skill yang luar biasa. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Indra Sjafri bahwa Yabes dapat menjadi kartu truf bagi kemenangan tim Garuda Muda. Kenyataannya memang sesuai dengan aksi Yabes ketika menjebol gawang Filipina pada menit-menit terakhir pertandingan. 

Keberhasilan Yabes adalah keberhasilan rakyat NTT khususnya masyarakat di Alor yang sering melakukan pertandingan antar kampung sebagai media bagi anak-anak kampung menunjukan kemampuan alamiah yang mereka miliki. Namun menjadi pertanyaan bagi kita bersama untuk direnungkan, bagaimana nasib Yabes Roni Malaifani ketika para politisi atau lembaga bentukan politisi yang mengklaim bahwa keberhasilannya adalah peran keberhasilan mereka ?  

Jika partai politik atau institusi yang melakukan penguasaan terhadap diri Yabes maka benarlah apa yang dikatakan oleh Antonio Gramsci mengenai hegemoni, dimana hegemoni sebagai strategi perjuangan, dengan melakukan kepemimpinan de facto suatu kelompok sosial atas kelompok sosial lain tanpa harus memimpin secara de jure. Dimana kekuasaan politik yang didasarkan pada konsensus moral dan politis melalui perserikatan, partai politik, sekolah-sekolah, media massa, lembaga agama dan sebagainya. Kelompok sosial yang melakukan hegemoni, sengaja ataupun tidak akan menampilkan secara implisit konsepsi politik yang dimanifestasikan dalam penggunaan bahasa. Agar kelas atau kelompok yang dikuasai patuh kepada penguasa maka kelas itu harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka (Arief Adityawan S – LP3ES – 2008).

Kooptasi Atlet Sebagai Pencitraan
Perkembangan paska kemenangan tim Garuda Muda besutan Indra Sjafri memenangan perhelatan di grup G sebagai juara group. Membuat kehadiran Yabes sebagai salah satu tim sebagai atlet NTT yang berprestasi, seiring dengan  prestasi yang di raih, sejumlah kelompok masyarakat yang tergabung dalam kelompok sosial yang diberi nama Novanto Center melakukan hegemoni bahwa mereka yang memiliki peran penting bagi kebesaran nama Yabes, hal ini di ungkapkan oleh salah satu tim Novanto Center yakni Hendro Ndun bahwa  kehadiran pelatih tim Garuda Muda Indra Sjafri adalah hasil sponsor Novanto Center, mereka yang mendatangkan pelatih ini ke kupang untuk mencari bibit pemain Garuda Indonesia di bulan Mei, bertepatan dengan diadakannya pertandingan bola antar SMU yang diinisiasi oleh kelompok sosial ini.

Bahkan penguasaan Yabes sebagai alat visual untuk kekuasaan politik Novanto Center dikemas dalam pembuatan sejumlah baju yang kaos yang bertuliskan nama Yabes Roni Malaifani untuk mengkooptasi pengagum Yabes (fans). Penggiringan atau bahasa yang tepat yang digunakan sebagai bentuk hegemoni  politik atas pengagum (fans) Yabes akan dimobilisasi dalam penjemputan Yabes di Bandara Eltari Kupang. Kekwatiran atas proses hegemoni ini akan menghambat pengembangan persepakbolaan di tanah air, karena atlet akan dimanfaatkan bagi pencitraan visual bagi sang politisi. Pengakuan Tim Novanto Center tentunya berbeda dengan pengakuan Indra Sjafri yang mengatakan bahwa proses pencarian atlet ini dilakukan sendiri tanpa dibiayai oleh siapapun.

Jauhkanlah Mereka Dari Godaan Setan
Mengharumkan nama NTT di level nasional membuat semua pihak bangga atas prestasi yang diraih, bahkan memberikan pemahaman baru bahwa di NTT banyak pemain potensial. Keberadaan Yabes sebagai salah satu tim Garuda Muda dari 32 orang yang berasal dari berbagai provinsi di tanah air, telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari PSSI sehingga seyogiannya PSSI betanggungjawab atas skuad Garuda Muda.

PSSI tidak dapat melepaskan keberadaan skuad tim Garuda Muda ini lepas ke tangan para kaum hegemoni yang dapat memanfaatkan keberadaan atlet untuk kepentingan yang tidak dapat di pertanggungjawabkan. Info dari Hendro Ndoen salah satu tim Novanto Center bahwa Yabes diinapkan di rumah Setya Novanto adalah sebuah kesalahan atau pelanggran terhadap keberadaan Yabes sebagai tim Garuda Muda Indonesia. Seyogiannya keberadaan Yabes diserahkan dalam pengawasan PSSI di tingkat provinsi atau kabupaten. 

Keberadaan Yabes berbeda dengan anggota tim yang berasal dari klub bola dimana mereka direkrut. Seandainya Yabes masih sebagai anggota tim Perskab Alor, maka sebaiknya pemda bertanggung jawab untuk melakukan pendampingan terhadap atlet yang telah mengharumkan nama daerah. Hal ini penting karena agenda Garuda Muda ke depan masih panjang menuju perebutan Piala AFC U-19 di Myanmar pada bulan Oktober Mendatang.

Jika jatuh ke tangan mereka yang tidak bertanggung jawab, akan menyebabkan keberadaan diri Yabes sebagai alat eksploitasi bahkan menjadi alat dagangan politik, bagi para politisi untuk pencitraan diri mereka. Hal ini akan mengurangi orientasi prestasi yang hendak dicapai oleh bangsa ini. Sebagai alat pencitraan dari para politisi tentunya akan mendapatkan imbalan sejumlah uang, sehingga membentuk karakter (mindset) pemain kita untuk lebih memikirkan uang. Akibat terlena atas pengagguman para politisi kita dengan sejumlah uang penghargaan maka akhirnya lebih memikirkan jumlah uang bayaran daripada prestasi yang hendak di capai.

*Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP - UI

  

Jumat, 04 Oktober 2013

"GOLKAR PENYEBAB UTAMA RONTOKNYA AKIL MUCHTAR


GOLKAR PENYEBAB UTAMA RONTOKNYA AKIL MUCHTAR
*Yoyarib Mau

            Proyek bernegara dijalankan dalam sebuah narasi besar yang namanya demokrasi. Dalam menjalankan negara  dengan narasi demokrasi maka dalam kontrak sosial yang ditawarkan oleh oleh para filsuf untuk menjamin hak-hak politik masyarakat yang kemudian kita kenal dengan sebutan trias politika.

            Gagasan trias politik, yakni yudikatif, eksekutif dan legislatif  hadir akibat revolusi Prancis yang telah menumbangkan kerajaan yang mengamputasi hak dan kebebasan rakyat. Waktu itu kekuasaan semata-mata hanya dikendalikan dan dinikmati oleh lingkaran kerajaan Perancis saja. Gagasan trias politika diadopsi oleh Indonesia, bahkan keberadaan trias politika yang seharusnya menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, berubah wujud menjadi trias koruptika yang membangun kartel untuk memangsa, perilaku kartel politik yang dijalankan oleh ketiga lembaga ini terlihat jelas dalam  peristiwa tertangkap tangannya Akil Mochtar.

            Kartel trias koruptika ini terlihat jelas dalam memainkan perannya. Dalam dua (2) kasus suap pilkada yang terungkap saat Akil Muchtar tertangkap tangan, Kasus Pemilihan Bupati Gunung Mas; eksekutif direpresentasikan oleh pihak Bupati Gunung Mas - Hambit Bintih yang memanfaatkan pengusaha untuk menyiapkan uang, Chairun Nisa merepresentasikan legislatif, karena sebagai anggota DPR-RI dari Partai Golkar.  Chairun Nisa seorang ligislator di Komisi VIII DPR-RI  membidangi kesejahteraan sosial dan agama, berperan sebagai perantara. Sudah sejak pemilu 1997 dirinya sebagai legislator, bahkan saat ini tercatat sebagai calon legislatif pada pemilu 2014 dari daerah pemilihan Kalimantan Tengah Nomor Urut 1. Kepentingan Hambit Bintih sebagai eksekutif di jembatani oleh legislator yang diperankan oleh Chairun Nisa untuk mempertemukan kepentingan eksekutif tersebut  dengan pihak yudikatif dalam hal ini Mahkamah Konstitusi yang direpresentatiskan oleh Akil Mochtar.

            Kasus yang sama yang motif dan operandi yang sama dilakukan Akil Muchtar menyangkut soal Pemilihan Bupati Lebak. Amir Hamzah Bupati Lebak incumbent yang adalah legislatif yang bertarung di pilkada dan sebagai pemenang suara terbanyak ke dua, yang mengugat ke MK memanfaatkan keberadaan jaringan sesama eksekutif yakni Tubagus Chaeri Wardhana yang adalah adik kandung Gubernut Banten Ratu Atut Chosiyah dan juga adalah suami dari Walikota Tangerang Selatan Airin Rachma Diany. Daerah Banten adalah daerah yang hampir semua kepala daerahnya di pimpin oleh keluarga Gubernur Banten, sebagai daerah basis Golkar yang tentunya memiliki kader legislatif di parlement, namun dalam kasus di pilkada Lebak – Banten ini, legislatif tidak banyak dilibatkan tetapi kedekatan secara emosional sebagai kader dan basis Golkar tentunya mendorong peran serta para  petinggi Golkar yang kemungkinan ada dalam lembaga legislatif untuk memfasilitasi kepentingan eksekutif lokal untuk dapat berhubungan dengan yudikatif dalam hal ini Akil Muchtar sebagai salah satu penentu dalam setiap keputusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi.

            Kartel Politik yang dibangun dengan memanfaatkan sentiment emosional kepartaian ini membuat sistem pemerintahan kita mengalami “rontokrasi karena pilar-pilar demokrasi yang diharapkan peran mereka yang independent, ternyata tidak memberikan kinerja yang sangat mengecewakan. Kondisi ini menghadirkan pertanyaan. Bagaimana membangun sistem pemerintahan kita yang baik, guna menciptakan situasi negara yang diharapkan oleh para pendiri bangsa kita yang dirangkum dalam  pembukaan UUD 1945 ?   

            Kontrak sosial yang di bangun oleh masyarakat dengan memberikan mandat kepada tiga lembaga negara ini, untuk bekerja sama dan saling mengontrol demi menghasilkan sebuah kehidupan yang mensejahterakan, yakni terciptanya kehidupan yang adil dan makmur. Kenyataannya lembaga-lembaga trias politika ini membangun kartel dengan sebuah tujuan. Menurut Kuskrido Ambardi; membangun kartel adalah kepentingan partai politik untuk menjaga kelangsungan hidup partai politik. Karena kelangsungan hidup mereka adalah bagaimana menjaga kekuasaan kepala daerah untuk mendapatkan sumber keuangan. Sumber keuangan ini bukan alokasi resmi negara kepada partai politik, melainkan uang pemerintah yang didapatkan oleh partai politik melalui perburuan rente. Aktivitas ini hanya akan mungkin jika memiliki akses dalam jabatan pemerintahan dan parlemen ( Kuskrido Ambardi – 2009).

Golkar Penguak Tabir Kartel
              Dalam kasus yang menimpa Akil Muchtar dengan dua kasus pemilihan bupati ini, menunujukan dengan jelas bagaimana peranan Partai Golkar. Akil Muchtar adalah Ketua Mahkamah Konstitusi yang adalah mantan kader Golkar yang pernah menjadi anggota DPR RI selama dua periode yakni 1999-2004 dan 2004-2009. Kemudian memilih menjadi Hakim Konstitusi sejak 2008-2013, kemudian terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi pada 2013-2016.

            Sejatinya keberadaan diri Akil Muchtar sebagai Hakim Konstitusi sudah seharusnsya berperan sebagai penegak konstitusi dengan pendirian teguh demi kedamian dan kesejahteraan negara, dimana berperan sebagai negarawan yang telah di ambil sumpah. Karakter negarawan tidak tampak dalam diri Akil Muchtar yang tampak adalah karakter politik rezim orde baru dengan bawaan spesifik yang bergantung penuh pada lembaga atau organisasi dengan tujuan utama yang dikejar adalah mempertahankan kekuasaan dengan memaksimalkan energi politik dan hukum.

            Karakter khas rezim orde baru adalah mengoperasikan kekuatan ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar) untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, hal ini yang kembali dibangun oleh rezim ARB di tubuh Golkar. Golkar menyadari bahwa keberadaan mereka bukanlah “the rulling party” yang bisa mendapatkan sumber-sumber tambahan bagi partai, melalui kekuasaan yang dikendalikan pada tingkat pusat seperti Kementerian atau BUMN. Peluang untuk mendapatkan keuntungan pada tingkatan provinsi tidak tercapai, karena dalam beberapa pilkada pada tingkat provinsi Golkar mengalami kekalahan secara telak.

Partai Politik Harus Tau Diri
            Era otonomi daerah dengan pola disentralisasi dimana memberikan peluang kekuasaan itu berada di tingkat kabupaten dan kota. Keadaan ini memaksa Golkar hendak merebut kemenangan, demi mempertahankan kekuasaan serta keberlangsungan Partai Golkar. Perjuangan dalam setiap pilkada dimaksimalkan hingga Mahkamah Konstitusi. Maka sering menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan. Tidak menaifkan bahwa partai lainpun melakukan hal yang sama. Ada keterkaitan yang saling menguntungkan, dan keberadaan legislatif di DPR-RI sangat berperan penting dalam persoalan ini, dimana mereka memiliki kedekatan dengan para elite penentu kebijakan, seperti keberadaan Akil Muchtar sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi tentunya mengenal mereka sebagai sesama anggota DPR dari Partai Golkar.

            Pengendalian pilkada kabupaten/kota oleh sejumlah anggota legislatif dan melibatkan penegak hukum yakni yudikatif dipaksa untuk terlibat dalam konsolidasi kemenangan partai politik ini juga bertujuan agar eksekutif yang terpilih bertanggung jawab untuk mengarahkan rakyat di wilayah kekuasaannya untuk memilih legislator yang telah berperan sebagai perantara di Mahkamah Konstitusi.

            Keberadaan yudikatif sebagai lembaga pemerintahan setara dengan dengan eksekutif dan legislatif, keberadaan mereka adalah menjalankan fungsi kenegaran tanpa harus membangun kartel demi kepentingan partai politik tertentu. Independensi lembaga-lembaga pemerintahan ini tidak harus dikecilkan bahkan direndahkan martabatnya oleh  peran partai politik. Partai politik keberadaannya hanya sebatas membangun komunikasi dengan lembaga legislatif memberikan pemikiran dan masukan bagi legislatif.

*Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP - UI