Sabtu, 05 Juli 2014

"SBY Dengan Kebijakan Banci"

“SBY Dengan Kebijakan Banci”
*Yoyarib Mau

            Pemilu 2014 merupakan pemilu yang menarik perhatian dan keterlibatan semua masyarakat karena hanya dua pasangan kontestan, yakni Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. SBY sebagai incumbent tidak ikut dalam kontestasi karena dibatasi oleh konstitusi dimana hanya dua periode. SBY selain sebagai Presiden tetapi juga sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

            Sikap Partai Demokrat dalam Pilpres 2014 pada 18 Mei 2014 seusai rapat pimpinan partai Ketua Harian Syarief Hasan mengatakan bahwa; Partai Demokrat akan bersikap netral tidak akan bergabung secara formal dengan kubu capres Jokowi atau capres Prabowo namun tidak berarti golput. Partai Demokrat menginisiasi kegiatan dialog bersama Partai Demokrat dan Prabowo-Hatta di Hotel Sahid, pada 01 Juni 2014, dan pada kesempatan itu Prabowo menyampaikan visi dan misi Prabowo-Hatta, kemudian Ketua Harian Partai Demokrat Syarief Hasan memberikan kesimpulan bahwa visi dan misi Prabowo-Hatta segaris dengan Partai Demokrat. Pada kesempatan tersebut Syarief Hasan menyatakan bahwa hasil dialog ini akan disampaikan ke SBY dan baru akan mendeklarasikan mendukung atau tidak.

            Beberapa waktu kemudian pada 30 Juni 2014 melakukan jumpa pers di kantor DPP. Partai Demokrat yang disampaikan oleh Syarief Hasan selaku Ketua Harian yang dihadiri juga oleh para pimpinan DPP Demokrat termasuk Sekretaris Jenderal Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono, DPP. Partai Demokrat memutuskan dan menginstruksikan kepada pimpinan DPD,DPC dan kader Demokrat, simpatisan Demokrat, termasuk organisasi sayap Demokrat untuk memberikan dukungan penuh sekaligus suarannya kepada Prabowo-Hatta dalam Pilpres 9 Juli mendatang.

            Keputusan ini berbeda dengan sejumlah pengurus dan kader Partai Demokrat yang memilih untuk mendukung Jokowi-JK seperti; Suadi Marasabesy, Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Hayono Isman, didahului oleh Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Sinyo Sarundajang yang juga Gubernur Sulawesi Utara, himpunan komunitas demokrat yang digagas oleh politisi Demokrat Pasek Suardika dengan sebutan PD (Pemilih Dua) juga menyatakan dukungan ke pasangan capres nomor urut dua. Tokoh kontroversial yang juga Juru Bicara Partai Demokrat Ruhut Sitompul juga mendeklarasikan diri untuk mendukung Jokowi walau sebelumnya selalu mengkritik Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sikap Ruhut ini mendapat dukungan dari Sekjend Demokrat  Edhie Baskoro Yudhoyono, tetapi juga kecaman dari Wakil Ketua Umum Max Sopacua.

            Melihat kebijakan Partai Demokrat yang semula memilih netral dengan tidak memberikan dukungan politik ke salah satu pasangan capres-cawapres dalam rapimnas, tetapi kemudian memilih menyatakan dukungan ke pasangan Prabowo-Hatta setelah melakukan dialog bersama antara Partai Demokrat dan Prabowo-Hatta, hasil dialog tersebut menurut Ketua Harian Syarief Hasan akan dikomunikasikan dengan Ketua Umum, selang beberapa hari kemudian Demokrat mengumumkan kepada publik bahwa Demokrat mendukung Pasangan Prabowo-Hatta, dengan demikian bahwa Susislo Bambang Yudhoyono yang adalah Presiden juga sebagai Ketua Umum Partai Demokrat memberikan dukungan Politik kepada pasangan Prabowo-Hatta dan tidak lagi netral.

                  Dari pembahasan diatas menghadirkan pertanyaan mengapa SBY bersikap seperti memakan buah simalakama, merasa bersalah jika tidak memberikan dukungan ?, di satu sisi menyatakan netral dalam sebuah keputusan resmi partai dalam salah satu forum pengambilan kebijakan tertinggi partai yakni rapimnas, atau SBY memilih menjadi safety players ?  

            Pemilu adalah sebuah agenda demokrasi yang menjadi tangung jawab negara yakni Presiden untuk mewujudkannya, peran SBY seharusnya turut serta dalam mewujudkan proses pemilu presiden sehingga berjalan dengan baik, untuk perwujudan Indonesia sebagai negara demokrastis, meminjam istilah Larry Diamond yang menilai demokrasi baru sekedar “demokrasi prosedural” dan belum mencapai “demokrasi substansial”. 

Menurut Daniel Sparingga demokrasi prosedural dari pemilu adalah suatu sistem kompetitif yang bukan saja merupakan wahana perebutan jabatan-jabatan publik (official elected), kata kunci paling penting dari demokrasi prosedural adalah kapasitas pemilu sebagai cara untuk memproduksi legitimasi sebesar-besarnya dari rakyat (pemilih) melalui kontestasi yang kompetitif (competitivines) berdasarkan prosedur yang ditetapkan. Sedangkan entitas lain yakni demokrasi substansial adalah apakah hasil pemilu dapat bermanfaat bagi pencapaian kesejahteraan rakyat banyak. Pemilu hanya digelar untuk mengatur sirkulasi kekuasaan dan kepemimpinan sementara produk dari demokrasi bernama itu dipertanyakan (Restorasi Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia – Fajar Media Press- 2011).

Keberadaan dan posisi SBY sebenarnya dalam pemilu 2014 adalah demi mewujudkan demokrasi substansial karena SBY tidak lagi sebagai kontestan tetapi berperan sebagai kepala negara untuk mewujudkan produk pemilu yang demokratis, dengan kata lain bagaimana pemilu itu digelar dari proses hingga menuju hasil pemilu (dari hulu hingga hilir) itu, tanpa ada kecurangan atau keberpihakan kepada kontestan tertentu. 

Awal yang baik ketika 02 Juni 2014, SBY mengintruksikan kepada seluruh jajaran TNI/Polri dan juga BIN untuk bersikap netral dalam Pemilu Presiden 2014, puluhan jenderal TNI/Polri hadir dalam agenda Apel Pimpinan Perwira Tinggi TNI/Polri di Kementerian Pertahanan, dalam kesempatan itu SBY juga berpesan kepada para jenderal untuk bisa menciptakan suasana yang tertib, serta menghimbau dengan sangat agar para jenderal TNI/Polri bersikap netral dalam Pilpres. Pernyataan SBY ini sebenarnya diikuti dengan sikap tegasnnya untuk mempertahankan kenetralan Partai Demokrat secara organisasi tidak melakukan dukungan kepada pasangan tertentu.

Atmosfir SBY dalam kebijakan terkesan banci, karena secara institusi partai politik adalah Ketua Umum Partai Demokrat, yang walaupun keputusan partai dibacakan oleh ketua harian, namun SBY lupa bahwa ketua umum sebagai penanggungjawab organisasi bukan di tangan ketua harian tetapi ketua umum. Kebijakan Partai Demokrat ini seolah-olah SBY membuang badan bahwa bukan kebijakan SBY tetapi kebijakan sebagian pengurus. Seyogiannya SBY memberikan kebebasan kepada kader dan pengurus untuk menentukan pilihan politik tetapi secara institusi partai politik tidak memberikan dukungan kepada pasangan manapun.

Menjadi sangsi bagi TNI/Polri untuk bersikap netral jika SBY tidak netral, sebab keberadaan TNI/Polri adalah netral, akan tetapi posisi Panglima TNI dan Kepala Kepolisian selalu ditentukan oleh Presiden, penentuan jabatan ini oleh presiden menjadi impian, sehingga tidak secara formal petinggi TNI/Polri menyatakan sikap mendukung salah satu pasangan capres-cawapres tetapi bisa saja secara diam-diam memakai kekuasaan komando untuk menggerakan mesin struktural TNI/Polri untuk mendukung pasangan tertentu dengan imbalan posisi Panglima TNI atau Kepala Kepolisian.

Kenetralan TNI/Polri harus sejalan dengan kenetralan SBY, namun kenyataannya SBY menjalankan perilaku banci yakni setengah hati, bukan saja dalam keputusan institusi partai tetapi dalam menyikapi persoalan-persoalan dalam masa kampanye ini, dalam persoalan Tabloid Obor Rakyat yang dibidani oleh para staf dari lingkaran istana yang melakukan “blak campaign” tetapi SBY diam dan tidak memberikan sikap. Namun ketika persoalan kader PDIP yang melakukan presure ke stasiun TV-One yang nota bene stasiun tv ini memberikan dukungan penuh kepada pasangan capres-cawapres tertentu malah SBY angkat bicara.
 
SBY dibutuhkan untuk mewujudkan demokrasi substansial dalam mewujudkan akhir kepemimpinan yang baik, ada peribahasa; gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama, SBY meninggalkan jabatan dengan demokratis, sehingga suatu saat nanti ketika SBY hendak diperjuangkan menjadi pahlawan nasional ada alasan yang mendasar.

*Pemerhati Sosial - Politik   


   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar