Selasa, 26 Agustus 2014

"Titu Eki Tersandera Kubus Ongkos Politik"

“Titu Eki Tersandera Kubus Ongkos Politik”
*Yoyarib Mau

Mengawali kepemimpinan periode 2014-2019 ini, konflik berkelanjutan bahkan eskalasinya hingga permohonan uji materil ke Mahkamah Agung (MA) RI, terkait penolakan menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) akhir tahun anggaran 2013 dan LKPJ akhir masa jabatan Bupati Kupang periode 2009-2014 yang tidak dilakukan Bupati Ayub Titu  Eki. Alasan sejumlah anggota DPRD Kab. Kupang bahwa Ayub Titu Eki dinilai telah melanggar sumpah dan janjinya saat dilantik, bahkan dinilai telah melanggar konstitusi yang diatur dalam PP Nomor 3 Tahun 2007 dan Undang-undang 32 Tahun 2004 yang mewajibkan kepala daerah untuk menyampaikan LKPj akhir tahun dan LKPj akhir masa jabatan.  
.
Bupati Ayub Titu Eki bukan tidak mau melakukan LKPJ tetapi ia sudah menyerahkan secara formal dan materil dokumen LKPj akhir masa jabatan sekaligus dokumen LKPj akhir tahun anggaran pada tanggal 26 Februari 2014 melalui surat pengantar dengan Nomor BU.138/302/PEM/II/2014. Surat tersebut ditujukan kepada Pimpinan DPRD Kabupaten Kupang agar DPRD melakukan rapat Badan Musyawarah (Banmus). Namun, dalam rapat Banmus tanggal 4 Maret 2014, anggota Banmus gagal menetapkan agenda rapat paripurna DPRD Kabupaten Kupang untuk  penyerahan LKPj akhir masa jabatan bupati.

Rapat Banmus DPRD saat itu gagal karena  anggota DPRD Kabupaten Kupang, Yohanes Mase dan Anton Natun, 'memaksa' Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, untuk menandatangani SK tenaga kontrak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Bupati Ayub Titu Eki menolak menandatangani SK tenaga kontrak itu, dan rapat Banmus tersebut gagal menetapkan agenda paripurna DPRD sidang LKPJ.

Bupati Ayub Titu Eki tetap berkeras tidak mau melakukan laporan LKPJ, dirinya tidak akan melakukan penyerahan secara simbolis dokumen LKPj akhir masa jabatan. Karena menurutnya dapat menyalahi aturan karena tidak sesuai dengan etika penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Alasan Bupati tidak mau melakukan pertanggungjawaban kepada DPRD karena hal ini dapat dijadikan pintu masuk untuk menghakimi Bupati bahwa gagal pada periode 2009-2014, karena kenyataannya dirinya terpilih kembali dan telah menjalani jabatan sebagai Bupati Kupang periode 2014- 2019.

Persoalan lain yang menjadi keluhan Bupati atas perilaku pelaporan Bupati oleh DPRD ke MA yakni soal pemerasan terhadap sejumlah SKPD, Titu Eki mengungkapkan bahwa, para wakil rakyat Kabupaten Kupang tersebut kerap meminta uang kepada sejumlah pemimpin SKPD saat asistensi pembahasan anggaran di tingkat komisi. Keberadaan anggota DPRD sangat strategis dengan 3 fungsi yakni legislasi, pengawasan dan budgeting. 3 fungsi ini merupakan alat kekuasaan DPRD untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya, namun fungsi ini bisa di manfaatkan untuk melakukan manufer politik, sehingga wajarlah antara Bupati dan DPRD saling menikung.

 Dari uraian persoalan diatas hadir pertanyaan untuk menelaah opini, mengapa Bupati yang adalah eksekutif dan DPRD yang adalah legislatif seharusnya bersinergi untuk mewujudkan pembangunan daerah tetapi berperilaku seperti kucing dan tikus yang saling menerkam ?

John Gaventa mencetuskan teori Powercube (kubus kekuasaan) secara umum, kekuasaan dipahami sebagai kontrol seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain, kerangka pemikiran dalam teori ini akan menganalisis tiga dimensi kekuasaan : level, ruang dan bentuk, dan hubungan internal antara tiga unsur tersebut. Kebutuhan akan teori ini untuk membukakan jalan bagi kita untuk mengeksplorasi beragam aspek dan bagaimana interaksi antara aspek-aspek tersebut, agar jernih dalam memetakan hal-hal yang berperan dalam kekuasaan, para aktor di dalamnnya, persoalan dan situasi yang melatar belakanginya bahkan memungkinkan kita untuk melakukan perubahan secara tepat dan evolusioner (Politik Lokal – LP2B – 2014).

Level persoalannya adalah level Kabupaten, dimensi ruangnya seharusnya tertutup dalam ruang rapat Banmus yang diagendakan 04 Maret 2014 antara Bupati dan DPRD, kemudian bergeser dalam ruang yang diperkenankan yakni saling toleransi dalam agenda lanjutan, akan tetapi tidak terwujud sehingga level persoalan dipaksakan yakni ruang yang diciptakan atau diklaim melalui pengaduan hukum serta aksi masa dukungan. Bentuk persoalannya terlihat dengan gamblang melalui konflik terbuka dan saling buka-bukaan, yang awalnya sebenarnya ada maksud terselubung yakni permintaan anggota DPRD sebagai bentuk deal-deal politik yang tidak disepakati oleh Bupati, padahal bentuk permintaan ini adalah maksud terselubung untuk mengakhiri persoalan masa lalu dan memulai babak baru.

Kubus Balas Dendam
Pada pemilu kepala daerah Kabupaten Kupang untuk periode 2014-2019 yang diikuti oleh pasangan Jerry Manafe-Vinsen Bureni (Sahabat) diusung Partai Golkar, Silvester Banfatin-Anton Natun (Selamat) diusung oleh PDIP dan Partai Hanura, Steven Manafe-Maher Ora (Manora) diusung Partai Demokrat dan PKPI, Melitus Ataupah-Sumin Kase diusung Partai Pakar Pangan,  Ir. Aleks Foenay-Ir. Benny Ndoenboey (Abdi) didukung 14 partai gurem, Victor Y. Tiran-Ny. Maria Nuban Saku (Victory) didukung 9 partai gurem, sedangkan Ayub Titu Eki- Korinus Masneno (Yuri) lewat jalur perseorangan (independen).  Pilkada ini dimenang oleh pasangan Ayub Titu Eki – Korinus Masneno yang maju dengan dukungan suara 36.450 dukungan KTP dan menang dengan perolehan suara 63.229 suara atau 44,10 persen.

Akibat kekalahan ini bisa menjadi alasan kuat untuk melakukan perlawanan terhadap Ayub Titu Eki, terlihat dari partai dan pribadi yang melakukan pelaporan ke MA yakni partai pengusung seperti PDIP, Golkar, Hanura serta sejumlah partai lainnya. Sehingga LKPJ sebagai momentum tepat untuk melakukan balas dendam atas kekalahan yang diderita, dan wewenang itu dimiliki oleh DPRD sangat untuk mewujudkan niat balas dendam. Padahal peran partai politik seharusnya sebagai wahana pendidikan dan alat perjuangan aspirasi rakyat daerah, kenyataannya partai politik sebagai tangga menggapai tujuan-tujuan pragmatis.

Kubus Ongkos Politik
            Permintaan sejumlah anggota DPRD saat LKPJ disampaikan, hal ini bersamaan  pada masa kampanye jelang pemilu legislatif 2014, permintaan itu wajar menurut politik praktis dimana deal-dealnya adalah LKPJ diterima dengan syarat menandatangani penerimaan tenaga kontrak, karena jika tenaga kontrak diterima maka keuntungan politik sangat signifikan untuk meraup perolehan suara. Model ini sejatinya ada dalam ruang tertutup, namun karena tidak menemukan titik temu dan Bupati Titu Eki tidak m au disandera oleh ongkos politik sang DPRD tersebut, maka jurus buka-bukaan tak terhindarkan dan diendus oleh publik dan menimbulkan instabilitas politik.

            Jurus maut DPRD yang memainkan dramatikalnya dengan melakukan klaim UU dan PP untuk menjerat dan memberhentikan Titu Eki tidaklah kuat alasannya sebab pendirian Titu Eki cukup berlogika karena konstestasi kekuasaan yang diperoleh didukung penuh oleh rakyat yang dibuktikan dengan perolehan suara satu putaran, bukti 700 orang masyarakat berdemonstrasi di Gedung DPRD Kabupaten Kupang, Rabu (20/8/2014), dimana massa mempertanyakan alasan dan dasar hukum Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, diadukan Dewan ke Mahkamah Agung RI, ini sebagai bentuk kepuasan masyarakat yang dipenuhi Titu Eki karena masyarakat sebagai subyek dan sekaligus obyek dalam menjalankan agenda pemerintahannya.


*Pemerhati Sosial dan Politik

Sabtu, 16 Agustus 2014

"Tim Transisi Inkubator Politik"



“Tim Transisi Inkubator Politik”
*Yoyarib Mau

Tim Transisi sebuah kebijakan yang tidak biasanya dilakukan dalam catatan sejarah presiden terpilih di Indonesia, Jokowi-JK yang telah ditetapkan sebagai pemenang Pemilu 2014 oleh KPU. Bergerak cepat dengan membentuk Tim Transisi, Jokowi-JK selalu hadir dengan gagasan yang menarik, sejak awal kampanye bahkan setelah pemilu selalu hadir dengan gagasan yang tidak dapat diduga oleh siapapun. Terlepas dari tim kerja dibelakang layar yang meramu setiap ide dan gagasan, namun selalu saja ide itu ketika dipublikasikan selalu menuai kontroversi baik dipihak Jokowi sendiri maupun dari lawan politik.

Pilihan suka kata Tim Transisi yang sebenarnya adalah keberlanjutan dari tim sukses atau tim pemenangan pemilu, semangat dari tim yakni kolektifitas dimana ada pihak partai politik pendukung dan juga mewakili kelompok akademisi. Tim ini sangat kurus karena tidak melibatkan semua elemen pendukung seperti; relawan dan partai pendukung dalam tim inti. Tim ini digawangi oleh mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kabinet Presiden Megawati 2001-2004.

Pemberian nama struktur bagi tim oleh Jokowi dengan pendekatan adminsitratif dengan tujuan lebih pada fungsi kerja, dimana ada kepala staf dan empat deputi. Kepala Staf yakni Rini  M. Soemarno, empat deputi yakni Hasto Kristiyanto (Wasekjend PDIP), Andi Widjajanto (Dosen FISIP-UI), Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina nonaktif), Akbar Faisal (Politisi Partai Nasdem).  Empat deputi ini kemudian diberi mandat membentuk kelompok kerja. 

Dalam Tim Transisi tidak saja tim ini tetapi juga dibentuk tim penasihat senior di tim transisi, diantaranya mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono, mantan Wakil Ketua  Dewan Pertimbangan Partai Golkar  Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan  mantan Ketum Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi, serta mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif. Nama-nama lain yang pada masa kampanye pemilu yang lalu, juga masuk dalam tim sukses pasangan Jokowi-JK direkrut dalam kelompok kerja (pokja) tim transisi, Beberapa pokja yang diprioritaskan adalah, pokja Nelayan dan Petani, pokja Perumahan Rakyat, pokja Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, Pokja Bahan Bakar Minyak, dan pokja Transportasi Publik. .  

Akan tetapi ada sejumlah pihak yang kecewa karena tidak masuk dalam tim transisi, Karena komposisi tim transisi bentukan Jokowi-JK dinilai tidak mampu merepresentasikan kelompok pendukungnya, maka sebaiknya dibubarkan saja. Ini lantaran komposisi tim transisi hanya terdiri dari lima orang, yakni tiga orang dari kalangan professional, dan dua orang lagi masing-masing dari PDIP dan Partai Nasdem.  Rasa kecewa ini tentu berdasar karena hubungan emosional dari tim transisi yang terdiri dari 5 orang tersebut sepertinya di dominasi oleh pihak PDIP.

Rini M. Soemarno memiliki kedekatan emosional dengan mantan Presiden Megawati, Andi Widjajanto adalah anak mantan politisi PDIP almarhum Theo Syafei, Hasto Kristiyanto adalah Wasekjend PDIP, kemudian tersisa Akbar Faisal dari Partai Nasdem, Partai Nasdem dan PDIP adalah partai politik yang pertama kali mengusung Jokowi-JK sebagai Capres. Kemudian belakangan menyusul PKP, Hanura dan PKPI. Ketakutan ini tentu berdasar karena dari 5 orang tim transisi ini apabila dalam pengambilan keputusan strategis semisal penentuan nama menteri, jika berakhir dengan voting maka akan lebih menguntungkan bagi PDIP dengan 3 orang yang memiliki hubungan yang kuat dengan PDIP.

Ketakutan diatas disanggah oleh Jokowi bahwa  tim transisi pemerintahan hanya bertugas mempersiapkan penjabaran program dan janji kampanye di pemilu presiden menjadi program kerja kabinet, serta tabuh membicarakan kursi  menteri. Jokowi mengatakan, juga ditambahkan bahwa  pembentukan rumah transisi ini untuk mempersiapkan peralihan pemerintahan dari Presiden SBY, agar setelah dilantik Jokowi-JK langsung melaksanakan konsep pemerintahannya, utamanya implementasi sembilan program nyata Jokowi-JK atau Nawacita.

Menjadi pertanyaan besar yakni mengapa tim transisi ini begitu penting bagi Jokowi-JK sehingga perlu di bentuk ? tentu setiap aktivitas politik tidak terlepas dari kebijakan politis. Seperti pameo bahwa “tidak ada makan siang gratis dalam politik setiap dukungan politik baik yang diberikan melalui partai politik, gerakan kerelawanan, maupun dukungan nama besar akademisi, tokoh adat/masyarakat dan agama dalam masa kampanye pemilu 2014, tentu menjadi utang politik bagi Jokowi-JK. Dilain pihak Jokowi diuji akan konsistensinya yang sejak awal hendak membangun koalisi tanpa syarat.

            Habermas merumuskan unsur normatif dari ruang publik, yakni sebagai bagian dari kehidupan sosial, dimana setiap warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah politik. Refleksi Habermas tentang ruang publik berdasarkan deskripsi historisnya selama abad ke-17 dan ke-18, ketika cafe-cafe, komunitas-komunitas diskusi, dan salon menjadi pusat berkumpul dan berdebat tentang masalah-masalah politik (Reza A.A Wattimena - http://rumahfilsafat.com)

Kanalisasi Politik 

            Jokowi berpikiran persis seperti apa yang dikehendaki Jurgen Habermas bahwa memikirkan negara kedepan tidak sekedar dirinya yang terpilih secara dalam Pemilu 2014 yang memikirkan bagaimana baiknya Indonesia kedepan sehingga Jokowi membentntuk tim transisi. Keberadaan tim ini tentu tidak seperti yang digambarkan Habermas dimana dilakukan sebebas-bebasnya dan dilakukan dimana saja. Jokowi-JK membuatnya lebih apik dan terarah melalui kanal yang namannya tim transisi. Cafe-cafe, komunitas-komunitas diskusi, salon itu dalam pemilu 2014 mereka adalah partai politik, relawan-relawan, tokoh masyarakat dan tokoh agama/adat yang telah bekerja dan memberikan dukungan kemenangan bag Jokowi-JK yang kemudian mereka disatukan dalam sebuah kanal ruang publik.

            Kanal ini terlihat terbatas ukurannya tetapi ini untuk memudahkan terjadinya koordinasi sehingga pemikiran-pemikiran yang dihasilkan dapat terarah bagi terbentuknya ide dan gagasan bagi pemerintahan Jokowi-JK, ini merupakan ruang publik representatif dari ruang-ruang publik yang tersebar luas di berbagai pelosok, kelompok masyarakat  yang kemudian diminta peran sertanya dengan mewakilkan pribadi/tokoh untuk terlibat dalam tim transisi.

Inkubator Politik

            Sikap politik Jokowi-JK dengan membentuk tim transisi dianggap banyak orang sebagai upaya buang badan dari tuntutan balas jasa, karena telah memenangkan Jokowi, tidak dapat disalahkan karena memang sebagaimana pameo yang berkembang di masyarakat bahwa “tidak ada makan siang gratis dalam politik”. Namun bukan berarti tuntutan itu harus dipenuhi atau juga diabaikan keberadaan lembaga tim transisi diibaratkan sebagai inkubator alat yang digunakan untuk menumbuhkan dan mempertahankan suhu optimal, kelembaban dan kondisi lain seperti karbon dioksida (CO2) dan kandungan oksigen dari atmosfer di dalam. Inkubator sangat di butuhkan oleh bayi prematur yang baru lahir untuk bisa bertahan hidup maka membutuhkan inkubator. 

            Jokowi membutuhkan inkubator ini untuk menyeleksi kemampuan dan harapan perubahan dari semua pihak tidak  harus mematikan pribadi atau figur yang hendak menjadi menteri atau pejabat publik lainnya, tetapi pemikiran dan tujuan hendak menjabat jabatan publik dapat dituangkan dalam ruang publik yang namanya tim transisi.

*Pemerhati Sosial-Politik

Senin, 04 Agustus 2014

"ISIS Indonesia Bukti Negara Gagal"



”ISIS Indonesia Bukti Negara Gagal”
*Yoyarib Mau

Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan Islam Irak dan Syam Raya, ISIS menjadi jaringan global hal ini ditandai dengan kehadirannya yang dengan terang-terangan menggunakan simbol berupa bendera, melakukan long march di area public sphere serta seruan bagi masyarakat Indonesia untuk bergabung bersama ISIS. ISIS hendak menunjukan bahwa de facto keberadaan ISIS sah secara organisatoris, walau de jure belum mendapatkan pengakuan. Namun Pihak Kepolisian mengatakan bahwa ISIS di Indonesia sah-sah saja karena mereka juga dijamin oleh UUD 1945 soal kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat.

Penafsiran atas dasar hukum diatas membuat ISIS Indonesia merasa diri legal untuk ada serta berkembang mengkonsolidasi kekuatan dan memobilisasi diri untuk bergabung dengan ISIS di negara lain terutama Siria dan Irak. Faktanya organisasi ini menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ISIS telah berkembang pesat disejumlah daerah seperti NTB, Sulawesi, Ambon, Banjarmasin, dan Bengkulu. ISIS semakin mencuat ke permukaan dunia selain organisasi-organisasi radikal sejenis yang sudah sejak lama berjuang untuk mendirikan negara sendiri dengan ideologi dan mazhab yang khas. 

Keberadaan ISIS ditelurkan oleh Al-Qaeda di Irak, pimpinan Al-qaeda di Irak yaitu Syaikh Abu Mush’ab Az-Zarqawi yang kemudian digantikan oleh Syaikh Abu Hamzah Al-Muhajir, dalam perjalanan waktu terjadi persoalan internal khususnya di wilayah Diyala, Anbar dan Mosul memilih membelot dan mengingkari kepemimpinan Syaikh Abu Hamzah Al-Muhajir, namun persoalan ditengahi dengan memberikan otonomi kepemimpinan di wilayah Diyala kepada Syaikh Abu Umar Al-Baghdadi.

Pepatah kepemimpinan yang diperoleh karena ada kekerasan, selalu akan menghadirkan kekerasan baru, dan kekerasan baru itu hadir dari faksi-faksi yang yang berkembang. Sehingga faksi-faksi ini memohon kepada Syaikh Abu Hamzah Al-Muhajir agar dilakukan penegakan daulah, yang mana anggota majelis syura itu sendiri terdiri dari beberapa jamaah jihad: Al-Qaeda, Bribage Al-Jihad, Anshar Tauhid, Thaifah Manshurah, Kataib Al-Ahwal, Al-Ghuraba dan Jais Ahlus Sunnah wal Jamaah. 

Tujuan dari bersatunya organisasi-organisasi dalam sebuah pembentukan daulah tentu bertujuan untuk mengantisipasi tejadinya perpecahan atau perang saudara antara sesama mujahidin. Kelompok-kelompok ini kemudian bersepakat untuk memilih seorang amir dari mereka dan terpilihlah Syaikh Abu Umar Al-Baghdadi sebagai pemimpin yang dibantu oleh wakil dari perwakilan dari 6 jamaah lainnya yang tergabung dalam majelis syura. Penggabungan ini jelas merupakan kepemimpinan Al-qaeda dan pada hakekatnnya  ini adalah skenario Al-qaedah Irak menjadi skenario Daulah Islam. 

Keberadaan daulah islam pimpinan Al-Baghdadi dalam perjalan waktu membentuk ISIS dengan tujuan untuk mendirikan sebuah kekhalifaan di daerah di mana umat Sunni merupakan mayoritas di Irak (Distrik Fallujah). Menurut para tafkiri organisasi-organisasi yang tergabung dalam daulah islam perlu mendeklarasikan diri menjadi negara karena ada wilayah yang mereka kuasai yakni  Fallujah. Otomatis Al-Baghdadi memiliki emirat (wilayah kekuasaan), sehingga levelnya tidak lagi emir (penguasa) kelompok tetapi bergeser menjadi emir negara. 

Pola pengembangan kekuasaan Al-Baghdadi mengikuti apa yang dilakukan oleh Pemimpin Taliban Mullah Omar yang mendeklarasikan Emirat Negara Islam di Afghanistan kemudian berkembang menjadi emir global bagi pengikutnya yang mengembangkan Taliban disejumlah negara. sebagaimana juga yang dilakukan oleh Al-Zawahiri yang mengawali kepemimpinannya dari emir kelompok, kemudian emir negara dan kemudian emir global jaringan terorisme. Bukti adanya WNI yang telah menjadi bagian ISIS dan dengan berani tanpa ada ketakutan mengajak WNI lainnya untuk bergabung ke medan perang di emirat ISIS bukan lagi wacana tetapi kenyataan yang tak terbantahkan.

Kehadiran ISIS di Indonesia menghadirkan sejumlah pertanyaan apakah mungkin bagi NKRI mengijinkan adanya tatanan ISIS berkembang dan mendirikan ISIS di dalam NKRI ? Mengapa tidak ada langkah tegas dari Pemerintahan SBY  terhadap mereka yang terlibat dalam ISIS ?

Keberadaan ISIS dengan struktur pemerintahan yang mendunia,  adanya wilayah yang dikuasai, memiliki militer, memungut pajak. Indikator-indikator ini menunjukan bahwa mereka tidak sekedar gerakan, atau sektarian radikal, tetapi negara dengan kekuasaan membangun jaringan global dan mengancam akan NKRI. Kehadiran WNI dengan menampilkan diri melalui sarana media sosial “you tube” bahwa mereka bergabung dalam ISIS atau gerakan radikalisme dunia, dengan melakukan pembantaian dan aksi terorisme diberbagai negara, memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia tidak secara langsung berkontribusi dengan membiarkan WNI terlibat untuk mensukseskan cita-cita ISIS. 

Ray Takeyh dan Nikolas Grosdev menuliskan bahwa negara yang telah gagal dalam mengelola stabilitas politik dan sosial, merupakan lahan subur bagi berkembangnya aktivitas terorisme karena empat alasan: Pertama, menyediakan lahan yang sangat memungkinkan bagi terorisme untuk mengontrol dan mengendalikan berbagai wilayah di negara tersebut. Kedua, kemudahan bagi jaringan terorisme bergerak di negara yang terjangkit kondisi failed state, karena negara tersebut tidak mampu menyediakan perangkat legalitas dan memiliki kapasitas untuk menerapkan supremasi hukum yang dapat menjerat aktifitas jaringan terorisme. Ketiga, Fenomena kegagalan pengelolaan negara, memberi keleluasaan bagi kekuatan terorisme global merekrut anggota menyerap simpati sebagian warga dan negara tersebut. Keempat, failed state  menguntungkan aktivitas jaringan terorisme, karena negara-negara tersebut menjadi tempat perlindungan terbaik bagi aktivitas dan keselamatan kelompok terorisme (Terorisme dan TNI – CMB Press – 2013).

Embrio ISIS jelas adalah bagian yang tak terpisahkan dari organisasi global terorisme yakni Al-Qaeda yang memiliki mahzab dan ideologi yang sama, sehingga apapun alasannya ISIS adalah negara ataupun organisasi terlarang yang seyogiannya tidak mendapatkan tempat di NKRI, kenyataannya ISIS dengan bebasnya bergerak bahkan tampil ke publik bahkan negara terkesan diam dan memberi keleluasaan bagi ISIS untuk menunjukan keberadan mereka bahwa mereka legal, alasan kepolisian dalam hal ini Kapolri Sutarman mengatakan mereka dijamin UUD 1945 dengan menggunakan pasal 28, kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran lisan dan tulisan.   

Padahal dalam Pembukaan UUD 1945 para pendiri bangsa telah bersepakat untuk  mewujudkan perdamaian dunia, jika negara membiarkan WNI terlibat dalam ISIS untuk melakukan pembantaian atau peperangan, maka NKRI tidak menciptakan perdamaian dunia, keprihatinan dan perwujudan keadilan dunia tidak sekedar rasa empati tetapi harus dibuktikan sebagai bentuk cita rasa kewarganegaraan dunia dalam satu napas untuk mengutuk segala bentuk tindakan represif dan diskriminasi.

Kepedulian Indonesia terhadap Palestina yang diserang oleh Israel merupakan bukti mulia untuk mewujudkan cita rasa keadilan dunia, namun seyogiannya kita melakukan itu bukan karena atas dasar pertimbangan sentimen agama atau ras, kita harus sepakat bahwa cita rasa keadilan untuk membangun perdamian dunia sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Aspek kepekaan sebagai negara harus berlaku mutlak tehadap seluruh warga dunia tanpa pertimbangan atau sentimen tertentu. Apa yang dilakukan oleh ISIS dengan melakukan sejumlah pelanggaran HAM terhadap minoritas dan sub etnies tertentu, maka negara tidak boleh diam, apalagi yang melakukan itu turut serta WNI, jika negara Indonesia diam maka NKRI memenuhi syarat negara gagal. 

*Pemerhati Sosial – Politik