Senin, 12 Januari 2015

"UU DESA BUMERANG DESA"



“UU DESA MENJADI BUMERANG BAGI DESA”
*Yoyarib Mau

Penetapan Desa sebagai jantung pembangunan Indonesia merupakan berkah bagi rakyat Indonesia, karena wajah Indonesia akan terlihat dari Desa, jika wajah pembangunan desa terpuruk maka tercorenglah Indonesia. Ketika Desa tidak di perhatikan oleh pemerintah pusat yang berdampak pada persoalan ekonomi masyarakat, maka masyarakat desa memilih untuk mencari jalan lain yang dapat mengancam keutuhan NKRI. Sebagaimana sepuluh desa di Kecamatan Long Apari, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur ingin bergabung Malaysia, Kesepuluh desa tersebut adalah, Desa Simantipal, Sinapad, Labang, Lagas, Panas, Tambalang, Langsasua, Ngawal, Tembaluhut dan Desa Tembalujud.

Tentu ada alasan yang kuat bagi mereka untuk memilih bergabung dengan Malaysia warga Kecamatan Lumbis Ogong meninggalkan wilayahnya dan memilih pindah warga negara karena desakan ekonomi yang tak kunjung membaik. Hal ini juga tak lepas dari sulitnya akses jalan masuk ke ibu kota kabupaten atau provinsi. Sedangkan akses jalan menuju wilayah Malaysia sangat baik. Pemerintah Kerajaan Malaysia memang aktif membangun akses jalan langsung ke wilayah itu. Alasan desakan ekonomi menjadi alasan WNI di Kecamatan Lumbis Ogong ini memilih pindah warga negara (Malaysia) yang kemudian diperparah dengan tidak adanya perhatian untuk membangun infrastruktur jalan, telekomunikasi dan lain-lainnya.

Kondisi ini kemudian mendorong pemerintah pusat untuk merubah orientasi pembangunan akhirnya RUU Desa disahkan menjadi UU oleh DPR pada 18 Desember 2013 menyetujui rancangan Undang-Undang Desa untuk disahkan menjadi Undang-Undang Desa. Ribuan Kepala Desa diseluruh Indonesia menyambut dengan gegap gempita dan penuh dengan sukacita. Pengesahan UU ini dipercaya akan memberikan perubahan signifikan bagi pembangunan Indonesia ke depan, ada harapan perubahan orientasi pembangunan dari sebelumnya cenderung meng-anak-emas-kan kota, kini diharapkan bisa melihat desa sebagai tulang punggung pembangunan manusia dan ekonomi Indonesia. Dengan pengesahan UU Desa ini diharapkan akan memiliki perangkat yang dijamin kesejahteraannya oleh pemerintah, karena desa memiliki potensi transfer tunai dari pemerintah pusat maupun daerah hingga Rp 1 miliar per desa, dan ada kesempatan bagi warga desa untuk menentukan penggunaan anggaran yang dimiliki oleh desanya.

Setelah UU Desa ini disahkan maka dalam RAPBN ada anggaran yang dialokasikan untuk desa di seluruh nusantara, besaran angngaran untuk dana desa sekitar Rp104,6 triliun ini dibagi sekitar 72.000 desa. Sehingga total Rp1,4 miliar per tahun per desa. Namun  yang akan di terima desa jumlah hanya 10 persen dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. sehingga besaran anggaran yang kemungkinan besar  akan di terima desa hanya akan berkisar Rp. 700.000.000,-  hal ini belum juga disesuaikan dengan keadaan geografis, jumlah penduduk, jumlah kemiskinan.

Domain pemerintah pusat dan daerah masih sangat kental dalam pengelolaan anggaran dana desa ini, dilain pihak ada tarik menarik antara Kementerian Dalam Negeri (KEMENDAGRI) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), siapa yang akan memiliki wewenang untuk mengelola anggaran ini, Kemendes PDTT merasa memiliki hak untuk mengelola dana desa, karena itu mereka  menolak jika Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dianggap lebih berhak mengelola dana desa. Menurutnya Kemendagri tidak memiliki fungsi pemberdayaan masyarakat desa. Kemendagri ada hanya untuk mengatur fungsi administrasi pemerintahan di desa seperti: pemilihan kepala desa, pemekaran desa, penetapan tapal desa.

Kemendagri Tjahjo Kumolo berpendapat, seharusnya tidak semua urusan terkait desa dilimpahkan dari kementeriannya ke Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi. Urusan yang tidak perlu diintegrasikan adalah urusan pemerintahan desa. Pasalnya, pemerintahan desa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintahan daerah yang jadi tanggung jawab Kemendagri. Sementara Kemendes PDTT Marwan  Djafar bersikukuh seluruh urusan desa yang selama ini ditangani Kemendagri dilimpahkan ke kementeriannya, tidak terkecuali pemerintahan desa. Urusan pemerintahan desa tidak bisa dipisahkan dari urusan pembangunan dan pemberdayaan desa sehingga tidak mungkin urusan itu berada di kementerian lain. Selain itu, jika urusan pemerintahan desa terpisah di kementerian lain, akan terjadi duplikasi fungsi di Kemendagri dan Kementerian Desa yang dampaknya membuat birokrasi terkait desa menjadi tidak efisien dan efektif,”

 Problematika ini semoga bukan karena tarik menarik kepentingan partai politik, karena harus realistis bahwa penjabat kementerian berasal dari politisi Parpol. Sehingga kepentingan Parpol  sangat berpeluang untuk memanfaatkan keberadaan dana desa ini. Persoalan peran Parpol dalam dana desa ini, walau dana desa ini merupakan elemen penting bagi keberhasilan pembangunan desa, akan tetapi di sisi lain dana ini justru menjadi sebuah ancaman yang terbilang serius dan sangat istimewa (extraordinary).

Geliat persoalan dana desa ini menghadirkan pertanyaan yakni; apakah dana sebagai alat politik parpol atau sebagai alat untuk mensejahterahkan ?. Teori singkat dan padat dari Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.” Kekuasaan itu cenderung korup, baik di negara demokrasi maupun di negara otoriter. Kekuasaan absolut cenderung melahirkan korupsi yang sporadis. Dan yang mengejutkan adalah kalimat singkat Acton yang terakhir, “pria besar hampir selalu orang jahat”. Pria besar yang dia maksud adalah seseorang yang memegang kekuasaan (http://www.republikinstitute.com/korupsi-membantai-akal-sehat.html).


Buah Simalaka

Korupsi tidak selamanya berhubungan dengan uang tetapi biasanya berhubungan dengan wewenang, sebagaimana ada dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dijabarkan dalam 13 pasal, korupsi dikelompokkan menjadi tujuh kelompok, yakni: Merugikan keuangan Negara; Suap-menyuap; Penggelapan dalam jabatan; Pemerasan; Perbuatan curang;  Benturan kepentingan dalam pengadaan; serta Gratifikasi. 

Dari pengelompokan korupsi ini ada kecenderungan kuat jika peran kepentingan politik dari para politisi yang menjabat menteri memanfaatkan anggaran dana desa, Hermen H.K (1994) mendefiniksan korupsi sebagai kekuasaan tanpa aturan hukum, oleh karena itu selalu ada praduga pemakaian kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan selain tujuan yang tercantum dalam pelimpahan kekuasaan tersebut.  

Presiden harus menetapkan produk hukum yang menjamin bahwa pelaksanaan anggaran dana desa bukanlah alat partai politik untuk dimanfaatkan oleh partai politik dalam pelaksananaannya. Ruang demi penjapaian tujuan parpol sangat terbuka, karena kementerian yang dijabat oleh politisi dari partai politik bisa saja dengan kebijakannya membentuk Satgas, Relawan atau apapun bentuknya sebagai kaki tangan parpol dengan memanipulasi kemasan bahwa demi melakukan pendampingan di desa jika tidak akan terjadi penyalagunaan keuangan oleh perangkat desa.   Peluang lain adalah  aturan internal kementerian yang diperhalus dalam kebijakan kementerian dalam penggunaan anggaran dana desa menyangkut kebutuhan adminsitratif kepengurusan pencairan anggaran, sebagaimana lazimnya untuk pencairan masih ada biaya tak terduga yang harus dikeluarkan di bawah meja untuk percepatan pencairan.

*Pemerhati Sosial-Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar