Kamis, 12 Maret 2015

"JANGAN POLITISASI GEREJA !



               
Jangan Politisasi Gereja !
*Yoyarib Mau

Kisruh pernyataan Setya Novanto (SN) saat tampil sebagai keynote speaker dalam seminar nasional bertema "Apakah NTT Jadi Gerbang Selatan Indonesia" yang dilakukan untuk memperingati perayaan Ulang Tahun Gereja Protestan di Indonesia (GPI) tahun 2015 ke-410, pada tanggal 26 Februari 2015 yang bertempat di GMIT Jemaat Koinonia. Dalam kesempatan tersebut SN diduga menyampaikan statement bahwa, Gereja di NTT  menjadi penghambat pembangunan karena menghadang masuknya investor tambang. Pernyataan yang disampaikan oleh SN, “Daerah ini kaya mangan, marmer, emas dan pasir besi. 

Namun, saat investor hendak mengelola potensi sumber daya alam selalu ada penolakan dari LSM yang berlindung di bawah Gereja”, begitu pernyataannya di Kupang,  pada seminar tersebut. Lebih lanjut dalam kesempatan yang sama SN, kembali menegaskan bahwa, “Karena itu, Gereja sebagai elemen penting dalam pembangunan di NTT, harus memberi pencerahan kepada masyarakat termasuk LSM, agar menerima investor yang memiliki niat baik membangun daerah ini.  Ungkapkan-ungkapan ini dari luar konteks makalah yang sudah disiapkan sebelumnya. Pernyataan ini kemudian berkembang dikalangan masyarakat luas maupun di NTT, sepertinya SN melukai gereja-gereja di NTT.  

Menelisik pernyataan SN ini dapat diinterpretasikan  seolah-olah gereja sedang terlibat dalam politik praktis, karena gereja dikatakan memanfaatkan LSM untuk menolak investor. Dilain kesempatan  sekelompok orang yang menamakan dirinya Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Tambang NTT (Koalisi), yang berjibaku menentang pernyataan SN, Koalisi menuntut agar SN meminta maaf kepada Gereja-gereja di NTT  dan masyarakat NTT serta mencabut pernyataannya sebagai bentuk permohonan maaf. 

Melihat gerakan masyarakat yang tergabung dalam koalisi yang melakukan tuntutan, menghadirkan pertanyaan, apa efek pernyataan dan permintaan maaf SN terhadap gereja-gereja di NTT ? Meminjam kalimat  Romo Y.B. Mangunwijaya,  beliau mengatakan bahwa, Keterlibatan gereja dalam politik itu mengarah kepada tindakan universal. Point pentingnya adalah tindakan gereja yang partisipatif dalam persoalan universal, (Y.B. Priyanahadi, dkk (ed). Y.B. Mangunwijaya Pejuang Kemanusiaan, Yogyakarta: kanisisus, 1999). Hal ini hendak menjelaskan bahwa Jika politik hanya dipagari pada politik praktis, yaitu arena politik yang selama ini hanya untuk kepentingan-kepentingan tertentu (partai dan kelompok) dan menggunakan kekuasaan yang diperoleh sebagai alat untuk itu,  maka yang ditakutkan adalah adanya pemahaman bahwa, benar bahwa politik itu kotor dan kejam.

Tulisan ini sekedar kajian logis dari persoalan di atas. Intensinya adalah untuk menempatkan dengan baik penekatan-pendekatan yang dipakai dalam melihat masalah ini. SN diperhadapkan dengan Institusi gereja, sedangkan dua pendekatan yang dipakai oleh SN dan juga oleh Koalisi masyarakat ini berbeda dengan penekatan dan fungsi gereja. Pendekatan gereja seyogiannya adalah pendekatan moral-etis, sedangkan  antara SN dan Koalisi Masyarakat lebih pada pendekatan politis. Mengapa dikatakan politis, jelas karena SN menyampaikannya dalam di forum seminar yang dihadiri publik dalam tugas sebagai wakil rakyat yang bersamaan dengan jadwal reses. 

Gerakan sipil dalam gabungan koalisi, yang menuntut permintaan maaf SN kepada Gereja dan masyarakat NTT di sejumlah media  ini juga jelas sangat politis. Sementara institusi gereja selalu memilih untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Setiap tindakan gereja selalu didasari oleh tiga tugas mendasar gereja yakni; Gereja sebagai Nabi, Gereja sebagai Raja dan Gereja sebagai Imam. Tudingan SN kepada gereja yang memanfaatkan LSM, untuk menolak investor dapat diartikan SN menunjuk  gereja sedang melakukan politik praktis. Sedangkan peran gereja dalam konteks persoalan ini, setiap tindakan dan usaha yang tidak memikirkan keselamatan manusia dan kelestarian alam, tentu akan gereja tolak. Ini adalah tugas kenabian gereja murni penilaiannya sekali lagi dengan moral-etis Kristiania.

Salah seorang tokoh Nusa Tenggara Timur (NTT) Petrus Selestinus  yang juga Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mendesak masyarakat, gereja, dan Pemerintah Daerah NTT memberikan sanksi sosial terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto atas pernyataannya yang menghujat Gereja di sana. Sanksi sosial tersebut, katanya dapat dilakukan dalam bentuk ekskomunikasi atau pengucilan dalam segala bentuk hubungan sosial. (http://www.beritasatu.com/nasional/254730-hujat-gereja-tokoh-ntt-minta-setya-novanto-diberi-sanksi-sosial.html).

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Tambang dan Petrus Selestinus bertindak sekali lagi dalam pernyataan mereka dapat dilihat bahwa mereka memperhadapkan SN dengan Institusi gereja, padahal siapa SN sehingga dirinya harus diperhadapkan dengan  Institusi gereja ? Jika SN diperhadapkan dengan konstituennya  maka wajar bagi Koalisi Masyarakat untuk meminta SN untuk meminta maaf, karena tudingan yang disampaikan SN dianggap pemilihnya tindakan yang tidak bijak. Penempatan posisi Koalisi Masyarakat yang benar adalah menyampaikan tuntutan dan ketidakpuasannya atas nama dan untuk rakyat NTT dan bukan atas nama gereja.  

Apabila Institusi gereja “dipaksa” untuk menekan SN, agar meminta maaf atau melakukan tekanan secara politis, agar  diganti atau dicopot dari Ketua DPR RI, maka Institusi gereja sedang digiring untuk terlibat dalam pertarungan politik praktis, dan tidak secara langsung gereja didorong untuk tercebur dan berenang secara nyaman di dalamnya, ketika Institusi gereja dipaksa melakukan tekanan maka tidak secara langsung hierarki Gereja terlibat dalam politik praktis. 

Hakikat Gereja harus terhindarkan dari Politik praktis, karena politik praktis pada dirinya hanya bergerak sesuai dengan tuntutan politik untuk kekuasaan (politik kekuasaan). Politik kekuasaan berurusan dengan teknik dan organisasi untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Posisi Gereja dalam mengambil bagian dalam polemik ini sejatinya tanpa rasa takut bahkan bukan dibawah tekanan sedikitpun. Gereja harus berperan tegas dalam perang terhadap kemiskinan, pelecehan hak asasi manusia, ketidakadilan social, penindasan terhadap mereka yang lemah. Sehingga dalam konteks persoalan ini, Institusi gereja dalam melakukan sikap kritisnya, harus dapat dipastikan bahwa bukan semata-mata atas tekanan atau tuntutan koalisi masyarakat atau pribadi tertentu.

*Pemerhati Sosial-Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar