Senin, 13 April 2015

"GERONTOKRASI PARTAI POLITIK"



GERONTOKRASI PARTAI POLITIK”
*Yoyarib Mau

Usai Munas PDIP di Bali, yang mengukuhkan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP, Megawati terpilih sebagai peserta pemilu sejak tahun 1999 hingga nanti tahun 2020, sudah 4 kali kongres Megawati tetap menjadi ketua umum, hal ini dapat menegaskan bahwa selama empat periode 20 tahun kepemimpinan di tubuh PDIP masih dikendalikan penuh oleh Megawati. Berbeda dengan Golkar yang mampu dikendalikan oleh Soeharto selama 32 tahun, akan tetapi Soeharto tidak menempati posisi sebagai Ketua Umum Golkar, Soeharto hanya sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar. Kesamaannya masing-masing dapat mengendalikan partai untuk menjalankan kekuasaan, sedangkan perbedaannya adalah Megawati hanya satu periode menjabat sebagai Presiden, sedangkan Soeharto sebanyak 32 tahun berkuasa, dengan didukung oleh kapasitas Soeharto sebagai panglima tertinggi ABRI dan posisi sebagai Presiden yang dengan mudah dapat mengendalikan birokrasi.

Namun kelebihan Megawati adalah mampu membangun PDIP dari keterpurukan dengan menjadikan ideologi kerakyatan yang diwariskan Soekarno sebagai perekat PDIP dan konstituen. Berbeda dengan Soeharto yang dengan pola depresif kolaborasi antara pendekatan militer dan birokrasi menjadi keuntungan bagi Golkar, sehingga mereka mampu bertahan cukup lama dalam mengendalikan partai politik. Gus Dur juga membangun PKB namun tidak bertahan lama karena faktor kesehatan sehingga kemudian Gus Dur tidak dapat nenjalankan PKB dengan baik, namun karena manajemen kepemimpinan yang baik PKB mampu bertahan, SBY juga mendirikan Partai Demokrat yang terilhami oleh kekalahan terhormat Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan Calon wakil Presiden dalam Sidang MPR tahun 2001. Namun SBY tetap memposisikan diri sebagai Ketua Dewan Pembina dan Ketua Dewan Kehormatan. Namun ketika pada periode 2010-2015 terjadi gonjang-ganjing dalam tubuh Demokrat maka SBY turun gunung dan mengambil kendali Partai Demokrat sebagai Ketua Umum merangkap Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.

Model pengendalian partai oleh pendiri dan tokoh central partai menjadi model kepemimpinan dalam menjalankan partai politik di tanah air. Namun menjadi pertanyaan adalah sejaumana dan tujuan keberadaan tokoh central/pendiri partai mengendalikan serta menjalankan partai politik di tanah air ?.  

Daniel Dhakidae dalam ulasannya  dalam Jurnal Primsa menulis dalam artikel Demokrasi, Harta dan Negara bahwa; Orang kaya, bangsawan, selalu menjadi pengetua masyarakat mana pun, dan kapan pun, di Nusantara. Orang kaya berarti pemilik tanah, para tuan tanah. Dengan memiliki tanah mereka dengan sendirinya memiliki apa saja yang bisa diusahakan di atas tanah itu. Dengan begitu orang kaya adalah mereka yang memiliki hasil ladang dan sawah berlimpah dengan memanfaatkan tenaga kerja tak berbayar, yaitu para budak hasil keturunan atau budak belian. Khusus mengenai budak belian semuanya tidak bisa berlangsung sebelum negara dan konsep negara dipakai semestinya. Salah satu bentuk kegiatan negara adalah mengumpulkan pajak. Yang tidak bisa membayar pajak menggadaikan diri, dan dari sanalah berasal budak belian yang biasanya dibedakan dari budak turunan. Para budak tidak berhak atas tanah. Dengan sendirinya, dia dikucilkan dari turut mengambil bagian dalam pertemuan adat, perundingan, dan juga memerintah dalam pengertian yang sangat asli, yaitu memberikan perintah tentang apa saja yang harus dilaksanakan dalam suatu persekutuan adat-menjaga ladang dan sawah, memelihara ternak, menjalankan pernikahan, dan sebagainya.

Partai politik ibarat tanah atau perusahaan yang dikendalikan oleh pemilik yakni tokoh central yang mendirikan dan mengendalikan partai politik. Sedangkan pengurus partai dan wakil rakyat yang terpilih lewat parpol diposisikan sebagai tenaga kerja atau budak yang di berikan kesempatan untuk bekerja mengumpulkan hasil pengusahaan atas tanah dan laba usaha perusahan, untuk kemudian diserahkan kepada pemilik tanah (baca : partai politik) yakni tokoh central pendiri partai politik. Pemahaman ini yang mungkin ada dalam benak Megawati sehingga keberadaan Presiden Jokowi dianggap sebagai “petugas partai” sehingga dalam Kongres VI PDIP di Bali, Mega ingin Jokowi sebagai kader PDI Perjuangan, sudah seharusnya menjalankan garis kebijakan partai. 

Megawati menempatn diri sebagai tuan tanah serta pemilik saham sehingga dalam Kongres VI PDIP, Jokowi tidak diberikan ruang bagi Jokowi untuk memberikan kata sambutan sebagaimana biasanya ketika Presiden hadir dalam sebuah hajatan parpol diberi kesempatan untuk menyampaikan kata sambutan atau pidato, bahkan Jokowi harus menundukan diri dan mencium tangan Megawati.  Jelas dan tidak dapat dipungkiri bahwa terpilihnya Jokowi sebagai Presiden adalah karena diusung oleh PDIP namun perlu disadari bahwa ketika Jokowi telah terpilih sebagai Presiden maka ada mandat besar yang digariskan bahwa Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan, ini amanat konstitusi untuk dilaksanakan, keberadaan Jokowi tidak sebagai petugas partai lagi tetapi adalah sebagai  kepala negara dan kepala pemerintahan. 

Perilaku Megawati seolah-olah hendak mengembalikan Indonesia masih dibawah pengaruh feodal (para penguasa tanah) dalam waktu yang sangat lama, dan hendak menjalankan feodalisme baru yakni daerah dibawah kendali pemilik tanah/perusahaan yang berkuasa, tidak mengubah apa pun dan hanya melanjutkan kembali apa yang sudah/sedang berjalan, dan malah bersikeras untuk itu dengan mengancam jika tidak mau berperan sebagai petugas partai maka dipersilahkan untuk keluar dari PDIP.

Perilaku Megawati apabila dilihat menurut pemikiran para filsuf Yunani kuno sebagai sikap plutokrasi yang kini lebih populer sebagai oligarki. Padahal rakyat berharap pada partai politik agar keberadaan dalam kekuasaan membawa perubahan, melalui demokrasi elektoral hasil reformasi, namun justru memperkuat siklus hartawan/pemilik partai menjadi penguasa: politik untuk menjadi hartawan, dan berharta demi kekuasaan politik. 

Perilaku partai politik yang dikendalikan oleh para rezim “gerontokrasi”  yang mungkin lama berkuasa mengalami kehilangan arah perjuangan kemudian berdampak pada perilaku plutokrasi yang feodal yang hanya menginginkan berapa hasil pengusahaan tanah dan hasil usaha yang diperoleh melalui kerja politik parpol. Padahal pernah Presiden Soekarno pada pidato 17 Agustus 1951 mengingatkan bangsa Indonesia untuk; Adakanlah koordinasi, adakanlah simponi yang seharmoni-harmoninya antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum, dan janganlah kepentingan sendiri itu dimenangkan diatas kepentingan umum. 

Gerontokrasi bukanlah haram namun perilaku gerontokrasi harus mampu ditundukan bahwa parpol berpihak kepada rakyat, sebagai mana sebutan lain sebagai “wong cilik” yang harus lebih mengutamakan kepentingan rakyat, jika demikian maka Jokowi harus ditempatkan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang harus bekerja memenuhi janji-janji kampanye kepada masyarakat serta menjalankan pemerintahan ini guna mensejahterahkan rakyat semata. Para kaum gerontokrasi dimana kepemimpinan yang dikendalikan oleh para tetua seharusnya bangga tidak perlu berharap banyak untuk mendapatkan ciuman tangan, atau menunggu setoran dari mereka yang dianggap petugas partai atau buruh yang mengabdi kepada majikan, sehingga para pemilik tanah (baca: partai politik) hanya menunggu setoran. Sehingga acapkali petugas partai terjebak dalam suap dan tertangkap tangan dalam transaksi untuk mendapatkan setoran bagi parpol dan pemilik parpol.

*Pemerhati Sosial - Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar