Selasa, 28 Juli 2015

"MEMBATU AKIKAN TOLIKARA"

“Membatu Akikan Tolikara”
*Yoyarib Mau

Judul ini terkesan bombastis dan pembaca akan berpikir bahwa tidak ada korelasi, namun penulis hendak menempatkan judul ini sebagai dua hal yang berbeda tetapi memberikan makna yang mendalam soal kehidupan berkebangsaan Indonesia. Demam batu akik menggejala hampir di seantero  nusantara dimana masyarakat diasikan dengan aktivitas mengumpulkan dan memoles batu akik menjadi hiasan yang disematkan sebagai mata cincin, kalung atau liontin.  Dilain kesempatan yang berbeda bertepatan dengan hari raya Idul Fitri  1 syawal 1436 Hijriyah dimana umat Islam merayakan kemenangan setelah berpuasa selama sebulan, Indoenesia dikagetkan dengan peristiwa Tolikara yang mencederai akan keharmonisan kehidupan beragama di tanah air.

Berbagai spekulasi yang diutarakan berbagai pihak bahwa pemicu konflik di Tolikara diakibatkan oleh surat edaran bersifat pemberitahuan yang diduga dilayangkan  oleh pihak Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Badan Pekerja Wilayah Toli, yang konon isinya melarang umat Islam merayakan Idul Fitri dengan menggunakan pengeras suara, karena pada waktu yang bersamaan pihak GIDI sedang melakukan kegiatan nasional/internasional berupa seminar dan KKR yang menghadirkan pemuda gereja GIDI dalam jumlah yang besar sehingga pengeras suara akan mengganggu kegiatan tersebut karena hanya berjarak 250 km.

Surat tersebar melalui media sosial ditujukan kepada Umat Islam Se-Kabupaten Tolikara namun tidak tertera secara jelas tanggal pembuatan surat ini namun tercetak tembusan surat ini ke berbagai pihak seperti; Bupati Kabupaten Tolikara, Ketua DPRD Kabupaten Tolikara, Polres Tolikara, dan Dandramil Tolikara. Kemudian pihak GIDI memberikan pernyataan bahwa adanya penyebaran surat kaleng atau palsu yang diduga dilakukan oleh aparat kemanan. Pihak GIDI menegaskan bahwa memang ada surat yang dilayangkan pemuda/gereja dua minggu sebelum kegiatan dilangsungkan dimana tidak menggunakan pengeras suara (toa) karena jarak hanya 250 meter dengan tempat dilaksanakannya seminar nasional tersebut.

Pada hari raya Idul Fitri terjadilah peristiwa yang menelan korban jiwa dan harta dan bahkan mencoreng kehidupan beragama di tanah air dengan dua informasi bahwa penyerangan dilakukan oleh pemuda/gereja GIDI Tolikara terhadap umat yang sedang menjalankan sholat Idul Fitri  sehingga aparat melakukan pelepasan tembakan timah panas untuk menghalau massa. Sedangkan dilain pihak versi pemuda gereja GIDI bahwa mereka menuju ke tempat dilaksanakannya sholat ied untuk berdiskusi soal pengeras suara agar kegiatan yang mereka lakukan  juga dapat berjalan dengan baik pula namun mendadak aparat keamanan melepaskan tembakan timah panas sehingga menyebabkan adanya 1 korban jiwa anak berusia 15 tahun bernama Endi Wanimbo, informasi yang berkembang bahwa tembakan yang membabi buta tersebut juga melukai 11 orang lainnya, hal ini yang memicu amukan dan kemarahan masyarakat dengan membakar sejumlah kios yang kemudian merambat musholla yang berdekatan dengan kios-kios tersebut turut terbakar (walau menurut versi ini musholla bukan target utama tetapi ikut terbakar).

Pandangan diatas  hendak menghadikan informasi bahwa peristiwa Tolikara hadir berita dari berbagai sumber dengan beragam versi yang masih membutuhkan verifikasi melalui investigasi yang mendalam oleh pihak yang netral. Menarik dari peristiwa Tolikara ini adalah adanya kelompok agama sebagai alasan atau isu yang menarik dalam konflik keagaaman tetapi ada pihak ketiga yakni aparat kemanan yang juga terlibat aktif. Sehingga tulisan ini menghadirkan pertanyaan, dimana peran dan fungsi aparat keamanan (TNI/Polri) sebagai alat negara dalam menciptakan keamanan dan memberikan perdamaian bagi semua pihak ? atau sudah menjadi khatam budaya represif aparat keamanan sebagai alat penyelesaian persoalan bagi Papua ?

Riri Satria menuliskan bahwa ada 4 empat doktrin militer yang ada di dunia yakni; 1. Doktrin  Pre-emptif yakni menghancurkan musuh di tanah musuh itu sendiri, sebelum musuh itu menjadi kuat dan menyerang dan menyerang kita (menhancurkan potensi ancaman sebelum ancaman itu sempat terjadi. 2. Doktrin Preventif  yakni menghancurkan musuh dalam perjalanannya menuju wilayah kita, doktrin preventif sifatnya menghancurkan gerakan agresi musuh di perjalanan sebelum mencapai tanah wilayah kita. 3. Doktrin defensif lebih pada menghancurkan musuh begitu memasuki wilayah kita. doktrin ini melibatkan masyarakat sipil dalam peperangan jika diperlukan. Sifatnya lebih pada mempertahankan diri dari serangan musuh dan tidak ada niat untuk melakukan   tindakan agresif ke wilayah orang lain. 4. Doktrin Gerilya lebih menarik karena menghancurkan musuh setelah musuh berada di wilayah kita, doktrin ini lebih pada kekuatan infantri, namun minim alutsista. (https://strategi4management.wordpress.com)

Bisnis Militer

Penulisan ini lebih menyoroti keberaadaan aparat militer di Papua yang selang beberapa waktu lalu terjadi peristiwa di Kabupaten Paniai dimana jatuhnya korban sipil dari warga Papua  yang diakibatkan oleh timah panas yang dihamburkan oleh aparat keamanan, tentunya adannya prosedural baku sebagai protap bagi militer dalam menggunakan amunisi. Dalam kasus di Tolikara ini sepertinya sikap militer lebih mengutamakan pendekatan militer dengan doktrin pre-emptif dan preventif yakni menjadikan warga Papua sebagai warga yang hendak dimusnahkan sehingga selalu saja pilihan timah panas yang dimuntahkan untuk melumpuhkan mereka.

Papua dalam bingkai NKRI yang kompleks persoalan dari persoalan hendak memerdekakan diri dari NKRI yang di pelopori oleh  perjuangan OPM, persoalan keberadaan freeport dan bagi hasil, persoalan HAM yang tidak pernah usai. tiga persoalan utama di wilayah Papua ini mendorong aparat keamanan turut mengambil peran dimana sebagai alat negara untuk menciptakan keamanan dan menjaga kedaulatan NKRI, tetapi juga mirip paradigma Rally Paris Dakkar dimana ada peran ganda yakni ada adu persaingan dalam pertandingan tetapi juga ada peran menolong pereli yang lain yang mengalami kecelakaan. Dengan menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah terhadap keberadaan aparat keamanan  kita di wilayah Papua adalah berperan menjaga keamanan tetapi bisa juga menciptakan ketidakamanan di Papua, sehingga ada kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) bagi Papua yang didukung dengan kebijakan anggaran sehingga ada keuntungan ekonomis bagi petinggi aparat kemanan. Teror keamananpun sangat berpeluang tercipta sehingga perusahaan sekelas freeport dapat mengalokasikan anggaran yang cukup besar bagi aparat keamanan yang bertugas di wilayah Papua.

Kebangsaan dan Nasionalisme melalui sosialisasi kebangsaan soal Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI sepertinya hanyalah proyek pepesan kosong yang dilakukan oleh MPR-RI, karena isu konflik agama masih terjadi sebagai bukti bahwa sosialisasi ini belum menghasilkan efek postif, dalam pembukaan UUD 1945 yang didasari oleh Pancasila dengan tiga nilai yang sangat mendasar yakni kemerdekaan, kemanusiaan dan keadilan. Papua (Tolikara) bukan berarti hendak diberikan kemerdekaan dengan melepaskan diri dari NKRI tetapi pendekatan kepada Papua (Tolikara) tidak harus dengan penjajahan timah panas, tetapi bagaimana peran aparat kemananan menanamkan nilai kemanusiaan dan keadilan bagi masyarakat dengan berada bersama dalam keseharian masyarakat, dengan meniru euforio batu akik, selalu membicarakan batu akik, memoles batu akik dalam kesehariannya.

Pemerhati Sosial-Politik



Tidak ada komentar:

Posting Komentar