Rabu, 05 Agustus 2015

"HARAKIRI POLITIK RAYMUNDUS SAU FERNANDES"

“Harakiri Politik Raymundus Sau Fernandes
*Yoyarib Mau

Diatas kertas selalu saja incumbent diatas angin untuk memenangkan pertarungan dalam Pilkada sehingga konsentrasinya hanya bagaimana memanfaatkan anggaran pemerintah  semisal bansos atau anggaran lainnya sebagai alat untuk menguatkan basis dukungan. Keberadaan birokrasi dengan kekuatan kekuasaan incumbent untuk memberikan jabatan struktural disetiap SKPD, serta ancaman mengkerangkeng para birokrat dengan pola penempatan ditempat yang sulit untuk mengakses informasi dan transportasi, bahkan dijauhkan dari keluarganya.

Belum lagi keberadaan incumbent diuntungkan oleh banyak hal, fasilitas pemerintah benar-benar memudahkan incumbent dalam setiap aktifitas. Kekuatan politik incumbent ini membuat incumbent lupa dan tidak lagi berpikir soal aturan, teknis, serta pilihan-pilihan alternatif strategi yang akan dilakukan oleh lawan dengan memanfaatkan celah hukum. Ibarat berperang Raymundus Fernandez (incumbent) energinya sudah terkuras karena mengikuti irama permainan  yang dimainkan oleh penantang. Dinamika ini berlanjut jelang deklarasi calon peserta Pilkada hingga kesiapan menjelang pendaftaran terlihat adu kekuatan massa sehingga konsentrasi incumbent adalah bagaimana mempertahankan massa dukungan dan tidak memikirkan sikap antisipatif jika Eusobio mengundurkan diri.

Sejumlah kelemahan yang tidak diantisipasi oleh Raymundus Fernandes adalah ketika Eusobio Hornay Rebelo mampu menggandeng sejumlah partai politik seperti; NasDem, Gerindra, PAN, Hanura, Demokrat dan PKS dalam sebuah koalisi besar. Sedangkan incumbent nyaman dan ber-euforio dengan adannya PDIP yang tidak lagi membutuhkan koalisi dengan partai lain karena memenuhi syarat untuk mengajukan calon sendiri. Sedangkan Gabriel Manek masih menanti keputusan KPU soal keberadaan Golkar dapat memajukan calon atau tidak, walaupun Gabriel Manek sudah melakukan kampanye lewat baliho bahwa berpasangan dengan Edy Meol dari Gerindra, sejujurnya ketika Eusobio mampu menggandeng Gerindra dengan sendirinya telah mematahkan kekuatan Gabriel Manek. Dengan demikian seharusnya incumbent sudah seharusnya membaca peta politik yang berkembang dan berpikir alternatif untuk bagaimana memajukan calon alternatif. Tinggal dua partai politik yakni PKB dan PKPI yang memiliki kursi di DPRD tetapi tidak memenuhi quota untuk mengusung calon.

Jika nalar politik incumbent dimaksimalkan untuk memecah kebekuan (head to head) maka seharusnya PKB dan PKPI serta gabungan partai non-seat bisa dikonsolidasikan untuk mengusung calon lain untuk  memecah suara dan mengantisipasi jika Eusobio batal mendaftar sebagai peserta Pilkada. Kondisi ini membuktikan bahwa incumbent tidak memiliki strategi politik yang  memadai, yang ada adalah adu kekuatan finansial, adu otot serta mobilisasi massa semata. Celah politik tidak mampu dibaca oleh incumbent akhirnya yang terjadi adalah Raymundus Fernandez berada di arena pacuan kuda untuk bertanding, tetapi dirinya sendiri yang berkuda tanpa ada lawan yang hendak bertanding.  

Situasi politik lokal di TTU menghadirkan pertanyaan yang bersifat sartire, apa bahasa yang tepat untuk melukiskan konsep berpolitik ala Raymundus Fernandez ? Meminjam perilaku lokal yang selalu mengidentikan kerbau yang ditusuk hidungnya, kemana tali kerbau yang dikendalikan oleh penarik kerbau, kerbau itu akan tetap menurut tanpa berdaya. Tarik menarik politik di TTU cukup menarik, Kerbau tambun dengan kekuatan yang luar biasa karena memiliki energi yang cukup, tetapi lemah karena mengikuti irama permainan bahkan menyerahkan hidungnya ditusuk dengan tali sehingga tidak berdaya dan hanya mengikuti arus permainan sehingga kerbau ini tidak sadar bahwa sedang digiring ke tempat pembantaian.

Filsuf Inggris atau yang lebih dikenal dengan sebutan filsuf empiris, yakni Immanuel Kant yang menitikberatkan bahwa pengetahuan selalu berhubungan dengan pengalaman indrawi, tetapi menurut Kant itu saja tidak cukup perlu kemampun lain yakni kemampuan mengindrawi atau kemampuan sensibilitas (F. Rudi Hardiman – Erlangga – 2011). Sensibilitas incumbent sepertinya melemah karena hidung yang ditusuk sehingga tidak mampu lagi mengendus gelagat politik dari lawan dengan strategi yang menggiring ke tempat pembantaian.

Kenyamanan sebagai incumbent tentu membunuh sensitifitas berpolitik, Raymundus merasa diatas angin karena sehari-harinya dapat memanfaatkan posisinya sebagai incumbent dengan didukung oleh fasilitas pemerintah, mesin birokrasi dapat ditekan melalui intimidasi membuat kekuatan itu menjadi besar. Kondisi kenyamanan membuat gaya kepemimpinan kehilangan sensibilitas berdemokrasi, padahal dalam demokrasi incumbent perlu menciptakan suasana kompetisi yang sehat dengan memberikan ruang bagi regenerasi, guna tercipta siklus kepemimpinan.

Lemahnya sensibilitas politik membuat incumbent tak berdaya dimana kekuasaan harus dipertahankan, karena tidak ada lagi kursi promosi jabatan yang lebih tinggi lagi, yang lebih enak dan lebih terhormat sehingga sekuat tenaga mempertahankan kursi kekuasaannya. Kesalahan terbesar yang dilakukan oleh incumbent adalah merasa berkuasa penuh dan mematikan lawan-lawan yang hendak bertarung. Kesalahan berpikir seperti ini yang kemudian kita bisa menyebutnya sebagai sikap politik yang membunuh diri sendiri (harakiri politik).

Terlihat dengan jelas bagaimana para pegawai yang dianggap lawan, serta memihak kepada lawan politik dikucilkan dengan dipindah tugaskan dari pusat kekuasaan ke tempat yang terpencil, atau tidak diberikan jabatan. Bahkan kegiatan-kegiatan politik dari lawan politik dibatasi, incumbent membuat kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan masa bertepatan pada saat yang sama juga dilakukan oleh lawan politik. Dengan berbagai alasan untuk menjustifikasi kebijakan incumbent tersebut, namun kebijkan seperti ini justru tidak demokratis karena tidak menyiapkan “suksesi” kepemimpinan menyongsong pergantian kepemimpinan dalam Pilkada. Perilaku politik yang dijalankan oleh incumbent adalah memberangus suksesi, sehingga tidak dapat disalahkan jika calon yang lain mengurung niat untuk maju dalam pilkada.

Kepala daerah harus menyadari bahwa salah satu tugasnya yang harus dilakukan sebagai kepala daerah adalah sukses mewujudkan pilkada selanjutnya, dengan juga menciptakan kondisi  (pra-kondisi) dimana mampu memberikan ruang bagi lawan politik untuk sama-sama bertarung bukan membungkam dan mematikan langkah politik lawan, kemudian membanggakan diri bahwa tidak ada lawan yang berani melawan dirinya, mencari alasan pembenaran bahwa dapat dilakukan dengan jalan aklamasi atau musyawarah untuk mencapai mufakat sebagai jati diri bangsa.

Kemandekan berpikir membuat matinya sensibilitas politik, sehingga kemudian lawan politik dalam hal ini Eusobio memutus mata rantai perilaku harakiri politik Raymundus dengan tidak mendaftarkan diri sebagai calon kandidat pilkada TTU. Sayangnya kemudian semua orang mengatakan bahwa sikap Eusobio ini mengorbankan kepentingan banyak orang, padahal apa yang dilakukan Eusobio adalah pukulan telak sebagai akibat dari perilaku politik para incumbent yang tidak menciptakan kondisi politik yang demokratis. Justru strategi politik yang dilakukan Eusobio adalah sebuah kritik politik yang membangun demokrasi, sehingga demokrasi kita bukan demokrasi feodal tetapi demokrasi yang profesional dan modern.

Revolusi mental yang digadang oleh pemerintah saat ini seharusnya membentuk karakter kepemimpinan yang siap dengan tangan terbuka untuk mengucapkan selamat datang bagi lawan politik dalam percaturan politik, serta juga berani mengucapkan selamat tinggal terhadap kekuasaan yang diduduki ketika dirinya memiliki sensibilitas politik ketika dia sadar bahwa kinerjanya jauh dari harapan dan dan merancang gapura demokrasi selamat datang bagi lawan politiknya.

*Pemerhati Sosial - Politik




2 komentar: