Kamis, 15 Oktober 2015

"GILIRAN SINGKIL JOKOWI JUGA IJIN"

GILIRAN SINGKIL JOKOWI JUGA IJIN
*Yoyarib Mau

Konflik kekerasan antar umat beragama di tanah air selalu terulang dengan motif dan pola yang sama, dilakukan secara masif dan terencana, penyelesaian persoalannya tidak hanya temporal yakni saat terjadi pengungsian, akan tetapi pasca terjadi kerusuhan harus dilakukan penanganan hingga kemudian korban kekerasan yang distigma dengan sebutan pengungsi kembali hidup normal ditengah-tengah masyarakat. Kenyataannya para korban ditelantarkan untuk mencari jalan selamat sendiri untuk kembali dalam kehidupan bermasyarakat.

Warisan kelam yang tinggalkan sebagai catatan buruk hidup berbangsa dan bernegara pasca kekerasan atas nama agama, hal ini tanpa penanganan yang tuntas hingga mengembalikan korban dalam kehidupan kesehariannya seperti; beberapa tahun lalu tragedi berdarah yang terjadi atas Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik – Banten yang menelan 4 orang korban pada 06 Februari 2011, hal lain yang menghadirkan kekecewaan bahwa ada korban jiwa yang tewas tetapi vonis hukuman bagi korban kekerasan yang sangat ringan yakni 3 – 6 bulan, dibandingkan dengan jeratan hukuman bagi korban Ahmadiya yakni hanya 6 bulan penjara.

Persoalan lain yang tidak dituntaskan bagi korban Jemaah Ahmadiyah yang mengungsi meninggalkan Cikeusik, hingga 4 tahun berlalu tidak difasilitasi bahkan dijamin untuk kembali hidup di rumah dan lahan tanah garapan mereka. Bahkan tanah hak milik mereka telah digarap oleh jawara dan orang Cikeusik dengan alibi bahwa bukan hak milik mereka lagi,  bahkan untuk mendapatkan kartu identitas baru di tempat baru saja sulit, jika hendak mengurus kartu identitas baru, harus memiliki surat rekomendasi atau surat keterangan dari daerah asal Cikeusik (http://pindai.org/2015/02/06/berkisalah/).

Pada tempat yang berbeda dengan konten yang sama yakni korban kekerasan atas nama agama, juga dialami oleh Komunitas Syiah di Kab. Sampang – Jawa Timur, diserang dan digusur paksa dari rumah mereka oleh kelompok massa anti-Syiah, Korban kekerasan Komunitas Syiah yang berjumlah 168 orang dewasa dan 51 anak-anak ini kemudian diungsikan dari area konflik ke GOR Sampang selama 10 bulan, kemudian jemaah Syiah dipindahkan ke ke Rusun Jemundo  Sidoarjo, sempat melakukan aksi  dan perwakilan mereka di terima oleh SBY serta menjanjikan angin surga bahwa mereka akan dipulangkan sebelum lebaran 2013 atau sebelum akhir masa jabatannya. Kemudian pada tahun 2014 Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berdialog dengan komunitas ini, tapi tidak menjanjikan apa-apa, beliau hanya optimis bahwa bisa menyelesaikan persoalan ini karena keinginan komunitas Syiah untuk kembali ke kampung (http://daerah.sindonews.com/read/1037242/23/3-tahun-komunitas-syiah-sampang-terusir-dari-kampung-halaman-1440567114).

Korban kekerasan atas nama agama, tidak saja dialami oleh komunitas jemaah tetapi juga dialami warga gereja yang beragama Kristen yang mana gedung ibadah ditutup secara paksa  di beberapa tempat seperti GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi  oleh warga masyarakat yang berbeda agama, hingga sampai saat ini belum mendapatkan tempat ibadah yang defenitif untuk beribadah sehingga pilihan beribadah dilakukan di Taman Monas persis depan Istana Presiden. Keadaan demikian jika tidak dilakukan penanganan dan penyelesaaian akan berdampak bagi warga gereja yang menjadi korban kekerasan atas nama agama di Singkil – Aceh, yang menewaskan 1 orang, korban luka dan pengungsi yang mengung ke wilayah Sumatera Utara.

Denyut hati yang terus menghantui dengan pertanyaan, apakah proses penyelesaian konflik kekerasan antar umat beragama, dimana pemerintah selalu mengambil posisi penyelesaian persoalan dengan pertimbangan komposisi berapa jumlah korban dan berapa jumlah pelaku ? UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal 27 ayat 1 dan 2; (ayat 1, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinnya), (ayat 2, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan). Pasal 29 (ayat 2, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamannya dan kepercayaannya itu). Hak Asasi Manusia juga diatur dalam UUD 1945 Pasal 28A,28B,28E, 28J, 28I,28H dan 28G. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dalam Pasal 18, Pasal 20, Pasal 26-27.
  
            Kenyataan yang dialami oleh sejumlah peristiwa yang telah diuraikan diatas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan tema besar kekerasan atas nama agama menjadi hal dianggap sederhana bahkan pemerintah menganggap hal  biasa, bisa dengan mudah memohon ijin tidak hadir. Padahal keberadaan Jokowi-JK adalah memberikan jaminan dan perwujudan dari konstitusi tertinggi sebagai hukum dasar tertulis dan tertinggi dari seluruh aktivitas bernegara. Persoalan pengungsi yang terbaikan dan tidak terselesaikan akibat dari kekerasan atas nama agama, seharusnya menjadi pelajaran penting bagi aparat keamanan yang harus tegas dalam memberikan jaminan hukum kepada setiap warga negara. Menjadi persoalan bagi bangsa kita selalu saja akan mencurahkan perhatian dan penanganan akan persoalan keagamaan melihat pada berapa besar jumlah orang yang menjadi korban atau akan menjadi korban di wilayah tersebut.

            Pemerintah melakukan standar ganda dalam menegakan konstitusi bangsa, lemah dalam menegakan konstitusi negara apalagi dituntut untuk mewujudkan HAM yang merupakan kovenan internasional. Hal ini terlihat dari pernyataan Kapolri bahwa tragedi Singkil terjadi karena aparat keamanan kalah jumlah dari para pelaku kekerasan. Alasan yang menunjukan aparat pemerintah kita sebagai aparatus negara selalu menyederhanakan persoalan karena yang menjadi korban adalah kelompok dengan jumlah yang dapat dihitung dengan jari. Negara selalu hadir mengakui setiap warga negara itu sebagai penduduk, apabila warga negara mampu memberikan garansi kepada aparat, untuk mendapatkan jaminan hukum dengan sejumlah imbalan dalam bentuk keuntungan ekonomis dalam angka rupiah.

            Imbalan juga dapat berupa ongkos pencitraan, aparat penegak hukum sebagai kaki tangan Jokowi-JK hanya akan melakukan penegakan konstitusi dengan melihat momentum, jika institusi mereka dalam keadaan terpuruk atau terpojok maka mereka akan hadir dengan kekuatan penuh untuk memanfaatkan momentum dalam rangka “ongkos service” mengembalikan kepercayaan rakyat. Perilaku ini juga berbanding lurus dengan kebijakan Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota  yang bertanggungjawab atas wilayah konflik, korban hanya akan dibantu untuk mendapatkan hak-haknya dengan sebuah kesepakatan “komoditas politik”,  dimana komunitas yang terancam hak konstitusinya harus berpihak atau memberikan dukungan suarannya. Menjadi malapetaka bagi konstitusi negara apabila para pelaku adalah komunitas terbesar dalam komposisi jumlah, sekaligus menjadi pendulang suara dari penguasa maka anggaplah korban kekerasan atas nama agama harus rela menerima hak konstitusinya dibajak  dengan menerima pil pahit bahwa ini adalah takdir.

*Pemerhati Sosial - Politik
(tulisan ini telah dipublikasikan di Media Victory News NTT)
           






Tidak ada komentar:

Posting Komentar