Kamis, 23 April 2015

"POLITIK AKLAMASI"



“POLITIK AKLAMASI”
*Yoyarib Mau

            Perhelatan yang dilakukan dalam agenda organisasi partai politik, dengan tujuan untuk pergantian kepemimpinan. Dalam agenda organisasi pasca pemilu legislatif 2014, berupa kongres, musyawarah dan muktamar. Didahului oleh Munas Golkar yang dilakukan Kubu ARB pada 06 Desember 2014 hingga 07 Desember 2014 dengan menetapkan Aburizal Bakrie secara aklamasi menjadi Ketua Umum Partai Golkar yang kemudian diberi julukan Ketum Golkar versi Munas Bali. Waktu yang bersamaan ada Munas Golkar versi Ancol yang dimotori oleh Agung Laksono dengan melihat celah bahwa Munas Bali hanya ada satu calon tunggal, sedangkan Munas Ancol didesign agak berbeda dengan Munas Bali, berupa tampilnya beberapa kandidat seperti Agus Gumiwang Kartasasmita dan Priyo Budisantoso.

Munas Partai Hanura dilakukan di Solo, Jawa Tengah, pada 13 - 15 Februari 2015. Sejumlah agenda  seperti Laporan Pertanggunggung Jawaban DPP Periode 2010-2015. Serta agenda utama yakni penetapan ketua umum. Hanura berbeda dari Golkar dimana Munas Hanura hanya melanjutkan hasil rapimnas sebelumnya, yakni memantapkan keputusan DPD yang meminta Wiranto untuk memimpin kembali partai Hanura. Keinginan besar pengurus DPD dan DPC yang menginginkan Wiranto memimpin kembali partai adalah karena figurnya masih dibutuhkan untuk menanamkan nilai-nilai perjuangan partai yang mengedepankan hati nurani kepada setiap kader.

Partai Amanat Nasional (PAN) juga menggelar Kongres ke-IV di Hotel Westin Nusa Dua Bali pada 28 Februari 2015  - 02 Maret 2015. Salah satu agendanya adalah menentukan orang nomor satu di partai berlambang matahari terbit itu, menarik dari PAN adalah adanya dua kandidat yang siap untuk bertarung, yakni Hatta Rajasa dan Zulkifli Hasan, perlu diberi apresiasi untuk Kongres PAN adalah adanya konsolidasi yang kuat dari dua kandidat ini dan dilakukan dengan persaingan yang sehat, walau kemudian dimenangkan oleh Zulkifli Hasan. Jelang beberapa bulan kemudian PDIP menjalankan agenda yang sama untuk menjalankan kongres, Kongres PDIP di Bali pada 09-12 April 2015, momentum kongres ini seharusnya  menjadi penegasan PDIP sebagai partai ideologis. PDIP hendak tampil sebagai partai yang progresif dalam regenerasi kepemimpinan sebagaimana berani mengajukan Jokowi sebagai calon presiden sebelum pemilu legislatif.  

Hasil Kongres IV PDIP dengan kembali menetapkan Megawati sebagai ketua umum lagi, sesungguhnya PDIP telah kehilangan rohnya sebagai "Forum Tertinggi Pengambilan Keputusan Partai" karena agenda penting yaitu pemilihan Ketua Umum Partai telah dibonsai oleh forum Rakernas PDIP pada bulan September 2014 yang lalu di Semarang. Keputusan Rakernas PDIP yang secara hirarki berada pada dua tingkat dibawah Kongres Partai bisa mendaulat kewenangan Kongres sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik. Agenda evaluasi dalam kongres sepertinya mati suri karena proses evaluasi kepemimpinan tidak dapat dilakukan soal kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Kenyataan Kongres kali ini minus acara pemilihan Ketua Umum, karena memang sudah didaulat dalam acara Rakernas Partai di Semarang. Padahal agenda pemilihan Ketua Umum seharusnya dibuka agar kader-kader muda potensial mendapat kesempatan untuk berkompetisi secara sehat, sekalipun peluang untuk memenangkan pemilihan sangat kecil. 

Lembaga Survei Poltracking Indonesia sempat mengeluarkan hasil survei jelang Kongres PDIP 2015 pada April mendatang di Bali. Hasil survei menunjukkan trah Soekarno tidak lagi direkomendasikan untuk memimpin PDIP. Responden menginginkan regenerasi kepemimpinan menjadi agenda prioritas PDIP dalam kongres kali ini, Survei itu memilih Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, dan Prananda Prabowo sebagai figur yang paling tidak direkomendasikan memimpin partai banteng. (http://www.tempo.co/read/news/2015/03/22/078651986/Kongres-PDIP-Jokowi-Lebih-Layak-Gantikan-Megawati).  

Banyak kalangan yang mengharapkan Joko Widodo tampil dalam kongres ini namun karena sebagai “petugas partai” bahasa yang dikenakan kepada Joko Widodo sehingga dengan sendirinya melemahkan ambisi untuk maju sebagai calon ketua umum. Partai Demokrat yang akan melakukan kongres juga sedang mengalami dilema organisasi antara mempertahankan SBY sebagai ketua umum atau membuka ruang bagi kader-kader Demokrat untuk bertarung dalam Kongres III PD yang akan di gelar pada 11-13 Mei 2015 di Hotel Shangrilla, Surabaya. Namun melihat gejolak internal yang terjadi dimana tuntutan dari sejumlah DPC untuk menggunakan hak suara mereka dalam kongres. Sedangkan sejumlah DPC memilih untuk mendukung keterpilihan SBY secara aklamasi. Menurut mereka aklamasi ini adalah bagian dari Pancasila yaitu sila keempat. Musyawarah untuk mufakat itu bagian dari politik kita, proses aklamasi jauh lebih baik daripada voting. Voting itu bisa terjadi permainan-permainan, bisa transaksional. 

Fenomena yang berkembang di internal partai politik pasca pemilu legislatif 2014 ini, hadir pertanyaan; apakah atas dasar musyawarah mufakat menyepakati adanya aklamasi dan mengharamkan adanya kompetisi ?  musyawarah dan kompetisi adalah dua hal yang berbeda yang sering digunakan dalam pengambilan keputusan. Keberadaan partai politik seyogiannya memiliki peran untuk membangun iklim serta kualitas demokrasi sekaligus sebagai organisasi kader yang mengedepankan regenerasi kepemimpinan. Robert Dahl menyebutkan bahwa demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terus menerus terhadap preferensi atau keinginan warga negaranya. Tatanan politik seperti itu dapat digambarkan dengan dua dimensi politik yaitu: pertama; seberapa tinggi kontestasi, kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan dan kedua; seberapa banyak warga Negara yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu.

Dua dimensi diatas menjadi tolak ukur penting demi menjalankan demokratisasi, hal ini seyogiannya diterapkan semaksimal mungkin dalam internal partai politik, karena cerminan kepemimpinan dalam partai politik merupakan embrio bagi kepemimpinan bernegara. Partai politik sepertinya mengalami pergeseran makna berpartai dimana bukan lagi ideologi partai sebagai perekat tetapi, membangun diksi baru bahwa ketokohan menjadi alat perekat kader. Ketokohan juga mengalami pergeseran persepsi yakni mereka yang mendirikan partai politik, mereka yang merugi bagi konsolidasi partai politik, bahkan diperluas lagi bahwa tokoh partai itu adalah mereka yang mampu mendatangkan atau membiayai akomodasi serta transportasi peserta kongres.   

Menjadi persoalan bagi matinya kompetisi dan memberi kesuburan bagi aklamasi adalah menipisnya “fair play”. Kebiasaan yang terlihat dari kongres sebelumnya adalah selalu saja kelompok yang kalah dikucilkan dari kepengurusan, atau kelompok yang mencoba melakukan konsolidasi di awal kongres untuk mendorong adanya kompetitor, selalu saja tidak diakomodir dalam kepengurusan berikutnya. Kualitas demokrasi masih dikekang oleh kekuatan feodal dan para pendukung yang hendak meraup keuntungan dari kedekatan dengan pendiri/penguasa partai politik. Musyawarah mufakat tidak juga dengan mudah di pahami sesederhana yakni suara bulat atas dasar menghindari konflik, musyawarah mufakat sejatinya disana perlu ada perdebatan dengan berbagai pertimbangan dan aspek yang berkualitas, bermutu bagi tercipta atau terbukannya kompetisi. Musyawarah itu bukan menghindari kompetisi tetapi bagaimana menciptakan iklim kompetisi yang sehat.

*Pemerhati Sosial - Politik


Senin, 13 April 2015

"GERONTOKRASI PARTAI POLITIK"



GERONTOKRASI PARTAI POLITIK”
*Yoyarib Mau

Usai Munas PDIP di Bali, yang mengukuhkan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP, Megawati terpilih sebagai peserta pemilu sejak tahun 1999 hingga nanti tahun 2020, sudah 4 kali kongres Megawati tetap menjadi ketua umum, hal ini dapat menegaskan bahwa selama empat periode 20 tahun kepemimpinan di tubuh PDIP masih dikendalikan penuh oleh Megawati. Berbeda dengan Golkar yang mampu dikendalikan oleh Soeharto selama 32 tahun, akan tetapi Soeharto tidak menempati posisi sebagai Ketua Umum Golkar, Soeharto hanya sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar. Kesamaannya masing-masing dapat mengendalikan partai untuk menjalankan kekuasaan, sedangkan perbedaannya adalah Megawati hanya satu periode menjabat sebagai Presiden, sedangkan Soeharto sebanyak 32 tahun berkuasa, dengan didukung oleh kapasitas Soeharto sebagai panglima tertinggi ABRI dan posisi sebagai Presiden yang dengan mudah dapat mengendalikan birokrasi.

Namun kelebihan Megawati adalah mampu membangun PDIP dari keterpurukan dengan menjadikan ideologi kerakyatan yang diwariskan Soekarno sebagai perekat PDIP dan konstituen. Berbeda dengan Soeharto yang dengan pola depresif kolaborasi antara pendekatan militer dan birokrasi menjadi keuntungan bagi Golkar, sehingga mereka mampu bertahan cukup lama dalam mengendalikan partai politik. Gus Dur juga membangun PKB namun tidak bertahan lama karena faktor kesehatan sehingga kemudian Gus Dur tidak dapat nenjalankan PKB dengan baik, namun karena manajemen kepemimpinan yang baik PKB mampu bertahan, SBY juga mendirikan Partai Demokrat yang terilhami oleh kekalahan terhormat Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan Calon wakil Presiden dalam Sidang MPR tahun 2001. Namun SBY tetap memposisikan diri sebagai Ketua Dewan Pembina dan Ketua Dewan Kehormatan. Namun ketika pada periode 2010-2015 terjadi gonjang-ganjing dalam tubuh Demokrat maka SBY turun gunung dan mengambil kendali Partai Demokrat sebagai Ketua Umum merangkap Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.

Model pengendalian partai oleh pendiri dan tokoh central partai menjadi model kepemimpinan dalam menjalankan partai politik di tanah air. Namun menjadi pertanyaan adalah sejaumana dan tujuan keberadaan tokoh central/pendiri partai mengendalikan serta menjalankan partai politik di tanah air ?.  

Daniel Dhakidae dalam ulasannya  dalam Jurnal Primsa menulis dalam artikel Demokrasi, Harta dan Negara bahwa; Orang kaya, bangsawan, selalu menjadi pengetua masyarakat mana pun, dan kapan pun, di Nusantara. Orang kaya berarti pemilik tanah, para tuan tanah. Dengan memiliki tanah mereka dengan sendirinya memiliki apa saja yang bisa diusahakan di atas tanah itu. Dengan begitu orang kaya adalah mereka yang memiliki hasil ladang dan sawah berlimpah dengan memanfaatkan tenaga kerja tak berbayar, yaitu para budak hasil keturunan atau budak belian. Khusus mengenai budak belian semuanya tidak bisa berlangsung sebelum negara dan konsep negara dipakai semestinya. Salah satu bentuk kegiatan negara adalah mengumpulkan pajak. Yang tidak bisa membayar pajak menggadaikan diri, dan dari sanalah berasal budak belian yang biasanya dibedakan dari budak turunan. Para budak tidak berhak atas tanah. Dengan sendirinya, dia dikucilkan dari turut mengambil bagian dalam pertemuan adat, perundingan, dan juga memerintah dalam pengertian yang sangat asli, yaitu memberikan perintah tentang apa saja yang harus dilaksanakan dalam suatu persekutuan adat-menjaga ladang dan sawah, memelihara ternak, menjalankan pernikahan, dan sebagainya.

Partai politik ibarat tanah atau perusahaan yang dikendalikan oleh pemilik yakni tokoh central yang mendirikan dan mengendalikan partai politik. Sedangkan pengurus partai dan wakil rakyat yang terpilih lewat parpol diposisikan sebagai tenaga kerja atau budak yang di berikan kesempatan untuk bekerja mengumpulkan hasil pengusahaan atas tanah dan laba usaha perusahan, untuk kemudian diserahkan kepada pemilik tanah (baca : partai politik) yakni tokoh central pendiri partai politik. Pemahaman ini yang mungkin ada dalam benak Megawati sehingga keberadaan Presiden Jokowi dianggap sebagai “petugas partai” sehingga dalam Kongres VI PDIP di Bali, Mega ingin Jokowi sebagai kader PDI Perjuangan, sudah seharusnya menjalankan garis kebijakan partai. 

Megawati menempatn diri sebagai tuan tanah serta pemilik saham sehingga dalam Kongres VI PDIP, Jokowi tidak diberikan ruang bagi Jokowi untuk memberikan kata sambutan sebagaimana biasanya ketika Presiden hadir dalam sebuah hajatan parpol diberi kesempatan untuk menyampaikan kata sambutan atau pidato, bahkan Jokowi harus menundukan diri dan mencium tangan Megawati.  Jelas dan tidak dapat dipungkiri bahwa terpilihnya Jokowi sebagai Presiden adalah karena diusung oleh PDIP namun perlu disadari bahwa ketika Jokowi telah terpilih sebagai Presiden maka ada mandat besar yang digariskan bahwa Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan, ini amanat konstitusi untuk dilaksanakan, keberadaan Jokowi tidak sebagai petugas partai lagi tetapi adalah sebagai  kepala negara dan kepala pemerintahan. 

Perilaku Megawati seolah-olah hendak mengembalikan Indonesia masih dibawah pengaruh feodal (para penguasa tanah) dalam waktu yang sangat lama, dan hendak menjalankan feodalisme baru yakni daerah dibawah kendali pemilik tanah/perusahaan yang berkuasa, tidak mengubah apa pun dan hanya melanjutkan kembali apa yang sudah/sedang berjalan, dan malah bersikeras untuk itu dengan mengancam jika tidak mau berperan sebagai petugas partai maka dipersilahkan untuk keluar dari PDIP.

Perilaku Megawati apabila dilihat menurut pemikiran para filsuf Yunani kuno sebagai sikap plutokrasi yang kini lebih populer sebagai oligarki. Padahal rakyat berharap pada partai politik agar keberadaan dalam kekuasaan membawa perubahan, melalui demokrasi elektoral hasil reformasi, namun justru memperkuat siklus hartawan/pemilik partai menjadi penguasa: politik untuk menjadi hartawan, dan berharta demi kekuasaan politik. 

Perilaku partai politik yang dikendalikan oleh para rezim “gerontokrasi”  yang mungkin lama berkuasa mengalami kehilangan arah perjuangan kemudian berdampak pada perilaku plutokrasi yang feodal yang hanya menginginkan berapa hasil pengusahaan tanah dan hasil usaha yang diperoleh melalui kerja politik parpol. Padahal pernah Presiden Soekarno pada pidato 17 Agustus 1951 mengingatkan bangsa Indonesia untuk; Adakanlah koordinasi, adakanlah simponi yang seharmoni-harmoninya antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum, dan janganlah kepentingan sendiri itu dimenangkan diatas kepentingan umum. 

Gerontokrasi bukanlah haram namun perilaku gerontokrasi harus mampu ditundukan bahwa parpol berpihak kepada rakyat, sebagai mana sebutan lain sebagai “wong cilik” yang harus lebih mengutamakan kepentingan rakyat, jika demikian maka Jokowi harus ditempatkan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang harus bekerja memenuhi janji-janji kampanye kepada masyarakat serta menjalankan pemerintahan ini guna mensejahterahkan rakyat semata. Para kaum gerontokrasi dimana kepemimpinan yang dikendalikan oleh para tetua seharusnya bangga tidak perlu berharap banyak untuk mendapatkan ciuman tangan, atau menunggu setoran dari mereka yang dianggap petugas partai atau buruh yang mengabdi kepada majikan, sehingga para pemilik tanah (baca: partai politik) hanya menunggu setoran. Sehingga acapkali petugas partai terjebak dalam suap dan tertangkap tangan dalam transaksi untuk mendapatkan setoran bagi parpol dan pemilik parpol.

*Pemerhati Sosial - Politik

Rabu, 01 April 2015

"REFLEKSI PASKAH; GOLKAR DAN TAMAN GETSEMANI"

“REFLEKSI PASKAH; GOLKAR DAN TAMAN GETSEMANI”
*Yoyarib Mau

Alih-alih tulisan ini bukan hendak menggiring gereja atau pembaca yang memahami soal Taman Getsemani  untuk kemudian melakukan penghakiman atas kekisruhan yang terjadi dalam tubuh Partai Golkar, tulisan ini tidak pada posisi untuk memihak atau menyalahkan, tetapi tulisan ini hendak menggambarkan hal menarik dari apa yang terjadi dalam Partai Golkar, kemudian mengkorelasikannya dengan apa yang terjadi di Taman Getsemani.  

Tidak dipungkiri bahwa Golkar berada pada kekisruhan yang akut, dan menggiring pengurus partai, anggota partai serta anggota DPR/DPRD untuk menentukan keberpihakannya. Partai Golkar membelah diri dalam Munas Ancol dan Munas Bali, kemudian teranyar di Senayan konflik berlanjut dengan perebutan ruangan fraksi, dimana Kelompok Munas Ancol yang menetapkan Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai Ketua Fraksi, melakukan upaya paksa perebutan  ruangan Fraksi Golkar di lantai 12 di Kompleks DPR RI pada 30 Maret 2015. Sebelumnya ruangan ini dikuasai oleh Kubu Munas Bali yang telah menetapkan Ade Komarudin sebagai Ketua Fraksi dan Sekertaris Fraksi Bambang Susatyo beserta kelompoknya yang berusaha untuk mempertahankan ruangan fraksi dengan bertahan didalamnya. 

Konflik berkepanjangan dalam tubuh Partai Golkar yang dalam sejarah kepartaian Indonesia menunjukan kepiawaiannya dalam perpolitikan di tanah air. Namun kesolidan masa lalu tidak berjalan lurus dengan kondisi hari ini dimana Golkar sudah terbelah menjadi 3 (tiga) kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda pula. Kelompok Pertama, berawal saat  Ketua Umum Aburizal Bakrie mengusung capres-cawapres Prabowo-Hatta dan kelompok ini didominasi oleh kalangan struktur partai dari pusat hingga daerah. Kelompok ini kemudian tetap berada dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dan kekuatan kelompok ini kemudian mengkonsolidasikan diri dan melaksanakan Munas di Bali, yang mengaklamasi Aburizal Bakrie tetap sebagai Ketua Umum Golkar versi Munas Bali. Kelompok Kedua, awalnya diinisiasi oleh kalangan muda golkar yang progresif didukung oleh beberapa sesepuh golkar dan organisasi sayap partai menentang pilihan paratai yang berlambang pohon beringin ini dalam pilihannya mendukung Prabowo-Hatta, dan dengan terang-terangan menyatakan dukungannya ke Joko Widodo-Jusuf Kalla yang adalah mantan Ketua Umum Golkar. 

Pasca pilpres kelompok ini menggeliat dan mendapatkan dukungan dari beberapa pengurus defenitif Golkar seperti Agung Laksono Wakil Ketua Umum Golkar, Yorrys Raweyai (Ketua Umum AMPG), Priyo Budisantoso (Ketua Umum MKGR), Laurens Siburian  (SOKSI) memilih untuk melakukan Munas Partai Golkar di Ancol. Dalam Munas Ancol ada tiga calon yang bertarung dalam memperebutkan posisi ketua umum, yakni Agung Laksono, Agus Gumiwang Kartasasmita dan Priyo Budisantoso yang kemudian dimenangkan oleh  Agung Laksono. Kelompok ini mendapatkan energi dukungan ketika SK Menkumham dikeluarkan bagi Kubu Munas Ancol untuk melakukan pembentukan kepengurusan baru  yang mengakomodir pengurus partai dari Kubu Munas Bali. Keputusan ini menyebabkan 91 wakil rakyat Partai Golkar yang ada di parlemen menjadi gamang dan terbelah, sejumlah pengurus struktur partai yang sebelumnya berada di Kubu Munas Bali, tetapi memilih berada bersama Kubu Munas Ancol mereka antara lain Mahyuddin dan Airlangga Hartarto.

Kelompok ketiga adalah kelompok abu-abu mereka yang sebagian adalah pengurus partai hasil Munas Riau, para pendiri partai sespuh yang memilih tenang tidak mendukung dan maupun menolak keputusan partai, gerbong ini sepertinya tak kuasa berbuat banyak, mereka sedang bermimpi bagaimana tampil sebagai pahlawaan untuk menggiring partai ke titik aman. Kelompok ini terlihat jelas dalam posisi Muladi sebagai anggota Mahkamah Partai Golkar dalam sidang Mahkamah Partai Golkar yang tertuang dalam amar putusan Mahkamah Partai Golkar yakni, 1. Menghindari kubu yang menang mengambil semua jabatan di kepengurusan, 2. Rehabilitasi kader yang di pecat, 3. Apresiasi yang kalah dalam kepengurusan, 4. Dan terakhir yang kalah berjanji tidak akan membentuk partai baru. Amar putusan mahkamah partai tidak memberikan kemenangan bagi kubu tertentu, namun kemudian Muladi memberikan dukungan atas keputusan Menkumham dan dampak politiknya adalah anak menantu Muadi Fayakhun Andriadi diakomodir oleh Kubu Munas Anocol sebagai Sekertaris Fraksi Golkar mendampingi Agus Gumiwang Kartasasmita.

Konflik yang berkepanjangan ini menghadirkan pertanyaan kemana arah Golkar dalam perjuangannya bagi rakyat ? Faksi dalam tubuh Golkar selalu ada dalam setiap kepengurusan dan faksi dalam tubuh Golkar  selalu saja berakhir dengan hadirnya partai baru. Faksi selalu ada dalam kehidupan komunitas atau kelompok masyarakat. Dalam Partai politik  ada embrio partai politik berupa sekumpulan “faksi.” Faksi ialah subsistem dalam sistem partai, yang terbentuk berupa sekelompok orang yang biasanya memiliki kedekatan primordial (keluarga, suku, agama, ras), kesamaan ideologis (ideal), atau kesamaan kepentingan (oportunis, pragmatis). Biasanya faksi dipimpin oleh para pendiri (founding persons) partai itu.

Menurut Samuel P. Huntington Faksionalisasi dalam partai politik pada tahapan ini, konflik internal sebuah partai berkutat pada perebutan pengaruh dan wewenang untuk mengendalikan partai yang berakar pada kekuatan faksi-faksi yang tarik-menarik satu sama lain. Apabila dalam proses ini terdapat faksi yang kuat namun menganggap kewenangan diperolehnya tidak proporsional (misalnya kalah karena faksi-faksi lain berkoalisi), dapat terjadi pembangkangan yang berujung pada terpecahnya partai, yakni faksi yang tidak puas tadi akan memisahkan diri, keluar dari partai tersebut dan membentuk partai sendiri. Namun apabila terjadi keselarasan kepentingan dan masing-masing faksi memandang bahwa kewenangan yang mereka peroleh proporsional, maka partai itu akan tetap utuh dan berkembang. Dalam pengertian koalisi, ini sering diistilahkan koalisi tetap atau jangka panjang, dan dalam istilah fusi (penyatuan) sering disebut fusi tuntas (penyatuan sepenuhnya) (Samuel Huntington – Political Order In Changing Societies – 1968)

Konflik Golkar ini jauh sebelumnya terjadi juga di Taman Getsemani, Yesus hendak mengakhiri pelayanannnya, murid-murid Yesus tampil dengan berbagai perilaku yang mencerminkan faksi-faksi karena memikirkan siapa yang akan melanjutkan tampuk kekuasaan yang akan di tinggalkan Yesus. Kisruh di Taman Getsemani memberikan gambaran jelas soal orientasi hidup dalam setiap komunitas/organisasi ataupun partai politik. Faksi Yudas yang orientasinya adalah kepingan dinar dan tidak pada kepentingan jangka panjang sehingga dapat dikategorikan sebagai faksi pragmatis, Simon Petrus merepresentasikan Faksi Mbalelo perilakunya tergantung tiupan angin kemana tiupan angin kesitu hatinya memilih, suka cari muka, dan cari jalan selamat ketika terdesak. Faksi terakhir Yakobus dan Yohanes yang tampil sebagai Faksi Ideologis yang dengan tenang menjaga marwah perjuangan.

Kenyataan politik dalam faksi di tubuh Golkar yang berperan seperti Yakobus dan Yohanes untuk tetap berdiri pada marwah perjuangan partai tidak terlihat dengan jelas. para sesepuh juga telah memilih untuk berpihak seperti Akbar Tanjung yang memilih untuk ke Kubu Ical, sedangkan pendiri SOKSI  Suhardiman memilih ke Kubu Agung. Dengan demikian kisruh Partai Golkar hari ini akan menghadirkan kebimbangan bagi rakyat untuk menaruh harapan pada partai ini, serta menggiring rakyat untuk berperilaku yang sama dengan mengabaikan marwah perjuangan.

*Pemerhati Sosial - Politik