Rabu, 12 Agustus 2015

"KEMERDEKAAN NAPAS PENDEK"


“KEMERDEKAAN NAPAS PENDEK”
*Yoyarib Mau

Artikel bertajuk “Nasionalisme, Islamism, dan Marxisme” yang di muat dalam Koran Suluh Indonesia Muda pada tahun 1926, dalam artikel ini ada sebuah paragraf yang mengungkapkan; “sebagai Aria Bima-putera, yang lahirnya dalam zaman perjuangan, maka Indonesia Muda inilah melihat cahaya hari pertama-tama dalam zaman yang rakyat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnya. Tak senang dengan nasib ekonominya, tak senang dengan nasib politiknya, dan tak senang dengan segala nasib yang lainnya.”  Dua tahun kemudian pada 1928 para pemuda menyatukan tekad untuk menyatakan Sumpah Pemuda, 17 tahun kemudian 1945 barulah bangsa Indonesia menikmati nasib kemerdekaan untuk dapat menentukan nasib senangnya dalam menentukan arah politik dan ekonominya.

Kini 70 tahun bangsa Indonesia menikmati kemerdekaannya dalam jangka waktu yang cukup panjang sebagaimana usia normalnya manusia Indonesia. Konteks pergumulan sebelum pekik dan proklamasi kemerdekaan dikumandangkan ada spirit perjuangan kebangsaan itu jauh melampaui spirit kebangsaan pasca kemerdekaan. Dalam keadaan terhempit dan dibawah todongan senjata penjajah  ada keberanian yang luar biasa untuk memperjuangkan perubahan nasib karena rasa cinta terhadap Tanah Air. Berbeda dengan perjalanan waktu hingga 70 tahun Indonesia hampir keseluruhan rakyat Indonesia hanya berpikir rasa cinta kepada diri sendiri, kepada kelompoknya (suku, agama, ras dan bahasa), dan partai politik semata.

Partai Politik
Kemerdekaan bukan untuk seluruh rakyat Indonesia sebagaiamana yang diwariskan oleh para pendiri bangsa yang tertuang dalam UUD 1945 yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,” dimana kemerdekaan itu bertujuan untuk menghadirkan kesejahteraan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa harus didominasi oleh pribadi, kelompok bahkan partai politik sekalipun. 

Kenyataannya kekuasaan yang harus menghadirkan rasa kemerdekaan itu merata bagi semua namun kenyataannya siapa partai politik yang berkuasa maka implikasi kemerdekaan itu hanya dinikmati oleh partai berkuasa. Terlihat dengan jelas dalam jatah menteri yang seharusnya bekerja untuk kesejahteraan rakyat tetapi didominasi oleh jatah partai politik pengusung sejak Jokowi terpilih jatah menteri jatah PDIP mendapat 4 kursi, PKB 4 kursi sedangkan partai koalisi lainnya seperti NasDem 3 menteri dan Jaksa Agung, Hanura 2 kursi, dan PPP 1 kursi, pembagian ini membuat PDIP kecewa karena menginginkan porsi jatah kursi yang lebih besar, kondisi ini kemudian merongrong akan keberadaan Jokowi.  

Rasa cinta terhadap partai lebih besar dibandingkan kepada rasa cinta kepada rakyat, keadaan ekonomi yang lesu, harga tukar rupiah terhadap dollar melemah hingga menembus Rp. 13.000,-. Keadaan ekonomi yang melemah yang pada Kuartal I 2015 pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,67 %  sehingga menyebabkan berbagai sektor real di tengah masyarakat mengalami perlambatan diantaranya; pertanian, peternakan, kehutanan, manufaktur, perdagangan, hotel dan restoran keadaan ini kemudian berdampak pada rendahnya penyerapan tenaga kerja, serta pendapatan masyarakat yang rendah, hanya yang mengalami perscepatan cuman sektor keuangan, real estate dan jasa.  Kondisi ini kemudian menyiksa rakyat dengan terjadinya volatilitas yakni besarnya jarak antara fluktuasi/ naik turunnya nilai tukar, nilai tukar rupiah yang tidak terkontrol akan berdampak negatif terhadap kinerja perekonomian yang pada akhirnya berdampak pada penerimaan negara.

Realitas ekonomi politik ini menunjukan nasib bangsa berada pada posisi yang dikeluhkan pada 1926 dalam artikel Suluh Indonesia Muda, sehingga publikpun menuntut adannya reshuffle, PDIP sebagai partai penguasa memainkan perannya alih-alih menteri-menteri yang berhubungan dengan ekonomi dianggap lemah sehingga tidak mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi sehingga Sofian Djalil Menko Perekonomian digantikan oleh Darmin Nasution, Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno digantikan oleh Luhut Binsar Panjaitan, Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo yang adalah seorang pakar kemaritiman digantikan oleh Rizal Ramli. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel digantikan oleh Thomas Lembong. Menariknya dari pergantian ini kepentingan PDIP tetap menjadi prioritas untuk mendapatkan posisi aman, seharusnya keseluruhan Menko diganti tetapi Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang dijabat Puan Maharani tidak diusik, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang adalah orang dekat saat Megawati menjabat sebagai presiden tidak mengalami pergantian.

Keberadaan pejabat menteri profesional seperti Andrinof Chaniago, Setkab Andi Widjayanto harus menerima kenyataan bahwa kepentingan partai politik dan penguasa menjadi prioritas, Andrinof Chaniago harus dilengserkan untuk menjamin keberadaan Sofian Djalil konon sebagai orang bawaannya  Jusuf  Kalla dalam kabinet, dikarenakan juga latar belakang Andrinof sekaligus yang sesama suku bersama Sofian Djalil akan memudahkan untuk meredam gejolak. Andi Widjayanto yang adalah anak kandung  Theo Sjafe’i salah satu sesepuh PDIP sudah tidak memiliki ikatan yang kuat dalam tubuh PDIP lagi.

Kenyataan politik ini menghadirkan pertanyaan bagi kita bahwa, apakah kemerdekaan berbangsa dan bernegara ini hanya untuk partai politik yang berkuasa Carl J. Friedrich mengemukakan pengertian partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan itu, diharapkan memberikan kepada anggota-anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materil (http://www.pengertianpakar.com/2014/09/pengertian-partai-politik-menurut-para.html).

Pembagian kursi eksekutif dalam hal ini menteri kepada partai politik pengusung itu hak politik untuk mendapatkan kemanfaatan atas kekuasaan yang direbut namun perlu diingat bahwa kemerdekaan yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa menghendaki agar kemerdekaan itu menghadirkan kesejahteraan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika kemerdekaan itu untuk seluruh rakyat Indonesia maka seyogiannya jabatan publik yang berkenan dengan kesejahteraan tidak semata-mata untuk kepentingan partai politik pengusung. Andai kader partai tidak memiliki kapabilitas maka sebaiknya diberikan kepada rakyat yang berkompeten untuk menjalankan kekuasaan tersebut.

Prinsip manajemen “The Right Man In The Right Place” tidak bisa diabaikan jabatan menteri harus diberikan kepada orang yang tepat, tidak sekedar diduduki oleh orang partai karena jatah. Pemikiran partai politik yang hanya menempatkan orang partai tanpa pertimbangan manajemen modern, maka partai politik tersebut berada dalam suasana kemerdekaan napas pendek, sebuah suasana dimana orang hanya berpikir untuk perut dan kepentingan dirinya semata, tidak berpikir panjang soal nasib keseluruhan bangsa dan rakyatnya. Jabatan publik harus diisi oleh negarawan yang berpikir bukan hanya untuk hari ini, namun harus berpikir bagaimana mewariskan fondasi yang kuat bagi bangsa untuk tetap bertumbuh menjadi bangsa yang besar.  Partai politik juga harus berani menolak pejabat yang nota bene adalah titipan asing untuk mengamankan kepentingan asing. Bangsa Indonesaia harus berani menunjukan diri berhadapan dengan bangsa lain seperti Soekarno berkata “iki dadaku, endi dadamu”.



*Pemerhati Sosial – Politik (tulisan ini akan di muat dalam Koran Daerah Group Jawa Pos - Timor Express)

Rabu, 05 Agustus 2015

"HARAKIRI POLITIK RAYMUNDUS SAU FERNANDES"

“Harakiri Politik Raymundus Sau Fernandes
*Yoyarib Mau

Diatas kertas selalu saja incumbent diatas angin untuk memenangkan pertarungan dalam Pilkada sehingga konsentrasinya hanya bagaimana memanfaatkan anggaran pemerintah  semisal bansos atau anggaran lainnya sebagai alat untuk menguatkan basis dukungan. Keberadaan birokrasi dengan kekuatan kekuasaan incumbent untuk memberikan jabatan struktural disetiap SKPD, serta ancaman mengkerangkeng para birokrat dengan pola penempatan ditempat yang sulit untuk mengakses informasi dan transportasi, bahkan dijauhkan dari keluarganya.

Belum lagi keberadaan incumbent diuntungkan oleh banyak hal, fasilitas pemerintah benar-benar memudahkan incumbent dalam setiap aktifitas. Kekuatan politik incumbent ini membuat incumbent lupa dan tidak lagi berpikir soal aturan, teknis, serta pilihan-pilihan alternatif strategi yang akan dilakukan oleh lawan dengan memanfaatkan celah hukum. Ibarat berperang Raymundus Fernandez (incumbent) energinya sudah terkuras karena mengikuti irama permainan  yang dimainkan oleh penantang. Dinamika ini berlanjut jelang deklarasi calon peserta Pilkada hingga kesiapan menjelang pendaftaran terlihat adu kekuatan massa sehingga konsentrasi incumbent adalah bagaimana mempertahankan massa dukungan dan tidak memikirkan sikap antisipatif jika Eusobio mengundurkan diri.

Sejumlah kelemahan yang tidak diantisipasi oleh Raymundus Fernandes adalah ketika Eusobio Hornay Rebelo mampu menggandeng sejumlah partai politik seperti; NasDem, Gerindra, PAN, Hanura, Demokrat dan PKS dalam sebuah koalisi besar. Sedangkan incumbent nyaman dan ber-euforio dengan adannya PDIP yang tidak lagi membutuhkan koalisi dengan partai lain karena memenuhi syarat untuk mengajukan calon sendiri. Sedangkan Gabriel Manek masih menanti keputusan KPU soal keberadaan Golkar dapat memajukan calon atau tidak, walaupun Gabriel Manek sudah melakukan kampanye lewat baliho bahwa berpasangan dengan Edy Meol dari Gerindra, sejujurnya ketika Eusobio mampu menggandeng Gerindra dengan sendirinya telah mematahkan kekuatan Gabriel Manek. Dengan demikian seharusnya incumbent sudah seharusnya membaca peta politik yang berkembang dan berpikir alternatif untuk bagaimana memajukan calon alternatif. Tinggal dua partai politik yakni PKB dan PKPI yang memiliki kursi di DPRD tetapi tidak memenuhi quota untuk mengusung calon.

Jika nalar politik incumbent dimaksimalkan untuk memecah kebekuan (head to head) maka seharusnya PKB dan PKPI serta gabungan partai non-seat bisa dikonsolidasikan untuk mengusung calon lain untuk  memecah suara dan mengantisipasi jika Eusobio batal mendaftar sebagai peserta Pilkada. Kondisi ini membuktikan bahwa incumbent tidak memiliki strategi politik yang  memadai, yang ada adalah adu kekuatan finansial, adu otot serta mobilisasi massa semata. Celah politik tidak mampu dibaca oleh incumbent akhirnya yang terjadi adalah Raymundus Fernandez berada di arena pacuan kuda untuk bertanding, tetapi dirinya sendiri yang berkuda tanpa ada lawan yang hendak bertanding.  

Situasi politik lokal di TTU menghadirkan pertanyaan yang bersifat sartire, apa bahasa yang tepat untuk melukiskan konsep berpolitik ala Raymundus Fernandez ? Meminjam perilaku lokal yang selalu mengidentikan kerbau yang ditusuk hidungnya, kemana tali kerbau yang dikendalikan oleh penarik kerbau, kerbau itu akan tetap menurut tanpa berdaya. Tarik menarik politik di TTU cukup menarik, Kerbau tambun dengan kekuatan yang luar biasa karena memiliki energi yang cukup, tetapi lemah karena mengikuti irama permainan bahkan menyerahkan hidungnya ditusuk dengan tali sehingga tidak berdaya dan hanya mengikuti arus permainan sehingga kerbau ini tidak sadar bahwa sedang digiring ke tempat pembantaian.

Filsuf Inggris atau yang lebih dikenal dengan sebutan filsuf empiris, yakni Immanuel Kant yang menitikberatkan bahwa pengetahuan selalu berhubungan dengan pengalaman indrawi, tetapi menurut Kant itu saja tidak cukup perlu kemampun lain yakni kemampuan mengindrawi atau kemampuan sensibilitas (F. Rudi Hardiman – Erlangga – 2011). Sensibilitas incumbent sepertinya melemah karena hidung yang ditusuk sehingga tidak mampu lagi mengendus gelagat politik dari lawan dengan strategi yang menggiring ke tempat pembantaian.

Kenyamanan sebagai incumbent tentu membunuh sensitifitas berpolitik, Raymundus merasa diatas angin karena sehari-harinya dapat memanfaatkan posisinya sebagai incumbent dengan didukung oleh fasilitas pemerintah, mesin birokrasi dapat ditekan melalui intimidasi membuat kekuatan itu menjadi besar. Kondisi kenyamanan membuat gaya kepemimpinan kehilangan sensibilitas berdemokrasi, padahal dalam demokrasi incumbent perlu menciptakan suasana kompetisi yang sehat dengan memberikan ruang bagi regenerasi, guna tercipta siklus kepemimpinan.

Lemahnya sensibilitas politik membuat incumbent tak berdaya dimana kekuasaan harus dipertahankan, karena tidak ada lagi kursi promosi jabatan yang lebih tinggi lagi, yang lebih enak dan lebih terhormat sehingga sekuat tenaga mempertahankan kursi kekuasaannya. Kesalahan terbesar yang dilakukan oleh incumbent adalah merasa berkuasa penuh dan mematikan lawan-lawan yang hendak bertarung. Kesalahan berpikir seperti ini yang kemudian kita bisa menyebutnya sebagai sikap politik yang membunuh diri sendiri (harakiri politik).

Terlihat dengan jelas bagaimana para pegawai yang dianggap lawan, serta memihak kepada lawan politik dikucilkan dengan dipindah tugaskan dari pusat kekuasaan ke tempat yang terpencil, atau tidak diberikan jabatan. Bahkan kegiatan-kegiatan politik dari lawan politik dibatasi, incumbent membuat kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan masa bertepatan pada saat yang sama juga dilakukan oleh lawan politik. Dengan berbagai alasan untuk menjustifikasi kebijakan incumbent tersebut, namun kebijkan seperti ini justru tidak demokratis karena tidak menyiapkan “suksesi” kepemimpinan menyongsong pergantian kepemimpinan dalam Pilkada. Perilaku politik yang dijalankan oleh incumbent adalah memberangus suksesi, sehingga tidak dapat disalahkan jika calon yang lain mengurung niat untuk maju dalam pilkada.

Kepala daerah harus menyadari bahwa salah satu tugasnya yang harus dilakukan sebagai kepala daerah adalah sukses mewujudkan pilkada selanjutnya, dengan juga menciptakan kondisi  (pra-kondisi) dimana mampu memberikan ruang bagi lawan politik untuk sama-sama bertarung bukan membungkam dan mematikan langkah politik lawan, kemudian membanggakan diri bahwa tidak ada lawan yang berani melawan dirinya, mencari alasan pembenaran bahwa dapat dilakukan dengan jalan aklamasi atau musyawarah untuk mencapai mufakat sebagai jati diri bangsa.

Kemandekan berpikir membuat matinya sensibilitas politik, sehingga kemudian lawan politik dalam hal ini Eusobio memutus mata rantai perilaku harakiri politik Raymundus dengan tidak mendaftarkan diri sebagai calon kandidat pilkada TTU. Sayangnya kemudian semua orang mengatakan bahwa sikap Eusobio ini mengorbankan kepentingan banyak orang, padahal apa yang dilakukan Eusobio adalah pukulan telak sebagai akibat dari perilaku politik para incumbent yang tidak menciptakan kondisi politik yang demokratis. Justru strategi politik yang dilakukan Eusobio adalah sebuah kritik politik yang membangun demokrasi, sehingga demokrasi kita bukan demokrasi feodal tetapi demokrasi yang profesional dan modern.

Revolusi mental yang digadang oleh pemerintah saat ini seharusnya membentuk karakter kepemimpinan yang siap dengan tangan terbuka untuk mengucapkan selamat datang bagi lawan politik dalam percaturan politik, serta juga berani mengucapkan selamat tinggal terhadap kekuasaan yang diduduki ketika dirinya memiliki sensibilitas politik ketika dia sadar bahwa kinerjanya jauh dari harapan dan dan merancang gapura demokrasi selamat datang bagi lawan politiknya.

*Pemerhati Sosial - Politik