Senin, 26 Oktober 2015

"PEMUDA KAMBING CONGEK"

“PEMUDA KAMBING CONGEK”
*Yoyarib Mau

Salah satu segemen penting dalam pembangunan manusia adalah pemuda, tentu pemuda mendapatkan perhatian khusus selain segmen anak, dan orang tua (lansia). Usia Pemuda yang dimaksud dalam segmen ini yakni 17 – 40, walaupun dalam UU 40 Tahun 2009 membatasi pada umur 15 – 30 tahun, namun dalam tulisan ini memberikan jenjang hingga 40 tahun (versi KNPI) dengan pertimbangan peradaban yang lambat dan rendahnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Perhatian pada segmen ini menjadi sebuah keharusan karena diatur dalam UU 40 Tahun 2009 tentang pembangunan kepemudaan dan pelayanan kepemudaan. Keberadaan UU ini mengamanatkan bahwa pembangunan kepemudaan yaitu proses memfasilitasi segala yang berkaitan dengan kepemudaan, sedangkan pelayanan kepemudaan adalah penyadaran, pemberdayaan dan pembangunan kepemimpinan, kewirausahaan, serta kepeloporan pemuda.

            UU ini mendapatkan dukungan dengan adanya Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), sedangkan disejumlah tingkatan Provinsi, Kabupaten/Kota terdapat Dinas Pemuda, Pendidikan dan Olahraga ( Dinas PPO). Keberadaan pemuda adalah elemen penting, sehingga didukung oleh perangkat birokrasi dan sejumlah alokasi anggaran  APBN/APBD untuk pembinaan kepemudaan, bahkan sebegitu pentingnya keberadaan pemuda, mendapatkan mata anggaran yang dialokasikan khusus, akan tetapi  terkadang akibat keliaran arah pemuda, sehingga dipaksakanlah kebijakan alternatif, seperti adanya dana Bansos yang dialokasikan kepada sejumlah organisasi pemuda.

            Di Sumatera Utara pada tahun anggaran 2011 - 2013 Mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, memberikan dana bantuan sosial (Bansos) yang ditelusuri mengalir ke sejumlah media, LSM, Ormas, termasuk sejumlah organisasi kepemudaan dan mahasiswa, antara lain; MPW. Pemuda Pancasila, DPD Ikatan Pemuda Karya (IPEKA) , FKPPI Sumut, Pemuda Panca Marga Sumut (PPM), GM. FKPPI Sumut, Pujakesuma Sumut, PW. IPNU Sumut, Badko HMI Sumut, GMNI, PMII, GMKI, PMKRI (tidak dijelaskan secara mendetail cabang mana), PD. KBPP Sumut, Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia, Resimen Mahatara Provsu, Ikatan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia (IARMI), DPW KIBLAT Sumut, dan organisasi lainnya (http://indonesiaaktual.com/ini-data-lengkap-media-ormas-lsm-yang-terima-aliran-dana-bansos-sumut/).

Demikian juga dana bantuan sosial tahun anggaran 2011- 2012 yang penggunaannya di Provinsi Banten oleh mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mengalirkan sejumlah dana bansos ke sejumlah lembaga lantara lain; PMI Provinsi Banten (Ketua Tatu Chasanah), Karang Taruna Provinsi Banten (Ketua Andhika Hazrumi), KNPI/OKP Provinsi Banten (Ketua Aden Abdul Kholik), GP. Ansor Kota Tangerang Selatan (Ketua Tanto W. Arban), (http://m.detik.com/news/berita/2401689/ini-daktar-penerima-hibah-yang-diduga-terafiliasi-dengan-atut).

Penggunaan dana bansos sebagaimana yang dilakukan di Sumut dan Banten peruntukannya sama, hanya saja di Sumut dana bansosnya dibagikan hampir merata kepada sejumlah organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan, sedangkan di Banten dana bansos tersebut dialirkan hanya kepada ormas atau organisasi kepemudaan yang diketuai oleh keluarga Ratu Atut Chosiyah. Sekelumit aktifitas organisasi kepemudaan yang digambarkan pada alinea diatas tidak hendak menggambarkan bahwa semua organisasi kepemudaan dalam menjalankan roda organisasinya bergantung pada sumbangan atau anggaran pemerintah, namun realitasnya kebanyakan organisasi kepemudaan hadir atau dibentuk untuk tujuan yang sama yakni mendapatkan sumbangan dari pemerintah atau alokasi dana khusus lainnya. Dilema ini kemudian menghadirkan pertanyaan, apakah pembinaan kepemudaan dan pelayanan kepemudaan yang tertuang dalam UU 40 Tahun 2009 itu, hanya sekedar berkutat pada angka nominal dan mengabaikan penanaman nilai yang dicita-citakan ?

            Tan Malaka mengatakan gerpolek adalah perpaduan suku kata yaitu, gerilya, politik dan ekonomi. Gerpolek adalah senjata sang gerilya buat membalas Proklamasi 17 Agustus dan melaksanakan kemerdekaan 100% yang sekarang sudah merosot ke bawah 10%, Sang gerilya adalah seorang putra atau putri, seorang pemuda atau pemudi, seorang Murba  atau Murbi Indonesia, yang taat dan setia kepada Proklamasi dan kemerdekaan 100% dengan menghancur-leburkan siapa  saja yang memusuhi Proklamasi serta memerdekakan 100% (Tan Malaka –GERPOLEK- Narasi – 2013).

            Spirit gerilya adalah spirit keaslian dari para pejuang yang harus diwariskan bagi kepemudaan, pemikiran Tan Malaka dapat dikenakan pada pemuda kekinian, pemuda selalu diidentikan dengan simbol progresif, dinamis, agresor bahkan tulang punggung pembangunan, serta penerus bangsa. Harapan besar pada pemuda harus mendasarkan aktivitas kepemudaannya pada tiga hal; Gerilya, Politik dan Ekonomi. Gerilya adalah menumbuhkan semangat perjuangan yang merata di seluruh wilayah atau pelosok, dengan nilai-nilai perjuangan yakni tabah, berani, memiliki tekad dan bergembira, dalam situasi dan kondisi apapun. Politik melakukan perundingan atau diskusi membangun pemikiran kebangsaan dalam kehidupan kepemudaan untuk terus menggelorakan semangat kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan yang bertujuan untuk mempertahankan tatanan dan nilai-nilai yang fundamental yakni semangat Pancasila, UUD 1945, menghargai keberadaan Bhineka Tunggal Ika dan semakin menguatkan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ekonomi yang dimaksud yakni membangun kemandiran ekonomi dalam kelompok, agar organisasi kepemudaan dapat membiasakan diri mandiri dan tidak bergantung kepada pihak lain dalam membangun organisasinnya.

Organisasi Piaraan

Kenyaataan dalam kekuasaan dengan menjalankan prinsip demokrasi dimana pucuk kepemimpinan organisasi diperebutkan melalui kompetisi. Arah demokrasi yang telah dijangkiti oleh virus komersialiasasi organisasi merasuk, dimana selalu memandang jabatan atau kedudukan pimpinan organisasi sebagai sebuah kesempatan untuk memperoleh keuntungan atau penghasilan bagi diri dan kroni. Hal ini disebabkan oleh adanya dana pembinaan dari pemerintah yang bisa diolah. Konsep gerilya, politik dan ekonomi tidak lagi diwujudkan sebagaimana yang ditorehkan oleh Tan Malaka, Para spekulan organisasi merebut pimpinan organisasi dengan bergerilya melakukan transaksi dukungan dengan sejumlah nominal uang, mengabaikan prinsip-prinsip bergerilya yakni kerelaan untuk berkorban. Para pengurus daerah yang hendak hadir dalam kongres/mubes/muktamar dapat dibiayain dan disiapkan tempat untuk dikandangkan agar dalam satu komando saat memberikan dukungan suara bagi yang diusung.

Politik kebangsaan untuk mengisi kemerdekaan dengan nilai-nilai yang dapat mengayomi semua pihak tidak lagi dilakukan, upaya merebut kekuasaan dan pucuk kepemimpinan melalui pola imperialisme “devide et impera”, memecah bela kelompok organisasi dengan melakukan mobilisasi dukungan berdasarkan segregasi “kita dan mereka”, bahkan lebih ekstrim dan primordial dengan membentuk sentimen kanal agama, kanal budaya, ataupun kanal geografis.

Kemandirian ekonomi bagi organisasi kepemudaan seyogiannya dilakukan dalam organisasi dengan usaha-usaha mandiri, menjalankan usaha koperasi dengan azas gotong royong. Naluri pragmatisme sebagai organisasi piaraan membuat organisasi kepemudaan saat ini lebih sebagai organIsasi dengan pendekatan “event organisasi” (EO), jalan ini semata-mata sebagai penyelenggara kegiatan yang berkolaborasi dengan birokrasi. Motif kerjasamanya adalah “koruptif” menjalankan program pemerintah dimana kegiatan yang seharusnya dijalankan selama beberapa hari, namun dapat dipadatkan menjadi satu hari dengan memohon anggota melakukan tanda-tangan kehadiran yang dibuat rangkap, namun dalam laporan pertanggungjawaban kegiatan tetap dilakukan selama sekian hari.

Motif organisasi “kambing congek” yakni mengajak orang mewakili organisasi tanpa kaderisasi (bukan anggota), dengan hanya mengenakan simbol organisasi untuk hadir dalam sebuah kegiatan seperti seminar, demo atau dukungan kampanye terbuka yang membutuhkan masa dan bendera organisasi dengan mendapatkan sejumlah imbalan, nasi bungkus/kotak serta angka nominal tertentu, melalui penyunatan bagi pimpinan organisasi yang diwakili dan kemudian sisanya untuk peserta yang hadir.

*Pemerhati Sosial-Politik
(tulisan ini akan dipublikasikan di media Timor Express)


  

Kamis, 15 Oktober 2015

"GILIRAN SINGKIL JOKOWI JUGA IJIN"

GILIRAN SINGKIL JOKOWI JUGA IJIN
*Yoyarib Mau

Konflik kekerasan antar umat beragama di tanah air selalu terulang dengan motif dan pola yang sama, dilakukan secara masif dan terencana, penyelesaian persoalannya tidak hanya temporal yakni saat terjadi pengungsian, akan tetapi pasca terjadi kerusuhan harus dilakukan penanganan hingga kemudian korban kekerasan yang distigma dengan sebutan pengungsi kembali hidup normal ditengah-tengah masyarakat. Kenyataannya para korban ditelantarkan untuk mencari jalan selamat sendiri untuk kembali dalam kehidupan bermasyarakat.

Warisan kelam yang tinggalkan sebagai catatan buruk hidup berbangsa dan bernegara pasca kekerasan atas nama agama, hal ini tanpa penanganan yang tuntas hingga mengembalikan korban dalam kehidupan kesehariannya seperti; beberapa tahun lalu tragedi berdarah yang terjadi atas Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik – Banten yang menelan 4 orang korban pada 06 Februari 2011, hal lain yang menghadirkan kekecewaan bahwa ada korban jiwa yang tewas tetapi vonis hukuman bagi korban kekerasan yang sangat ringan yakni 3 – 6 bulan, dibandingkan dengan jeratan hukuman bagi korban Ahmadiya yakni hanya 6 bulan penjara.

Persoalan lain yang tidak dituntaskan bagi korban Jemaah Ahmadiyah yang mengungsi meninggalkan Cikeusik, hingga 4 tahun berlalu tidak difasilitasi bahkan dijamin untuk kembali hidup di rumah dan lahan tanah garapan mereka. Bahkan tanah hak milik mereka telah digarap oleh jawara dan orang Cikeusik dengan alibi bahwa bukan hak milik mereka lagi,  bahkan untuk mendapatkan kartu identitas baru di tempat baru saja sulit, jika hendak mengurus kartu identitas baru, harus memiliki surat rekomendasi atau surat keterangan dari daerah asal Cikeusik (http://pindai.org/2015/02/06/berkisalah/).

Pada tempat yang berbeda dengan konten yang sama yakni korban kekerasan atas nama agama, juga dialami oleh Komunitas Syiah di Kab. Sampang – Jawa Timur, diserang dan digusur paksa dari rumah mereka oleh kelompok massa anti-Syiah, Korban kekerasan Komunitas Syiah yang berjumlah 168 orang dewasa dan 51 anak-anak ini kemudian diungsikan dari area konflik ke GOR Sampang selama 10 bulan, kemudian jemaah Syiah dipindahkan ke ke Rusun Jemundo  Sidoarjo, sempat melakukan aksi  dan perwakilan mereka di terima oleh SBY serta menjanjikan angin surga bahwa mereka akan dipulangkan sebelum lebaran 2013 atau sebelum akhir masa jabatannya. Kemudian pada tahun 2014 Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berdialog dengan komunitas ini, tapi tidak menjanjikan apa-apa, beliau hanya optimis bahwa bisa menyelesaikan persoalan ini karena keinginan komunitas Syiah untuk kembali ke kampung (http://daerah.sindonews.com/read/1037242/23/3-tahun-komunitas-syiah-sampang-terusir-dari-kampung-halaman-1440567114).

Korban kekerasan atas nama agama, tidak saja dialami oleh komunitas jemaah tetapi juga dialami warga gereja yang beragama Kristen yang mana gedung ibadah ditutup secara paksa  di beberapa tempat seperti GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi  oleh warga masyarakat yang berbeda agama, hingga sampai saat ini belum mendapatkan tempat ibadah yang defenitif untuk beribadah sehingga pilihan beribadah dilakukan di Taman Monas persis depan Istana Presiden. Keadaan demikian jika tidak dilakukan penanganan dan penyelesaaian akan berdampak bagi warga gereja yang menjadi korban kekerasan atas nama agama di Singkil – Aceh, yang menewaskan 1 orang, korban luka dan pengungsi yang mengung ke wilayah Sumatera Utara.

Denyut hati yang terus menghantui dengan pertanyaan, apakah proses penyelesaian konflik kekerasan antar umat beragama, dimana pemerintah selalu mengambil posisi penyelesaian persoalan dengan pertimbangan komposisi berapa jumlah korban dan berapa jumlah pelaku ? UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal 27 ayat 1 dan 2; (ayat 1, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinnya), (ayat 2, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan). Pasal 29 (ayat 2, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamannya dan kepercayaannya itu). Hak Asasi Manusia juga diatur dalam UUD 1945 Pasal 28A,28B,28E, 28J, 28I,28H dan 28G. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dalam Pasal 18, Pasal 20, Pasal 26-27.
  
            Kenyataan yang dialami oleh sejumlah peristiwa yang telah diuraikan diatas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan tema besar kekerasan atas nama agama menjadi hal dianggap sederhana bahkan pemerintah menganggap hal  biasa, bisa dengan mudah memohon ijin tidak hadir. Padahal keberadaan Jokowi-JK adalah memberikan jaminan dan perwujudan dari konstitusi tertinggi sebagai hukum dasar tertulis dan tertinggi dari seluruh aktivitas bernegara. Persoalan pengungsi yang terbaikan dan tidak terselesaikan akibat dari kekerasan atas nama agama, seharusnya menjadi pelajaran penting bagi aparat keamanan yang harus tegas dalam memberikan jaminan hukum kepada setiap warga negara. Menjadi persoalan bagi bangsa kita selalu saja akan mencurahkan perhatian dan penanganan akan persoalan keagamaan melihat pada berapa besar jumlah orang yang menjadi korban atau akan menjadi korban di wilayah tersebut.

            Pemerintah melakukan standar ganda dalam menegakan konstitusi bangsa, lemah dalam menegakan konstitusi negara apalagi dituntut untuk mewujudkan HAM yang merupakan kovenan internasional. Hal ini terlihat dari pernyataan Kapolri bahwa tragedi Singkil terjadi karena aparat keamanan kalah jumlah dari para pelaku kekerasan. Alasan yang menunjukan aparat pemerintah kita sebagai aparatus negara selalu menyederhanakan persoalan karena yang menjadi korban adalah kelompok dengan jumlah yang dapat dihitung dengan jari. Negara selalu hadir mengakui setiap warga negara itu sebagai penduduk, apabila warga negara mampu memberikan garansi kepada aparat, untuk mendapatkan jaminan hukum dengan sejumlah imbalan dalam bentuk keuntungan ekonomis dalam angka rupiah.

            Imbalan juga dapat berupa ongkos pencitraan, aparat penegak hukum sebagai kaki tangan Jokowi-JK hanya akan melakukan penegakan konstitusi dengan melihat momentum, jika institusi mereka dalam keadaan terpuruk atau terpojok maka mereka akan hadir dengan kekuatan penuh untuk memanfaatkan momentum dalam rangka “ongkos service” mengembalikan kepercayaan rakyat. Perilaku ini juga berbanding lurus dengan kebijakan Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota  yang bertanggungjawab atas wilayah konflik, korban hanya akan dibantu untuk mendapatkan hak-haknya dengan sebuah kesepakatan “komoditas politik”,  dimana komunitas yang terancam hak konstitusinya harus berpihak atau memberikan dukungan suarannya. Menjadi malapetaka bagi konstitusi negara apabila para pelaku adalah komunitas terbesar dalam komposisi jumlah, sekaligus menjadi pendulang suara dari penguasa maka anggaplah korban kekerasan atas nama agama harus rela menerima hak konstitusinya dibajak  dengan menerima pil pahit bahwa ini adalah takdir.

*Pemerhati Sosial - Politik
(tulisan ini telah dipublikasikan di Media Victory News NTT)
           






Senin, 12 Oktober 2015

"DISOBEDIENCE MK"

“DISOBEDIENCE MK”
*Yoyarib Mau

Keberadaan Hukum harus selalu harus memberikan jawaban bagi kebutuhan terkini masyarakat, peran ini kemudian memberikan ruang bagi amandemen UUD 1945, perubahan itu dilakukan juga dalam kekuasaan kehakiman, sebelumnya kekuasaan kehakiman hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung, tetapi kemudian kekuasaan kehakiman diperluas dengan adannya Mahkamah Konstitusi serta membentuk Komisi Yudisial.

Mahkamah Konstitusi dalam pasal 24C UUD 1945, berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum {Pasal 24C (1)}, wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut UUD {Pasal 24C (2)}.

Wewenang yang  dimiliki MK ini menjadi kekuatan hukum yang  final dan tidak bisa diganggu gugat. Hanya saja dalam beberapa waktu belakangan ini ada beberapa keputusan yang dilakukan oleh MK menghadirkan kontroversi, seperti pengajuan “judicial review” terhadap pelarangan politik dinasti dalam UU 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r; gugatan yang dikabulkan MK, menurut banyak pihak MK tidak mendukung cita-cita politik untuk meredam politik dinasti, justru MK membuka kemungkinan munculnya pemerintahan berbasis dinasti. Menurut MK aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.

Keputusan MK yang dianggap juga kontroversial ketika MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi soal calon tunggal dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, dimana MK setuju daerah dengan calon tunggal tetap menggelar pemilihan. Carannya dengan memberi kesempatan kepada pemilih di daerah itu untuk setuju atau tidak setuju terhadap satu pasangan calon tersebut. Dengan pertimbangan hakim konstitusi bahwa UU Pilkada yang mengharuskan adannya lebih dari satu pasangan calon berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih. Hakim menegaskan bahwa hak untuk dipilih dan memilih tidak boleh tersandera aturan. Tafsir hukum yang dilakukan oleh hakim konstitusi memenangkan sebagian permohonan pemohon dan menolak sebagian permohonan pemohon agar pasangan calon tunggal dilawankan dengan kotak kosong sehingga daerah tetap bisa menggelar pemilihan.

Kondisi ini kemudian menghadirkan pertanyaan, apakah keputusan MK ini sejalan dengan nilai-nilai demokrasi atau justru sebaliknya MK melakukan pembangkangan terhadap demokrasi ?  Nuri Suseno mengatakan bahwa demokrasi dan representasi adalah dua hal yang berbeda, keduannya tidak lahir dari satu tradisi atau dalam satu periode yang sama. Demokrasi berasal dari tradisi politik negara kota di masa Yunani kuno, yang secara harfiah demokrasi diartikan sebagai bentuk pemerintahan (oleh, dari, dan untuk) rakyat. Representasi berasal dari tradisi monarki di Inggris dari akhir abad pertengahan yang mewajibkan wilayah-wilayah di bawah di bawah kekuasaan raja untuk memberikan upeti terhadap raja sebagai imbalan perlindungan militer yang diberikan. Para Pangeran yang ditempatkan sebagai penguasa di wilayah yang ditaklukan raja berperan sebagai wakil raja dan kerajaan di wilayah tersebut. Demokrasi Yunani adalah demokrasi partisipatori dan tidak berhubungan dengan representasi, sedangkan representasi berasal dari zaman pertengahan, ketika ia dipaksakan sebagai sebuah kewajiban oleh monarki ((Nuri Suseno – Puskapol – 2013).

Kehadiran dua pandangan ini sangatlah berbeda karena hadir dari latar belakang yang berbeda, namun kemudian dua pandangan ini menyatu dalam perkawinan menjadi demokrasi representasi, dimana bentuk pemerintahan yang memperkenankan rakyat untuk memerintah dirinya sendiri, rakyat yang menjalankan kekuasaan atau memerintah adalah hasil representasi dari rakyat melalui proses pemilihan (election). Melihat pada hasil keputusan MK agar pilkada dengan calon tunggal tetap dilakukan, sepertinya hanya menjalankan representasi dan mengabaikan demokrasi, dengan argumentasi bahwa kita menjalankn demokrasi tapi lebih pada “pseudo demokrasi’ dimana menjalankan prosedural berdemokrasi tetapi mengabaikan substansi berdemokrasi.

Hasil keputusan MK memang menjadi kekuatan hukum mutlak, namun harus disadari bahwa tanpa kajian ilmiah/akademik yang mendasar maka keputusan itu hambar karena hanya menggiring rakyat untuk melakukan “selection” yang dibungkus dengan pilkada sehingga terlihat demokratis, mengapa dikatakan seleksi karena memberikan ruang bagi kekuasaan yang berkuasa untuk hanya menghadirkan pilihan calon tunggal yang merupakan representasi tunggal sebagaimana yang dilakukan oleh monarki Inggris pada abad pertengahan. Mengabaikan akan esensi demokrasi dimana kekuasaan yang titik tumpunya ada pada rakyat, dimana ada repsentasi lain yang diakomodir dalam pemilu sehingga menjawab akan perkawinan antara demokrasi dan representatif menjadi demokrasi representatif.

Tafsiran Hakim Konstitusi bahwa tidak dilakukannya pilkada dengan calon tunggal akan mengancam akan kedaulatan rakyat dan hak rakyat untuk memilih, sebenarnya telah mengabaikan akan prinsip demokrasi yang kita jalankan yakni demokrasi perwakilan, dimana hak rakyat dan kedaulatan rakyat yang dimaksudkan Hakim Konstitusi ini telah diwakilkan melalui partai politik, sehingga proses demokrasi yang kita jalankan melalui pemilu guna mendapatkan representasi demokrasi, dalam menjalankan pemerintahan tidak harus mengabaikan representasi lain yang harus diusung oleh partai politik lainnya.

Keputusan MK lebih menghadirkan perilaku demokrasi manipulatif yang menggunakan UUD 1945 sebagai kekuatan hukum mutlak, untuk melakukan taksir dengan membunuh substansi demokrasi. Menjalankan representasi dengan mengabaikan demokrasi, karena yang terlihat hanya mengutamakan elitisme kekuatan hukum untuk melegalkan institusi politik demi menjalankan pemilihan yang diberi model baru yakni “referendum”. Hakim Konstitusi lupa akan kajian akademis bahwa keabsahan demokrasi representasi itu ada pada rakyat melalui pemilihan, dimana memilih mereka yang merupakan representasi rakyat yang berkompeten untuk berkompetisi dalam pemilu/pilkada.

Representasi demokrasi yang diwakilkan melaui partai politk, seyogiannya obyek yang dipilih dalam hal ini pasangan orang/pribadi, namun hakim konstitusi mengabaikan obyek pemilu yakni pasangan orang, dengan memberikan hanya opsi kalimat “ya atau tidak”. Untuk menghindari kelemahan keputusan MK yang bisa menyebabkan senjata makan tuan, maka hakim konstitusi mengabaikan sebagian permohonan pemohon yakni agar pasangan calon tunggal dilawankan dengan kotak kosong sehingga daerah tetap bisa menggelar pemilihan. Hakim konstitusi dalam tafsirannya yang kemudian memutuskan keputusan MK untuk dijalankannya pilkada calon tunggal, lebih pada melakukan mobilisasi politik dengan menjalankan model representasi monarki Inggris.

Demokrasi Representasi yang juga dijalankan Indonesia harus menjaga agar tidak kehilangan keanekaragaman representasi/pilihan, dimana harus menjaga adannya  perbedaan pilihan dalam hal ini obyek pilihan yakni orang/pasangan orang dan partai politik dan bukan opsi ya atau tidak. Pilkada/pemilu secara demokratis harus mampu menghubungkan konstituen (hak dan kedaulatan suaranya) yang menjadi dasar tafsiran hakim konstitusi untuk mengambil keputusan, namun mengabaikan representasi demokrasi (wakil rakyat) yang dibahasakan dalam topik ini yakni pembangkangan terhadap demokrasi, karena mengabaikan arena demokrasi yang terbuka dimana pemilu/pilkada tidak hanya sekedar rangkaian peristiwa berkala dimana kehendak berdaulat mendapatkan otoritas, tetapi bagaimana menciptakan suasana pengaruh kekuasaan yang tercipta untuk memilih dan menilai oran/pasangan orang atau partai politik yang merepresentasikan berbagai kepentingan.

*Pemerhati Sosial - Politik
(tulisan ini telah dipublikasikan di media Timor Express - NTT)