Jumat, 08 Januari 2016

“JOKOWI ABAIKAN LEVIATHAN DALAM NATAL”



“JOKOWI ABAIKAN LEVIATHAN DALAM NATAL”
*Yoyarib Mau

            Terobosan baru dalam perayaan Natal di Indonesia tahun ini ada beberapa hal baru yang di buat oleh Jokowi dalam kapasitas sebagai presiden Republik Indonesia, hal yang pertama selama kepemimpinan presiden sebelumnya yang belum pernah dilakukan oleh mereka saat menjelang hari raya Natal, di halaman Istana Presiden didirikan pohon Natal berukuran besar dengan sejumlah ornament untuk menghiasi pohon Natal. Tahun ini Jokowi mengambil langkah berani untuk menjadikan istana sebagai milik semua rakyat, milik semua umat. Kebijakan yang dilakukan di halaman Istana Presiden  ada pohon natal yang berdiri tegak. Terobosan berikut adalah sejak terpilih sudah dua kali melakukan perayaan Natal Nasional, tidak lagi dilakukan di gedung mewah yang berpusat di Jakarta, akan tetapi perayaan Natal Nasional diadakan bergilir dan rutin disejumlah daerah, giliran perayaan Natal Nasional 2014 dilakukan di Papua, sedangkan tahun ini 2015 dirayakan di NTT. 

            Kebijakan ini kemudian membangun sebuah pemahaman yang universal bahwa Jokowi adalah orang baik, pemimpin bagi semua umat, dan sejumlah sebutan lain yang dilekatkan kepada figure Jokowi, dalam sambutan Jokowi pada Natal Nasional yang dirayakan Pada tanggal 28 Desember 2015, menegaskan bahwa keluarga itu tak terbatas pada keluarga inti, ayah ibu dan anak, tetapi juga keluarga lain dalam kesatuan bangsa Indonesia, dalam kesatuan umat Tuhan, Natal mengingatkan kita untuk hidup sebagai keluarga. Kita harus saling tolong-menolong, saling gotong-royong, Kita bersyukur merayakan Natal dalam satu keluarga Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika. Dalam sambutan Jokowi tersebut memberi gambaran bahwa Jokowi adalah Orang baik dan pemimpin yang berada dan berpihak bagi semua suku dan agama, kebaikan itu akan dilihat sebagaimana infrastruktur yang dibangun sebagai kado Natal yang dikemas dalam sejumlah peresmian proyek seperti peresmian terminal Bandara Komodo di Labuan Bajo - Manggarai Barat, PLTS di Desa Oelpuah - Kupang, dan peletakan batu pertama Bendungan Rotiklot - Belu.  

            Apa yang dilakukan Jokowi dalam rangkaian perayaan Natal tahun ini, apakah cukup dikategorikan sebagai modal kepemimpinan nasional ? atau ada hal lain yang terabaikan ?  Konteks persoalan kebangsaan sudah seharusnya final saat kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga dengan sendirinya Bhineka Tunggal Ika sudah menjadi pakem yang tidak bisa diganggu gugat lagi, sebab kondisi ini justru tidak lagi harus menjadi pokok cerita dalam sambutan Natal Jokowi. Justru entripoint penting yang harus ditunjukan Jokowi adalah makna Natal yang sebenarnya dimana hadir seorang pemimpin baru yang berani melawan sebuah tradisi kekuasaan yang telah dibangun berabad-abad untuk mengeksploitasi daerah-daerah jajahan, melakukan kelaliman dan persekongkolan untuk membangun sebuah dinasti kekuasaan, saling membunuh antar kerabat untuk tetap mempertahankan kekuasaan.

Indonesai jelang natal dan akhir tahun 2015, disuguhkan dengan pertontonan politik internal eksekutif dan legislatif yang sudah berlangsung sejak lama sejak orde baru, dimana para penguasa saling berusaha untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari berbagai proyek pembangunan,  warisan budaya ini tidak dapat dipungkiri bahwa  kekuasaan terlibat dalam sejumlah proyek, Setya Novanto sebagai Pimpinan DPR menarik Luhut Binsar Panjaitan sebagai orang dekat RI 1 dalam kasus perpanjangan kontrak kerja Freeport, dugaan keterlibatan nama Rini Sumarni dalam kasus pengadaan Crane di Pelindo II. Kasus-kasus ini tidak saja melibatkan para pesohor kekuasaan tetapi menggiring persepsi publik bahwa negara dalam keadaan darurat korupsi, dimana sudah terbukti terlibat dari bukti-bukti yang ada tetapi para penguasa masih bisa berkelit dan membenarkan diri dengan mengabaikan moral dan etika.

Kehadiran Natal dapat dipadankan dengan pemikiran Thomas Hobbes disuatu sisi Negara harus menempatkan diri dalam posisi leviathan dan bukan pada posisi berbuat baik dan penuh belas kasihan (charitas) semata, dengan memberikan sejumlah bantuan sosial kepada masyarkat. Hobbes mengibaratkan Negara sebagai Leviathan, sejenis monster (makhluk raksasa) yang ganas, menakutkan dan bengis seperti dalam kisah-kisah lampau dalam Alkitab – Perjanjian Lama. Keberadaan makhluk raksasa-raksasa ini mengancam keberadaan makhluk-makhluk lain, keberadaan leviathan tidak hanya ditakuti tetapi dipatuhi (Ahmad Suhelmi – Gramedia – 2007). Negara dalam hal ini Jokowi harus bersikap atau menghadirkan rasa takut kepada siapapun yang melanggar hukum Negara ( kehadiran Putra Natal Yesus yang menghadirkan rasa takut bagi Herodes). Kenyataannya Jokowi tidak mampu menjadi Leviathan sehingga nama Jokowi dicatut untuk mendapatkan keuntungan ekonomis bagi kelompok tertentu. Menciptakan perilaku memperkaya diri, menghadirkan ketidakharmonisan, mencuri  kedamaian masyarakat, menimbun penderitaan bagi rakyat yang ditimbulkan oleh sejumlah penguasa yang ada dalam lingkaran Jokowi. 

Jokowi harus hadir sebagai sosok yang ditakuti karena mengambil peran Leviathan untuk menghadirkan damai sentosa bagi rakyat, karena arena kekuasaan saat adalah arena koalisi yang masing-masing memiliki niat dan tujuan merebut kekuasaan, tidak ada teman yang abadi hanyalah kepentingan yang abadi, begitulah cerminan dari perilaku politik yang tidak beretika. Mungkin perilaku alamiah kebinatangan yakni “bellum omnium contra omnes”  yang berarti semua manusia akan berperang melawan semua, sehingga adu kuat siapa yang mampu mendominasi kekuasaan melalui lobi dan penguasaan proyek maka dialah penguasa sejati.

Keadaan ini kemudian tidak harus membuat Jokowi sebagai orang baik yang penuh belas kasihan harus berdiam diri dan mengabaikan persoalan ketegasan dalam penegakan hukum, sikap tegas Jokowi sebagai simbol dari harapan rakyat harus mampu menjadi leviathan dalam menegakan hukum, agar hukum berfungsi sebagaimana mestinya, sebab daulat rakyat ada dalam tangan Jokowi, jika sikap ini tidak dilakukan maka bisa saja akan berlaku terbalik  dimana terjadi pembangkangan politik sebagaimana yang dialami Yesus yang dilakukan Herodes dengan pelakukan pembunuhan kepada serjumlah anak-anak.

Leviathan selalu dipahami secara negative namun dalam konteks tertentu yakni penegakan hukum, sebaiknya dipahami sebagai respon sosial terhadap realitas politik dalam Negara. Jokowi harus mendudukan spirit leviathan sebagai harapan yang dinantikan untuk menghadirkan damai sejahtera. Bhineka Tunggal Ika tidak juga hanya sekedar himbauan tetapi butuh sikap, leviathan melalui doktrinisasi keindonesiaan yang tidak sekedar retorika belaka, tetapi butuh kebijakan konkrit yang dihadirkan melalui produk hukum. Orang baik bukan berarti meniadakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang dekat sekalipun, karena jika dibiarkan maka akan menjadi benalu yang dapat mematikan kebaikan sejati, walaupun mungkin teks-teks kebenaran agama menautkan bahwa nilai-nilai kebenaran itu salah satunya adalah memberikan pengampunan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa prinsip-prinsip kebenaran ini benar dan baik, namun yang perlu diingat bahwa perilaku pengampunan tidak juga harus menjadi barang murah untuk terus-menerus diobral, sehingga tepatlah konsep leviathan dibutuhkan dalam ketegasan menegakan norma hukum yang berlaku, guna mengendalikan kedok-kedok kekuasaan yang disangat dikuasai nafsu-nafsu hewani. 

*Pengamat Sosial - Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar